My Truly Destiny

Vina Marlina
Chapter #26

Hurts

Malam sudah larut, tapi Mama masih terjaga. Setelah apa yang terjadi pada dua putranya, mana mungkin Mama bisa tidur dengan tenang. Kantuk Mama hilang, tersaingi oleh rasa cemas dan sedih yang melangit. Ditengoknya berkali-kali Saka dan Abichandra di kamar mereka masing-masing.

Luka Saka tidak terlalu banyak, hanya memar di beberapa bagian wajah. Tapi, kondisi Abichandra-lah yang paling membuat Mama khawatir. Bukan cuma lebam dan koyak di wajah, bagian perut Abichandra pun membiru.

Momentum Magrib yang tidak akan bisa Mama lupakan!

Hati orang tua mana yang tidak hancur berkeping-keping melihat dua buah hatinya pulang ke rumah dalam keadaan kacau balau, seperti habis kena begal di jalanan. Mama hampir semaput kalau saja Ayah tidak mengingatkannya untuk segera beristigfar.

Mama langsung memaksa ingin memeriksa semua luka-luka di wajah dan tubuh Saka dan Abichandra secara menyeluruh. Tangisnya pecah.

Ya Allah, seumur-umur Mama belum pernah merasa sakit hati seperti ini. Kok ada, ya, orang yang tega melakukan ini pada anak orang lain? Apa tidak tahu kalau melahirkan anak itu nyerinya hampir menyaingi sakaratul maut? Belum lagi perjuangan mengurus dan membesarkan sampai sebesar ini. Mama sudah menjaga dengan sangat hati-hati, tapi kok malah diperlakukan begini sama orang asing, sih?

Makanya jangan salahkan Mama kalau Mama belum bisa memaafkan pelakunya.

"Siapa yang melakukan ini sama kalian?"

Mama teringat interogasinya tadi Magrib pada Abichandra dan Saka.

"Itu si cowok kurang ajar Rey, Ma..." tukas Saka jengkel.

Dan Mama jadi jengkel juga mendengar nama itu disebutkan. Tega banget, sih, Rey. Tidak cukup membuat seorang gadis seperti Zarra ketakutan, eh sekarang berani melakukan kekerasan fisik seperti ini sama dua putranya.

Pukul dua dini hari, Mama masih duduk di sisi ranjang Abichandra. Mengompresi kening putra bungsunya yang terasa panas. Kadang di ambang ketidaksadarannya, Abichandra mengerang. Ada keluhan yang lolos dari bibirnya. Padahal dalam kondisi normal, anak itu gengsi banget menampakkan keluhan apa pun. Selalu meringankan keadaan. Mungkin lukanya terasa sakit banget kali, ya.

Mama menghela napas dengan berat, beranjak meninggalkan Abichandra untuk mengambil wudhu dan melakukan tahajud.

Beberapa jam sebelumnya, di rumah Sarah...

"Zarra, kamu tidur bareng sama aku saja," Sarah membimbing Zarra memasuki kamarnya.

Sebuah ruangan kecil tapi cozy yang berisikan sebuah kasur berukuran single tanpa ranjang, terhamparkan begitu saja di atas lantai. Sebuah lemari pakaian excel di samping kasur, lemari pakaian dari kayu di sebelahnya, dan sebuah meja belajar di dekat pintu yang di atasnya bertumpuk buku-buku pelajaran. Semua ukuran perabotan di kamar itu mini. Zarra melihat ada sebuah boneka kelinci yang sudah usang teronggok di ranjang Sarah. Hanya sebuah boneka. Sarah pasti sayang banget sama bonekanya kalau sudah selusuh itu masih juga disimpan. Zarra jadi teringat koleksi boneka di kamarnya yang jumlahnya puluhan, yang beragam ukurannya dengan bentuk yang berbeda-beda pula.

Sarah melihat arah pandangan Zarra, dia tertawa. "Itu hadiah boneka dari almarhum Ayah, Zar. Satu-satunya yang aku punya. Sudah jelek memang, tapi Ayah dulu bilang, daripada banyakin mainan, lebih bermanfaat beliin buku cerita saja," kata Sarah renyah.

Lihat selengkapnya