My Truly Destiny

Vina Marlina
Chapter #23

The Truth

"Abi, sini. Mama ada perlu," panggil Mama sambil melambai-lambaikan tangan.

Baru saja pulang salat Isya dari masjid, Abichandra berjalan tergesa—sarungnya hampir tersangkut karena terburu-buru menghampiri.

"Kenapa, Ma?" tanyanya penasaran. Sejak pulang dari rumah Wisnu, ekspresi Mama memang aneh, seperti ada yang dikhawatirkan.

Mama merangkul Abichandra dan menggiringnya masuk ke kamar, disusul Ayah.

Sudah lama sekali Abichandra tidak diajak bicara serius di kamar seperti ini. Terakhir, waktu SD—gara-gara melempar vas bunga ke kepala Saka hingga pelipis kakaknya robek dan harus dijahit di puskesmas. Bekasnya masih ada sampai sekarang, walau tersamarkan rambut.

Kira-kira, masalah apa lagi kali ini?

Mereka bertiga duduk di tepi kasur.

"Bi, kamu ada niatan nikah muda? Sekarang-sekarang?" Mama langsung ke intinya.

"Hah?" Abichandra bengong, lalu ngakak. "Nikah? Calonnya aja belum ada, Ma. Lagian Abi masih sekolah juga."

Tapi tawanya berhenti begitu melihat wajah serius Mama dan Ayah. "Oh... lagi nggak bercanda, ya?"

"Misalnya kamu ada rencana mau melamar Zarra. Nggak ada, kan?" Mama masih mengejar.

Senyuman Abichandra langsung lenyap. "Kenapa Abi harus ngelamar Zarra, Ma?"

Mama bengong. Ayah lalu melirik seolah berkata, 'Tuh kan, Mama parno aja.'

"Kamu nggak cinta sama Zarra?" tanya Mama lagi, ingin kepastian.

Abichandra gelagapan. Dia belum pernah benar-benar memikirkan itu. "Aku... nggak tahu. Abi akui suka sama Zarra, tapi jenis suka yang kayak gimana, ya... belum ngerti."

Mama mengembuskan napas lega.

"Oh, cuma suka. Wajar. Siapa juga yang nggak suka sama Zarra—anaknya sopan, rajin, manis..."

"Ya udah, kamu boleh pergi, Bi," katanya sambil tersenyum.

"Cuma nanya itu aja?" Abichandra memastikan. Mama dan Ayah mengangguk.

Tanpa buang waktu, Abichandra langsung kabur ke lantai dua—takut kalau mereka berubah pikiran dan lanjut interogasi sampai pagi.

Beberapa jam kemudian, Abichandra tersenyum-senyum di meja belajarnya.

"Nikah muda, ya..." gumamnya. Mending gitu sekalian daripada pacaran nanggung tanpa kejelasan.

Dia menutup buku Bahasa Sunda, meregangkan badan setelah dua jam belajar. Ulangan akhir semester sudah dekat; dia bertekad tidak mau keteteran. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Penat, tapi belum ada tanda-tanda mengantuk. 

Cari angin dulu, ah...

Pelan-pelan Abichandra membuka pintu kamar lalu berjalan ke balkon, menyandarkan siku di pagar besi, membiarkan angin malam meniup wajahnya. Hidungnya mencium aroma tanah basah, telinganya menangkap suara jangkrik. Damai sekali.

Lihat selengkapnya