Rey menstarter terios hitamnya jam setengah tujuh pagi. Dia tak boleh kehilangan Zarra lagi. Guru piket sudah memastikan Zarra sekolah Sabtu kemarin, tapi gadis itu berhasil menyelinap pulang tanpa ketahuan olehnya, entah pakai trik apaan. Sekarang dia tak boleh gagal. Rey sudah kepalang nekat.
Buku-buku jari Rey memutih. Dia mencengkram setirnya kuat-kuat. Beneran merasa jengkel stadium lanjut pada Zarra, seminggu lebih dia dicekam kuatir sekaligus kangen.
Zarra, masa kamu nggak tau gimana tulusnya perasaan aku? Aku emang bersalah sama kamu dimasa lalu, tapi itu kan dulu. Udah basi! Sekarang kamu segalanya buat aku. Tapi astaga, susah banget ngeyakinin kamu!
Mobil Rey hampir tiba di sekolah Zarra. Di jalanan kecil itu, mobilnya merayap perlahan-lahan, terhalang banyaknya siswa-siswi yang berjalan santai menuju sekolahan.
Rey mulai beraksi. Matanya kelayapan mencari-cari sosok Zarra, siapa tahu terselip diantara mereka. Mayoritas cewek-cewek di sana kan kerudungan putih semua, harusnya lebih gampang menemukan Zarra. Mana ya, dia?
Sebetulnya Zarra memang ada di sana, beberapa langkah lebih dulu dari mobil Rey. Dia sedang berjalan bersama Saka dan Abichandra. Kerudung putih panjang sudah terbalut rapi di kepalanya.
Sama seperti kasak-kusuk yang membayangi kemanapun Zarra pergi di awal-awal kepindahannya ke SMA Harapan, bisik-bisik kaget dan terkesiap kedengaran di kanan dan kirinya.
"Eh, itu Zarra, kan?"
"Kerudungan dia sekarang?"
"Ah, modus aja kali."
"Tetep kece."
Zarra mendengar semuanya tapi cuek bebek. Kalau dulu dia bisa tahan sendirian menanggungnya, apalagi sekarang. Zarra mengerling kakak beradik yang setia berjalan di belakangnya, mengawalnya.
Setibanya di kelas, beberapa kawan-kawannya mendelik dan mencibir, biarpun tak seberani geng Anita atau Lolita CS, mereka belum bisa memaafkan Zarra gara-gara berani merebut si high quality jomblo dari tangan mereka.
Hanya ada segelintir orang yang terpesona melihat tampilan baru Zarra, Sarah salah satu diantaranya. Dia melihat perubahan positif Zarra dengan perasaan campur aduk. Senang tapi sedih. Terharu tapi perih. Karena dia tahu Abichandra pasti memegang peranan penting di balik perubahan Zarra ini.
Semenjak peristiwa CPD tempo hari, diam-diam Sarah berusaha keras melupakan Abichandra tapi tetap saja. Ada luka di hatinya.
***
Lima belas menit sebelum bel istirahat, Arifin permisi minta ijin ke toilet sebentar tiap kali otaknya berasa berat mengolah materi pelajaran. Sepulang dari WC, dia melihat Zarra berdiri agak jauh dari kelasnya, sedang berantem dengan cowok asing.
Apa kakaknya kali? Keliatannya udah dewasa. Arifin menerka.
Zarra nampak berbisik-bisik marah, wajahnya garang bak ngajakin perang dunia. Ekspresi si cowok tak kalah tegang.
Hmm, mencurigakan! Arifin kepo. Dia sengaja berjalan agak melipir ke pinggiran mendekati kelas Zarra, berniat mencuri dengar.
"Nggak! Aku nggak mau pulang!" seru Zarra dalam bisikan.
"Plis...Zarra, jangan kayak gitu," Rey mengesah frustrasi.
"Terus aku harus gimana? Ngikut kamu pulang supaya kamu bebas keluar masuk kamar aku seenaknya? Peluk-peluk aku semaunya? Nggak. Aku nggak mau!"
Rey dan Zarra serempak menghentikan perdebatan karena melihat Arifin sedang melintas di dekat situ.
Arifin pura-pura berdehem lalu bersiul-siul tak jelas, meneruskan perjalanan pulang ke kelasnya. Agak kebingunga.
Tadi telingaku yang salah nangkep kata-kata Zarra apa gimana, kok sama kakak sendiri ada peluk-pelukannya. Wah, pokoknya si Abi harus tau!
Arifin tak sabar ingin membagikan apa yang disaksikannya barusan.
Setelah bel istirahat tiba, Arifin duduk di depan bangku Abichandra-Wisnu.
"Bi, aku punya berita," Arifin merendahkan suara cemprengnya beberapa level di bawah normal.
"Kenapa, Fin?" sahut Abichandra tertarik.
"Si Zarra tadi berantem sama cowok di depan kelasnya. Mereka mirip banget. Pada sipit-sipit oriental. Zarra punya kakak cowok, Bi?" tanya Arifin.
Tampang Abichandra berubah ngeri. Itu pasti Rey!