Perlu waktu beberapa lama bagi Zarra untuk siuman. Kepalanya terkulai lemas di kursi rotan milik Sarah, dahinya dipenuhi keringat dingin, tapi matanya sudah membuka. Orang pertama yang dilihatnya adalah Abichandra yang berdiri tegap mirip patung di hadapannya, sorot matanya sarat kecemasan. Kemudian sebuah tangan lembut menyeka keringat di dahi Zarra, membuatnya langsung menoleh ke samping. Ternyata itu Sarah.
"Zarra, kamu udah baikan?" tanya Abichandra.
Zarra mengalihkan wajahnya kembali pada Abichandra, dijawabnya pertanyaan itu dengan anggukan lemah dan senyuman. Di luar sana, keadaan berangsur sepi. Tak ada lagi anak-anak yang jejeritan sambil berlarian.
Abichandra mengambil smartphone dari saku celana seragam lalu ditelponnya Saka. Lama sekali. Tapi tak ada jawaban. Apa keadaan di jalan sekolah masih menggila sampai Saka kesulitan mengangkat teleponnya? Abichandra beranjak mengintip keluar jendela. Sepi.
"Bi, sebenarnya ada apa tadi di jalan? Kenapa banyak banget anak-anak yang lari?" Sarah bertanya keheranan. Menurut asumsinya, Abichandra dan Zarra pasti jadi saksi di lokasi kejadian.
Abichandra dan Zarra bersitatap, seakan bertukar pikiran dalam diam. Mau tak mau Sarah memalingkan wajah, tak tahan menyaksikan bahasa isyarat mereka berdua. Perasaan cemburunya sudah terlampau banyak.
"Itu semua karena aku, Sarah, " Akhirnya Zarra mengakui.
Sarah termenung, memproses informasi. Belum sempat Sarah mengajukan pertanyaan lanjutan, smartphone Abichandra berbunyi.
Abichandra mengangkatnya. Dari Saka.
"Abi, kamu dimana?"
"Aku di rumah Sarah, Ka."
Tak perlu lama menunggu, suara gerungan motor kedengaran mendekat lalu berhenti persis depan rumah Sarah. Saka celingukan memantau keadaan sebelum turun dari motornya.
Abichandra berinsiatif membuka pintu.
"Gilee!" Begitu masuk rumah, Saka cengengesan. Matanya berkilat jenaka.
"Tadi siapa yang punya ide bikin ricuh kayak gitu? Brilian banget! Ide kamu, Bi?" Saka menepak dada adiknya kencang sampai Abichandra mundur setindak.
"Spontan aja tadi si Chandra ngasih peringatan. Nggak nyangka bakal heboh gitu," Abichandra ikutan nyengir, baru nyadar kalau peristiwa tadi lucu banget. Anggap saja kejadian barusan bonus pertolongan tak terduga dari Allah.
Saka duduk di kursi Sarah tanpa perlu dipersilakan. Memang sudah jadi kebiasaannya suka inisiatif duluan tanpa dipersilakan.
"Eh, nggak ada minum, nih?" ceplos Saka ringan, melihat isi meja cuma ada baskom air, sapu tangan dan kayu putih.
Sarah tampak agak malu. "Maaf, tadi kelupaan," sesalnya sambil berlalu ke dapur.
"Baskom kompresan ini buat siapa?" Saka penasaran. Dia lalu memperhatikan Zarra yang duduk di seberangnya. "Kamu kenapa. Zar? Sakit? Mukanya pucet gitu," tanya nya kuatir.
Zarra berusaha duduk lebih tegak. Sebal banget pada dirinya yang lemah. "Aku nggak apa-apa. Kecapean aja sedikit. Kak, gimana Rey tadi ngejar?"
Saka mengangkat bahu. "Nggak tahu. Tadi waktu aku jalan, teriosnya masih ada di sekolah."
Tiba-tiba Saka teringat sesuatu, wajahnya berubah serius.
"Eh, bentar. Kayaknya tadi aku lihat salah satu sobat kamu dipanggil sama pak Endang, Bi. Siapa ya, Namanya. Yang badannya jangkung, mukanya songong, suka sok kece dan kepedean banget itu?"
"Arifin?" Abichandra menebak. "Kenapa kira-kira?"
"Mending kita cek, aku juga kudu balikin motor sama yang punya."
"Tapi Rey masih belom lewat. Kita tungguin dia lewat, baru anterin Zarra pulang."
Abichandra terus memantau keadaan di luar jendela.
Tak lama, Sarah balik lagi ke ruang tamu membawa nampan berisi 3 cangkir air minum dan setoples kue. "Mangga diminum airnya."
Sedikit kebingungan, Sarah mengamati Zarra. Tadi di dapur dia sempat mendengar soal 'nganterin Zarra' pulang. Sejak kapan Abichandra dan Saka jadi tim anter jemput Zarra? Aneh.
"Sarah, kok sepi amat, pada kemana?" Saka kepo.
Sebetulnya lebih ke basa-basi. Dia sudah kenal dengan Sarah, lebih tepatnya ibu mereka saling akrab karena ibu Sarah adalah ustadzah di tempat pengajian mama.
Kadangkala Saka atau Abichandra yang suka dimintain anter jemput ibu Sarah ke tempat pengajian. Ayah Sarah sendiri sudah wafat beberapa tahun lalu. Praktis rumah itu hanya dihuni Sarah, ibu dan adik perempuannya yang masih kelas enam SD.
"Ibu lagi ngisi ta'lim di daerah Ciwidey, insya Alloh habis ashar pulang. Adik aku ikut ke sana," jelas Sarah.
"Oh..."
Mereka kemudian saling berdiam diri. Seisi ruangan sangat hening. Begitu senyapnya sampai bunyi pergerakan jam dinding Sarah pun kedengaran tiap detiknya. Dosis ketegangan meningkat pesat, merasa ada keganjilan yang terjadi.
Mobil Terios Rey belum lewat.
"Ka, kayaknya kita harus ke sekolah. Feeling aku bilang, ada yang nggak beres di sekolah," ujar Abichandra, betah mematung di dekat jendela.
Saka mempertimbangkan baik-baik.
"Aku juga nggak enak minjem motor si Rio, udah kelamaan. Tapi Zarranya, gimana?" Saka mengerling Zarra.
Zarra bimbang. Sebenarnya dia ingin cepat pulang ke rumah Abichandra dan Saka, tapi takut ketemu Rey di jalan.
Abichandra menangkap dilemmanya Zarra. Dia segera duduk di depannya.
"Zarra, kamu tunggu di sini bentar, ya? Kalau keadaan aman, nanti kita jemput kamu," kata Abichandra pelan. Bagaimanapun, mereka tak bisa seharian tinggal di tempat Sarah. Urusan ini harus diluruskan.
Zarra tahu dia tak punya pilihan lain. Kepalanya terangguk setuju.
***
Tak lama, Saka dan Abichandra tiba di sekolah. Terios Rey masih ada di tempat semula.
Tuh, aneh banget! Super aneh! Pintu gerbang juga masih membuka, padahal setahu Abichandra tidak ada kegiatan lain di sekolah hari ini.
Selewat pos keamanan, Abah Rudi tiba-tiba berbisik-bisik memanggilnya "Abi, sini!"
Abichandra dan Saka turun dari motornya dan segera menghampiri.
"Ada apa, Bah?" tanya Abichandra penasaran.
"Kamu dipanggil sama pak Endang dan bu Rucika di ruang BP. Si Arifin, Wisnu, Teuku sama si Chandra juga ada di sana!"