Suara azan Subuh membangunkan Abichandra dari tidurnya. Di dahinya masih menempel kain kompres yang sudah mengering.
Tangan Abichandra melepaskan kompresan itu dan mengembalikannya ke baskom di meja kecil di samping tempat tidurnya. Kepalanya sudah membaik, tidak cekot-cekot lagi, dan demamnya juga sudah menghilang. Mama sudah tidak ada di kamar, tetapi Abichandra tahu, semalam pasti Mama tercintanya menjaganya. Dia merasa tidak enak hati. Kasihan Mama, sudah tua masih harus terus begadang gara-gara anaknya sakit.
Berusaha untuk tidak membuat Mama tambah khawatir, Abichandra menolak untuk tetap diam di kasur. Dia mencoba bangkit perlahan-lahan. Emejing! Badannya terasa ringsek, seperti habis diduduki gajah. Ngilu sekali semua persendiannya. Sekarang setelah merasakan sendiri bagaimana rasanya digebuki, Abichandra jadi bersimpati pada stuntman yang biasa menggantikan aktor beken di film-film laga kesayangannya. Tak terbayang, mereka harus rela dihajar setiap hari demi menjemput nafkah untuk anak istri.
Abichandra lalu menjangkau pegangan pintu dan membukanya. Dia berjalan keluar kamar dan melihat pintu kamar Andatari yang sekian lama ditempati Zarra masih tertutup. Perlu beberapa detik sebelum Abichandra ingat kalau Zarra sudah tidak berada lagi di rumahnya.
"Zarra, lagi ngapain kamu? Apa kelupaan bawa handuk lagi ke kamar mandi?" Bisiknya sedih.
Tapi ada Sarah di sana. Dia pasti tidak akan membiarkan Zarra kelimpungan. Abichandra tahu betul kalau Sarah orangnya ringan tangan dan baik hati.
Tiba-tiba pintu kamar Zarra terbuka.
Abichandra terkesiap, menyangka Zarra bakal keluar dari situ dengan sikap malu-malu kucing seperti biasa. Namun, ternyata itu Andatari. Dan sikapnya sama sekali jauh dari kata malu-malu, dia bengong sejenak menatap Abichandra. Matanya membeliak ngeri, lalu sahutan nyaring bervolume tinggi pun mampir di telinga Abichandra.
"Aaaabiii!" teriaknya histeris.
Andatari segera menghampiri Abichandra dan meneliti kondisinya. Kemarin malam saat dia pulang ke rumah, Abichandra sudah tidur duluan. Tapi dia sudah mendengar detail ceritanya dari mulut Saka yang meskipun wajahnya bengkak, masih kepikiran untuk nongkrong di dapur dan mengubek-ubek persediaan cemilannya di lemari. Jadilah Andatari tahu semuanya, termasuk cerita Zarra yang meminjam kamar dan persediaan bajunya selama sepuluh hari. Eh, tapi tidak semuanya diceritakan Saka. Cowok itu sudah lebih dulu menyensor kejadian-kejadian 'manis' antara Abichandra dan Zarra yang berlangsung di rumah.
"Abi, ini masih sakit?" tanya Andatari sambil meraba-raba lebam di pelipis, pipi, dan hidung Abichandra.
Semua luka itu bertambah bengkak dibandingkan kemarin, jadi mengingatkan Andatari pada cuplikan adegan Harry Potter sewaktu terkena mantra penggelembung di wajahnya.
"Aw...!" Abichandra sedikit meringis, menghindari tangan kakaknya. Andatari gimana sih, orang masih luka juga, meraba kok kencang amat.
"Eh, sorry. Ampun deh, Bi. Ngalamin juga kamu kejadian kayak begini. Kamu emang nggak sempet ngelawan dia? Sampai parah banget ih. Saka bilang dia sempet ngehajar si Rey sebelum dia kabur, makanya lukanya nggak separah kamu..." Andatari menyerocos. Dia tidak tahu kalau Saka melawan Rey secara keroyokan, tetapi bukan saatnya Abichandra menjelaskan panjang lebar.
"Aku mau wudhu dulu, Kak, Mau solat," pamitnya pada Andatari sembari meneruskan langkahnya menuruni tangga.
"Tayamum kan bisa, Bi. Nggak usah maksain," Andatari mengiringinya turun tangga juga.
Ya. Abichandra juga inginnya begitu. Tayamum lalu salat di kasur dan meneruskan tidur seandainya tidak memikirkan reaksi Mama. Abichandra ingin memperlihatkan, lukanya bukan sesuatu hal yang perlu dikhawatirkan Mama dan keluarganya secara berlebihan.
Ternyata di bawah tangga, tidak ada siapa-siapa. Mama dan Ayah pasti masih salat Subuh di kamar.
Abichandra memasuki kamar mandi dan mengerling cermin yang tertempel di tembok. Penasaran seperti apa sih wajahnya yang bikin cemas orang-orang. Oh, ternyata memang sedikit menyeramkan, ya. Abichandra memandangi bayangan wajahnya yang tak karuan bentuknya itu. Nggak apa-apa deh, sekali-sekali lucu juga punya wajah begini. Abichandra jadi punya ide menakut-nakuti Saka dan Andatari malam nanti mumpung kondisi wajahnya mendukung. Mengingat itu, dia pun tertawa, tapi sengatan di bibir membuatnya sadar kalau bibirnya yang sobek belum mau diajak kerja sama.
"Cepetan, Bi!" Andatari menggedor pintu kamar mandi, takutnya Abichandra malah tepar di dalam.