My Truly Destiny

Vina Marlina
Chapter #19

Along The Way Home

Napas Zarra mencicit di antara gigi yang bergemeletuk menahan dingin. Dia berlari terhuyung-huyung, sepatu sekolahnya terbenam dalam lumpur licin perkampungan penduduk. Jiwanya dicekam ketegangan. Tetapi tak berani berhenti, hanya kepalanya yang menoleh berulang kali ke belakang. Rey pasti sudah sadar sekarang, dia tahu itu. Situasinya tidak aman!

Zarra terpaksa membelokkan langkahnya tajam ke arah kebun teh dan merayap di bawah tepian jalan. Dalam kepanikan itu, dia melihat sebuah cekungan lubang di bawah jalan raya. Tanpa pikir ulang, Zarra menekuk tubuhnya di antara cekungan lubang sehingga sebagian tubuhnya terkubur dalam kegelapan. Bau tanah basah tercium pekat. Sementara itu, pikiran Zarra penuh. 

"Cari solusi, Zarra. Cepat!" bisiknya parau bercampur panik.

Di saat genting itu, tiba-tiba saja Zarra teringat satu orang yang selalu ada setiap kali dia dalam kesulitan. Ya, malaikat pelindungnya!

Zarra bergegas menarik tas dari punggungnya lalu mengeluarkan smartphone. Dia mencari nomor kontak Abichandra yang sudah disimpannya beberapa pekan lalu. Tanpa ragu, tombol panggil pun ditekan.

Suara cowok langsung terdengar di nada bip yang kedua. "Hallo, Assalamu..."

"Abi?!" terdorong oleh kepanikannya, Zarra memotong salamnya. 

"Ini siapa?" Suara Abi terdengar keheranan. 

"Zarra! Bi, tolongin aku... aku nggak tahu harus ke mana lagi!" Suara Zarra serak karena isak tangis. 

"Kamu di mana, Zar?!" Suara Abichandra langsung berubah serius.

 "Di dekat rumah... kebun teh! Aku sembunyi!" Dia sengaja meilirihkan suaranya, takut didengar. 

"Jangan bergerak. Nanti aku telepon balik. Aku ke sana sekarang." 

Klik! Telepon pun dimatikan.

Zarra mengeluarkan decitan napas, campuran antara kelegaan dan ketakutan. Lega karena tahu ia tidak akan sendirian. Takut karena Rey bisa menemukannya detik ini juga.

Oh Tuhan, tolong halangi Rey, jangan biarkan dia datang! Zarra memanjatkan doa sepenuh hati.

Seketika, bumi dikilaukan cahaya. Guruh alam terdengar menggemuruhkan langit. Zarra menutup kedua telinganya, menciut sendirian.

Abichandra sedang memacu motornya di jalan raya. Ia beristigfar terus-menerus setiap kali percikan kilat dan guruh datang. Lindungi kami semua ya Allah, ampuni... selamatkan...

Lambat laun curah hujan pun menipis, hanya menyisakan titik-titik gerimis. Abichandra melirik kaca spionnya. Saka belum terlihat menyusul di belakang.

Mendekati belokan Danau Patenggang, kecepatan motor dipelankan. Abichandra menarik kaca helmnya ke atas, memicingkan mata melihat keadaan di sekitar. Hamparan kebun teh sudah kelihatan.

Zarra pasti ada di situ, tapi di sebelah mana, ya? Abichandra mengerem motor. Diambilnya smartphone dari saku jaket untuk menelepon Zarra.

"Zarra, di mana kamu? Aku ada di belokan danau!" Abichandra langsung bertanya begitu telepon diangkat. 

"Terus jalan ke arah kolam air panas Walini, Bi. Aku nunggu di pinggir jalan," ucap Zarra lega. Dia akhirnya berani keluar dari persembunyiannya. 

"Oke. Aku ke sana," Abichandra menutup telepon dan kembali memacu motornya.

Begitu mendekati Walini, Abichandra melihat sesosok gadis berseragam SMA. Kain seragamnya sobek kecil, sekujur wajah dan tubuhnya belepotan noda tanah, tampak basah kuyup mematung di pinggiran jalan.

"Ya Allah, Zarra!" Abichandra memekik pelan. Dia tidak lagi melihat gadis yang tenang, melainkan seseorang yang baru saja lolos dari bahaya nyata.

Kok bisa, ya, seorang cewek mengalami hal-hal aneh seperti Zarra? Dia ngumpet dari apa, sih, sampai sebegitu rupa? Hati Abichandra teriris.

Motornya dihentikan dekat Zarra. Dari dekat, gadis berwajah oriental itu kelihatan sangat mengenaskan! Tubuhnya bergetar tak terkontrol, bibirnya ungu, dan pandangannya seperti terpaku pada jalan di belakangnya, mata membelalak kosong.

Abichandra tidak bertanya soal keadaan, dia hanya mengambil jas hujan dari jok. "Pakai ini, Zar," katanya lembut, menyerahkan jas itu untuk menutupi seragam basah si gadis yang membayang.

Zarra menerima jas itu. Tangannya gemetar saat mengenakan. Begitu selesai, dia mencengkeram lengan Abi kuat-kuat sehingga kukunya menancap di sana.

"Bi... kalau Rey lihat aku..." suara Zarra patah, bahunya naik turun cepat karena napas pendek. "Tolong bawa aku pergi!"

Siapa Rey? Abichandra mengernyit. Pasti masalahnya serius sekali sampai Zarra kabur di tengah hujan begini.

Tepat pada waktunya, gerungan motor off-road Saka terdengar dari kejauhan. Eh, itu Abi dan Zarra! Tapi kenapa Zarra dekil begitu? pikir kakak kedua Abichandra itu, heran.

Saka menghentikan motornya di belakang Abichandra. Tanpa turun dari motornya dia berteriak, "Bi, ajakin Zarra ke rumah dulu, entar aja ngobrolnya di sana!"

Abichandra setuju. Instingnya mengatakan dia harus segera mengamankan Zarra sekarang juga. Di mana lagi tempat yang paling aman selain rumahnya? Dia lalu menghadapkan wajahnya pada Zarra. "Ke rumah aku dulu, yuk," ajaknya sungguh-sungguh.

Zarra mengangguk patuh, mengikuti Abichandra pergi dari tempat itu. Dia menaiki jok belakang motor Abichandra penuh rasa syukur, nasibnya sekali lagi telah tertolong.

Motor Saka dan Abichandra pun melesat pulang ke rumah. Baru beberapa puluh meter, mereka berpapasan dengan mobil Terios hitam Rey.

Zarra membeku. Dalam sepersekian detik, refleksnya lebih cepat dari pikirannya.Dia menghimpitkan wajahnya dalam-dalam di punggung Abichandra, meremas pinggang cowok itu erat-erat. Dia menahan napas sampai mobil Rey melewati mereka. Untung dia sudah berjas hujan, mudah-mudahan Rey terkecoh dan tak mengenalinya.

Di jok depan, Abichandra langsung berdebar. Sekujur tubuhnya menegang dan wajahnya memanas. Ya ampun, apa lagi yang dilakukan Zarra! batinnya merana. Stok kenangannya akan Zarra semakin bertambah.

Eh, tapi jangan-jangan nih anak pingsan lagi. Abichandra membatalkan kegeerannya begitu mengingat kemungkinan tersebut. "Kamu nggak pingsan, kan, Zar?" tanyanya agak cemas.

Zarra tersenyum mendengarnya. Hidungnya yang menempel di punggung Abichandra mencium wangi jaket cowok itu, merasakan kehangatan menguar darinya. Hati Zarra menghangat tanpa sebab yang jelas. "Aku baik-baik aja, Bi," katanya lega, tahu kalau Rey semakin menjauh darinya.

Hujan telah reda sepenuhnya. Langit sore Rancabali sangat mempesona, warna-warninya begitu elok menawan mata. Pelangi hadir memenuhi janji, bahwa ia akan selalu hadir selepas rinai hujan dan gemuruh petir.

Zarra yakin, dia tak akan bisa melupakan sore yang indah ini sepanjang hidupnya.

Langit masih melukiskan pelangi.

Mama beristighfar pelan sambil memegangi dadanya. Jari-jarinya tak berhenti meremas ujung kerudung. Beliau menunggu kedatangan dua putranya di beranda dengan sangat gelisah. Mama mengira itu hanya mimpi, Saka dan Abichandra saling susul-menyusul meneriakkan salam padanya. Ternyata, setelah diperiksa keliling rumah, Saka dan Abichandra sudah menghilang entah ke mana rimbanya, menyisakan garasi yang kosong melompong.

Mama menggigit bibir bawahnya mengingat guruh yang tadi begitu besar. Ihh... ngeri... bulu kuduk Mama meremang. Ya Allah mudah-mudahan mereka selamat, Mama terus mengulang-ulang doanya.

Greeeeng! Raungan motor dari kejauhan membuat Mama melongokkan kepala mencari asal suara. Saka dan Abichandra pulang. Alhamdulillah...

Saka memasukkan motornya ke garasi yang sudah lebih dulu dibuka oleh Mama. Abichandra menyusul di belakangnya.

"Eh, tapi saha eta nya?" Mama tertegun menyadari Abichandra tidak sendirian. Penumpangnya berambut panjang dan berjas hujan. Wajahnya dipenuhi lumpur, tampak seperti korban perang yang sering Mama lihat di TV.

Lihat selengkapnya