My Truly Destiny

Vina Marlina
Chapter #31

Heart And Flower

Rey tahu dia tidak akan bisa kembali mendekati Zarra. Tidak dengan cara sebelumnya. Semakin intens dia mengejar Zarra, semakin jauh pula gadis itu darinya. Tadinya sempat terpikir ingin mencari Abichandra di rumahnya untuk diberinya pelajaran sekali lagi. Tapi apa Zarra akan terkesan dengan tindakannya itu?

Rey tertawa getir. Dia yakin, jauh dari terkesan, Zarra malah akan semakin membencinya. Zarra bukan tipe orang yang akan tersentuh oleh amarah. Yang dia butuhkan sekarang adalah ketenangan, bukan pria yang melawan dunia untuknya.

Setelah mama Zarra kembali pulang, Rey sudah memutuskan akan memberikan ruang bagi Zarra dan dirinya sendiri.

Apalagi mereka sudah menjadi kakak-beradik legal. Damn!

Terios Rey meluncur menembus hingar bingar lampu perkotaan kota Bandung. Malam semakin pekat. Dia ingin meluapkan seluruh duka dan kegalauannya di salah satu bar langganannya di sana.

Beberapa minggu setelah keputusan Rey untuk menjauh, hidup seolah berusaha menata ulang ritmenya. Di sekolah, tanpa disadari, perubahan besar terjadi pada Zarra.

Menjelang akhir semester, pembelajaran di sekolah sudah tak efektif karena tinggal menunggu pembagian rapor. Kian hari, Zarra semakin lengket dengan Sarah. Tak hanya menghabiskan waktu di perpustakaan, aktivitasnya di DKM pun makin rutin. And of course, pada awalnya SMA Harapan Rancabali kesulitan menerima kenyataan ini.

Gosip yang kadung merebak ngaco tentang hijrahnya Zarra jadi semakin tak terbendung. Dikatain sedang nge-modus biar Abichandra tambah cintalah, biar nilai PAI gedelah, menutupi badannya yang gendutanlah. Tapi Zarra tabah. Dia tetap asyik menikmati dunia barunya itu.

Perubahan Zarra yang drastis ini tak luput dari perhatian Abichandra serta gengnya.

Apa ini jawaban atas doa-doaku? Abichandra sempat GR. Bukan apa-apa tapi setiap malam dia tak pernah alpa berdoa supaya Allah mengirimnya jodoh yang sholeha. Seperti mama. Dan kenapa tepat banget cewek yang ditaksirnya juga semakin mirip mama dari hari ke hari.

Skenario Allah memang indah.

Tapi Abichandra tak mau larut dalam angan-angan yang tak pasti. Belum tentu juga Zarra jodohnya. Ah, sudahlah. Abchandra tak mau memikirkan itu sekarang. Dia memutuskan fokus pada ujian kenaikan kelas yang tak lama lagi akan menjelang.

"Bi, sebenernya kamu kasih jampi-jampi apa si Zarra?" Chandra melongo di sela-sela permainan basket, memandangi Zarra yang sedang berjalan kaki sendirian melintasi tepian lapangan menuju perpustakaan. Hijabnya rapat menutupi dada. Seragamnya jauh dari kata ngetat.

Mengibaskan kaos olahraganya demi mengusir gerah, Abichandra mengikuti arah pandangan Chandra. Jujur, ada rindu di hatinya. Lebih dari sebulan dia tak pernah ngobrol bareng Zarra. Lagipula apa yang mau diobrolkan? Rey kan sudah pergi.

Ketika itulah di pingir lapangan, tiba-tiba Abichandra melihat Zarra tersandung kakinya sendiri saat melangkah. Tubuh gadis itu oleng nyaris jatuh, bikin Abichandra spontan berseru, "Eh!" Refleks, tangannya terulur ingin menangkap Zarra di kejauhan, tanpa dia sadari kalau Arifin berteriak kencang dari ujung lapangan.

"Abiiii, Awas bolaaaa!"

Dug! Bola basket lemparan lawan menghantam kepala Abichandra telak.

Aduuuuuh! Abichandra berusaha tak memijit-mijit kepalanya. Pening tapi gengsi.

Anak-anak yang menonton di pinggir lapangan karuan heboh menyoraki.

Mendengar teriakan Arifin, Zarra spontan menolehkan kepala. So pasti dia sempat menyaksikan peristiwa naas itu. Kedua tangannya menyumpal mulutnya sendiri. Kaget.

"Nggak apa-apa Bi?!" Teuku berseru dari dekat Arifin. Heran, tak biasanya Abicahandra hilang fokus seperti tadi.

'"Sip!" Abichandra mengacungkan jempol kanannya. Tak dipedulikannya tawa anak-anak yang masih berderaian. Matanya kembali menyapu ke pinggiran lapangan, tapi Zarra sudah lenyap.

"Kita istirahat!" pinta Chandra, memberikan kode pada semua anggota geng nya.

Lihat selengkapnya