Langit mencurahkan air ke permukaan bumi, memukul semua titik persendian Zarra. Belum lagi guruh dan halilintar bersahut-sahutan, mengagetkannya dari waktu ke waktu. Tak ada satu pun orang yang cukup nekat berada di tengah cuaca semacam ini.
Gigi Zarra bergemeletuk keras, namun tak ada pilihan lain baginya selain terus meneruskan langkah. Dia tidak punya cukup keberanian untuk mengetuk pintu, numpang berteduh pada deretan rumah penduduk di sekitar. Hujan yang kian menderas membutakan penglihatan. Zarra mulai kesulitan mengarahkan langkahnya ke jalan yang benar.
Dari kejauhan, dua buah lampu mobil tampak menyorot terang menuju arahnya, kemudian tiba-tiba berhenti di dekat Zarra. Sesosok pria berkaos putih dan berjeans membuka pintu mobil dan menghampirinya, rela kehujanan.
"Zarra, ayo kita pulang!" serunya agak keras melawan desingan hujan.
Zarra sangat kaget menyadari siapa gerangan pria itu. Tidak! Jangan Rey! Tolong jangan dia, digelengkannya kepala lemas.
"Ayo, Zarra. Ortu kita udah nungguin di rumah!" seru Rey lagi, memandangi Zarra penuh perhatian. "Suer! Ada Mama-Papa!"
Mereka memang memiliki keluarga yang rumit. Perhatian orang tua yang selalu absen membuat Zarra dan Rey tumbuh dalam kekosongan yang sama.
Rey menguatkan pernyataannya dengan ucapan sumpah. Dia tahu Zarra selalu ketakutan berduaan dengannya semenjak kejadian dua tahun silam.
"Please, Zarra, nanti kamu sakit," bujuk Rey, membimbing lengan Zarra menuju kursi penumpang. Mau tak mau Zarra menurut. Percuma menentang, hanya ini pilihan yang dia punya.
Setelah Zarra sudah duduk di kursi, barulah Rey mengitari mobilnya dan duduk di bangku kendali. Dia melihat tampilan Zarra sudah mirip kucing kecebur got: basah kuyup!
Tangan Rey bergerak membuka dashboard mobil. Meraih sebuah handuk kecil, diusapnya rambut cewek itu secepat mungkin. Tangannya lalu menjangkau sebuah jaket kulit yang tersampir di kursi belakang. Dibalutkannya Zarra baik-baik menggunakan jaket tersebut.
Zarra hampir luluh, merasakan sedikit kehangatan dari gigitan dingin. Tapi alarm segera berbunyi di kepalanya. "Cukup! Jangan pegang-pegang aku, Rey!" katanya tegas, tak mau disentuh cowok itu lagi.
Rey tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kekakuan Zarra. Napasnya terdengar berat sejenak, menahan sesuatu, lalu dia memilih langsung menjalankan starter mobil. Perasaannya campur aduk.
"Zarra, maaf," ujar Rey, menyiratkan penyesalan."Dua tahun lalu, aku enggak sadar apa yang aku lakuin. Aku dalam pengaruh alkohol! Kenapa kamu terus aja marah-marah? Kasih aku penjelasan!" Rey memohon-mohon.
Mulanya Zarra terdiam, menahan berbagai gejolak emosi dalam hatinya.
"Dua tahun lalu, kamu pergi setelah malam sebelumnya menyebutkan nama Nadia. Aku cuma dengar kabar dari Om Haris kalau kamu punya pacar baru," Zarra membalas lirih, tenggorokannya tercekat. Dasar penghianat jahat! Zarra mengumpat getir, memalingkan wajah ke luar jendela. Sudut matanya mengerjapkan air mata. Hatinya pedih meratapi kandasnya cinta pertamanya.
Rey terperanjat. "Nadia?" ucapnya tercekat. Garis muka Rey langsung mengeras. Cowok itu mencengkeram kemudi erat-erat, melirik Zarra dengan tatapan yang sulit diartikan sebelum kembali fokus melihat jalan.
Tidak memerlukan waktu lama bagi Zarra dan Rey untuk sampai di depan rumah. Tapi hati Zarra langsung mencelos mendapati pelataran rumah yang sepi. Ke mana CRV Mama?