My twenty, Successful

HumairaLiska
Chapter #2

Lulus SMA

Berpasang-pasang kaki mulai berlarian di koridor kelas. Semua murid tampak terburu-buru mencapai lapangan upacara karena kepala sekolah menyuruh mereka berkumpul. Sesampai di sana, mereka langsung berbaris dengan rapi. Menciptakan formasi yang sudah ditentukan sejak dulu.

“Selamat pagi anak-anak.”

“Pagi, Pak!”

“Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih pada anak-anak kelas dua belas karena telah berhadir hari ini. Meskipun pembelajaran tidak lagi aktif untuk kalian, tetapi kalian semua tetap berhadir di sini. Selanjutnya, saya mengucapkan selamat untuk kalian karena telah mengikuti ujian Nasional dengan tertib sesuai anjuran yang berlaku. Tepuk tangan untuk diri kalian masing-masing.”

Instruksi dari kepala sekolah langsung mendapatkan sambutan dari seluruh murid yang ada di sana. Termasuk salah-satunya adalah Rinjani Kusuma Dewi, gadis berparas ayu dengan kulit kuning langsat khas Indonesia.

“Sttt... Jani.”

Rinjani menoleh saat gadis dengan rambut model bob di samping, yang sejak tadi sudah menyikut pinggangnya.

“Apa?” tanya Rinjani tanpa mengeluarkan suara, hanya sekedar menggerakkan bibirnya saja.

“Sebenarnya Pak Tirta mau ngapain, sih, ngumpulin kita kayak gini?” tanya Silvia—sahabat Rinjani—dengan setengah berbisik. Takut ketahuan guru yang sedang berpatroli di belakang barisan.

“Ya, mana aku tau!” sungut Rinjani dengan geram, dia pikir temannya itu mau menanyakan apa.

“Biasanya, kan, kalo masalah gini kamu gerak cepat, Jani,” sahut Soraya—sahabat Rinjani lainnya—tak mau kalah.

“Kalo kalian penasaran. Ya, dengerin baik-baik.”

“Ekhem!”

Ketiganya terperanjat, spontan membenarkan posisi untuk kembali lurus ke depan. Mereka kompak melirik guru BK yang baru saja berlalu di belakang dengan ekor mata.

Rinjani menatap nyalang kedua temannya yang baru saja menghela napas lega. Keduanya hanya bisa menyengir karena merasa bersalah. 

“Saya sebagai kepala sekolah SMA Jaya bangsa sangat bangga pada anak-anak kami semua. Setelah dinyatakan lulus dengan nilai yang baik dan cukup, ada juga beberapa teman kalian yang lulus SNMPTN. Beri tepuk tangan untuk mereka.”

Setelah mengucapkan sepatah kata untuk acara pelepasan murid kelas dua belas. Pak Tirta turun dari mimbar, lalu mereka merayakan kelulusan mereka di area sekolah. Mereka bebas mencoret baju, berselfie ria atau bernyanyi asalkan tidak melakukan perbuatan yang melanggar aturan seperti konvoi-konvoi di jalan raya.

”Jani! Ayo sini, kamu belum dapat tanda tangan dari aku, kan?”

Rinjani tergelak pelan, gadis dengan rambut hitam panjang itu pun mendekati teman sekelasnya.

“Yang bagus ya, Rob. Soalnya aku mau simpen baju ini buat kenang-kenangan,” pinta Rinjani pada seorang pemuda yang bernama lengkap Roby Satria Pamungkas.

“Aman. Ini tanda tangan eklusif dan perdana. Suatu saat kamu bakalan bersyukur, siapa tau nanti aku beneran jadi pesepakbola internasional,” gurau Roby yang menandatangani ujung seragam Rinjani. 

Setelah kepergian Roby yang mengusul teman-teman lain. Rinjani sejenak memperhatikan seragam putih abu-abu yang sudah berwarna-warni. Ada coretan cat serta puluhan tanda-tangan dari teman-temannya. Suatu saat, Rinjani akan merindukan mereka saat melihat seragam ini kembali.

“Jani!”

Panggilan itu menginterupsi Rinjani. Gadis itu mengalihkan pandangannya dari seragam kepada Silvia dan Soraya yang kini berlari kearahnya.

"Kita cariin, ternyata di sini," cetua Soraya disela-sela mengatur napasnya yang terengah-engah.

"Kenapa?" tanya Rinjani penasaran.

"Buk Niken nyariin kita," sahut Silvia cepat. "Udah, ke sana aja, yuk?"

Sontak Rinjani dan Soraya mengiyakan ajakan Soraya. Mereka bertiga pun berlari meninggalkan euforia lapangan upacara. 

Bu Niken adalah wali kelas mereka selama kelas dua belas. Beliau jarang sekali berbicara jika bukan hal yang penting. Maka dari itu, Rinjani, Soraya dan Silvia bergegas menemui wanita itu.

Saat berbelok di ujung koridor kelas sepuluh, dari jauh sudah terlihat sosok Bu Niken yang sedang mondar-mandir di depan kantor guru. Gaya Bu Niken yang memang nyentrik dengan baju serba hitam itu, sangat mudah untuk dicari. Mereka pernah berpikir, meski sudah ada seragam, mengapa beliau tetap saja memakai baju seperti orang ingin melayat begitu?

Lihat selengkapnya