My Truly Destiny

Vina Marlina
Chapter #17

Lost

Zarra berjalan sendirian di jalan setapak yang sempit dan berbatu. Mobil CRV Mama tidak menjemputnya hari ini, setelah lebih dari sejam ia habiskan di sekolah untuk menunggu. Ia menerima kenyataan, toh ini bukan pertama kalinya ia harus berjalan kaki. Ia terpaksa melakukannya sebab angkutan umum yang melintas di perkampungan Rancabali ini bisa dibilang sangat langka.

Treeet! Kilasan cahaya kilat disusul bunyi guruh yang menggelegar, membuat nyali Zarra agak menciut. Awan di langit bergulung-gulung dan menebal dengan cepat. Hujan sepertinya akan segera menderas. Zarra mempercepat langkahnya. Tas ransel hitam kecil di punggungnya bergoyang seirama langkahnya.

Setibanya di belokan jalanan tempat rumah Abichandra berada, Zarra menghentikan langkah. Ia mendongak mengamati. Sungguh rumah mungil yang cantik. Zarra selalu menyempatkan melihatnya kapanpun ia melintas. Rumah itu memancarkan aura kedamaian, sama seperti Abichandra, sosok yang ia anggap malaikat pelindungnya.

Mungkinkah Tuhan sengaja mengirimkan cowok itu ke dunia untuk melindunginya? Tanpa sadar, gadis itu terpekur dalam pikiran. Bersamaan dengan itu, titik-titik hujan luruh bak peluru menghujami bumi.

Di kamar, Abichandra menoleh menatap jendelanya yang terbuka. Khawatir air hujan akan merembes masuk, ia pun bergegas menutupnya rapat-rapat. Ia tak sempat melihat bahwa di bawah sana, ada seorang gadis yang tersaruk menembus gugusan air.

Cowok itu baru selesai salat Zuhur. Ia melepaskan seragam sekolah dan mengaitkannya di atas pintu kamar, berganti pakaian dengan kaus oblong biru kesayangannya. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan keceriaan. Ia sedang dilanda kegalauan.

"Abi, makan dulu yuk, Saka juga udah nungguin, nih!" ajak Mama dari lantai bawah.

"Iya, Ma!" Abichandra menyahut lesu. Pikirannya penuh, ruwet bak bola kusut. Ia terusik oleh gosip yang disebarkan pihak-pihak tak bertanggung jawab, dan ia belum merasa tenang sebelum menemukan solusinya.

Tak mau Mama dan Saka menunggu lebih lama, Abichandra pun turun menghampiri keluarganya di meja makan. Diambilnya piring dan mengalasinya malas-malasan sebelum duduk berhadapan dengan Mama, di sebelah Saka.

Mama tertegun melihat piring Abi yang hampir kosong — Subhanallah, anak penggila sambal itu bahkan tak menyentuh lauknya. Biasanya, minimal tiga cukil nasi harus ada di atas piringnya di termin pertama. Kenapa dia, ya?

Mata Mama menyiratkan kecemasan.

"Bi, kamu enggak enak badan?" tanya Mama gelisah. Sepulang kemping kemarin, Abichandra memang agak murung.

"Eggak kok, Ma. Abi sehat," Abichandra mencoba tersenyum lalu menyuapkan nasi ke mulutnya tanpa semangat.

Di sebelahnya, Saka melirik mengamati Abichandra dan Mamanya bergantian. Sebenarnya sedikit-sedikit Saka bisa meraba apa yang menjadi beban pikiran adiknya. Karena satu sekolah, pastilah dia sudah mendengar gosip yang sedang hangat di sana.

Nggak heran si Abi bete, Saka bersimpati.

"Bi...," panggil Saka setelah makan siang dan mereka berdua sudah berada di dalam kamar Abichandra di lantai dua. Tak lupa, Saka mengunci pintu rapat-rapat, supaya sesi curhatnya lancar. Tadinya terpikir ingin menutup tirai sekalian, tapi sepertinya terlalu berlebihan.

Abichandra mengernyit melihat kelakuan kakaknya. Untuk apa Saka melakukan itu?

"Sini Bi, duduk dulu bareng aku," ajaknya sambil menarik tangan Abichandra supaya ikut duduk di atas kasur bersamanya.

"Jangan sekali-kali bilang enggak ada apa-apa ya, Bi. Aku udah tau di sekolah lagi heboh apaan," Saka memulai percakapannya, memandangi Abichandra yang sudah paham ke mana jalur obrolan ini akan berlanjut.

"Emangnya beneran apa yang digosipin anak-anak? Kamu sama Zarra peluk-pelukan waktu kemping kemaren?" Raut wajah Saka agak ngeri. Dia tak percaya Abichandra bakal melakukan itu.

Lihat selengkapnya