My Twin Flame

Nadya Suhendra
Chapter #2

Bab 1 - Kerinduan

Qingdao, China, 2024


Sentuhan cat berwarna putih polos, bunga hias di atas meja, air conditioner, foto otomotif dan penghargaan terpajang hampir di setiap dindingnya. Suasana estetik sangat terasa di dalam ruangan kantor ini.

Di sebuah acara rapat, terlihat pegawai laki-laki dan perempuan hadir memenuhi meja berukuran panjang. Di antara mereka ada yang menulis, menunduk, memegang kepala dengan kedua tangannya, bahkan ada pula yang menguap menahan kantuk. Karena merasa bosan dengan jalannya rapat.

Wang Yan, duduk paling depan di sisi kanan meja. Fokusnya tak teralihkan sedikit pun. Raut wajahnya seperti menjelaskan, kalau ia mencoba untuk siap menerima keadaan yang sedang disampaikan oleh pimpinannya itu.

Pimpinan dari perusahaan otomotif tersebut sudah 2 jam lebih berdiri di depan layar presentasi, tepat di tengah-tengah para karyawannya.

"Qìchē xiāoshòu dá bú dào mùbiāo, gōngsī fùzhài zēngjiā, yuángōng gōngzī zēngjiā. Wǒmen xūyào tóuzīzhě lái chulǐ suoyǒu zhèxiē wèntí. Dànshì yīnwèi qǐyè xíngxiàng bù hǎo wǒmen débú dào." (Penjualan mobil tidak mencapai target, hutang perusahaan meningkat, gaji karyawan yang harus dibayar. Kita membutuhkan investor untuk menangani semua masalah ini. Namun, itu yang tidak bisa kita dapatkan karena citra perusahaan sudah buruk)

Keluhan pria paruh baya ini jelas saja mengisyaratkan kondisi perusahaan yang akan segera bangkrut. Setiap karyawan akan mendapatkan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Di akhir rapat, dirinya menyampaikan agar para karyawan segera bersiap mencari pekerjaan baru untuk bertahan hidup.

"Jiā Yóu!!!" (Semangat!!!)

Teriak salah satu karyawan yang memang dikenal periang oleh rekan-rekan kerjanya. Mereka terlihat saling menguatkan dengan berpelukan, menepuk pundak dan tersenyum satu sama lain.

Berjalan menuju area parkir mobil sambil memegang tablet di tangannya. Mengenakan setelan kemeja putih dilapisi blazer hitam, celana jeans abu-abu dan kaca mata transparan yang menggantung di hidungnya. Pesona pria China yang gila kerja terlihat begitu jelas pada diri Yan.

"Yan, Yan....!" (sambil berlari)

Tiba-tiba saja dari belakang ada yang memanggil Wang Yan dengan sangat lantang. Rupanya ia adalah Liu Hedi. Rekan kerja yang paling dekat dengan Yan di kantor. Dengan sigap Yan menoleh ke belakang, melihat Hedi yang memanggilnya. Bicara Hedi terengah-engah di hadapan Yan.

"Jī wăn hē yī bēi zĕn me yàng?" (Gimana kalau kita minum bir malam ini?) ucap Hedi seraya memegang pundak kanan Yan.

Yan tertawa kecil mendengarnya. Lalu ia pun menepuk bahu Hedi sambil berkata ...

 "Hăo de, zŏu ba." (Baiklah, Ayok pergi minum.)

Di negara China, minum bir ataupun alkohol memang suatu kebudayaan bagi mereka. Biasanya mereka akan minum-minum pada saat acara kantor, pernikahan dan reunian. Selain itu, mereka juga akan minum bersama teman atau pun sendirian saat merasa stress dengan beban pikiran.

Bergegas saja mereka berdua pergi. Liu Hedi. Sengaja meninggalkan mobilnya di kantor malam ini. Karena ia tahu akan mabuk berat nantinya. Tentu saja mengemudi saat mabuk adalah hal yang paling dilarang. Dirinya terpaksa harus menumpang dengan mobil Yan untuk menuju kedai bir.

Gedung-gedung pencakar langit dengan keindahan lampunya berdiri megah di sekeliling pantai. Deretan street food dan kedai bir, hingga pejalan kaki yang berlalu-lalang. Suasana kota Qingdao ramai dengan penduduk lokal dan turis dari berbagai negara. Orang-orang mengenal kota Qingdao sebagai kota bir, pertumbuhan ekonomi, kota romantis, dan adanya pengaruh arsitektur dari negara Jerman.

Semangkuk besar hotpot panas telah tersaji di atas meja. Disusul kembali dengan tiga botol bir dan gelas yang baru saja diantarkan oleh waiter. Yan perlahan-lahan mulai mencicipi hotpot dengan kedua sumpitnya. Sedangkan Hedi, sudah meminum dua gelas besar bir.

Hedi sempat menawarkan bir itu pada Yan. Namun Yan menolaknya. Karena ia nanti akan pulang mengendarai mobil. Jadi ia tidak ingin mabuk. Perbincangan keduanya membahas urusan pekerjaan dan rapat di kantor tadi. Tampak jelas, Hedi lebih merasa frustrasi dibandingkan Yan. Karena ia baru saja menikah dan ada istrinya yang harus ia beri nafkah.

Tiga puluh menit sudah berlalu. Glug, glug, glug...., Hedi meminum birnya kembali dalam keadaan setengah mabuk, pipi merah dan bicara terbata-bata. Ia melampiaskan segala kesedihan dan amarah tentang kebangkrutan perusahaan.

"Wè we wèi shén mè wǒ gāng jié hūn dè shí hoù, zhè jiā gōng sī yào pò chǎn?" (Ke ke kenapa perusahaan ini harus bangkrut di saat aku baru saja menikah?)

Yan mengambil botol bir yang ada di tangan Hedi agar ia berhenti minum. Hedi mencoba untuk menghalangi tangan Yan. Tapi ia gagal merampasnya dari Yan.

"Wǒ bū zhī dào gāi zài zháo shén mè gōng zuò lè. Rén mài bù duō zhī shì běn kē bì yè shēng." (Aku tidak tahu harus mencari pekerjaan apa lagi. Aku tidak punya banyak koneksi dan hanya lulusan sarjana.)

Yan memahami maksud perkataan Hedi itu. Karena sebenarnya mereka sama-sama hanya lulusan sarjana. Faktanya, di China akan lebih mudah mencari pekerjaan dan mendapatkan gaji besar bila memiliki gelar master. Itulah sebabnya kesedihan Hedi tidak dapat terbendung.

"Suàn lè,bù yào tài nán guò,bù jín nín shì bén ké bì yè shēng. Wǒ mén jiāng hù xiāng bāng zhù。 Dāng wǒ zhǎo dào hé shì nín dè zhí weì kòng quē shí. Wó hù gào sù nín." (Sudahlah, jangan terlalu bersedih, bukan hanya kau saja yang lulusan sarjana. Kita akan saling membantu satu sama lain. Aku akan memberi tahumu bila menemukan lowongan pekerjaan yang cocok untukmu.)

Hedi menangis kejer. Karena merasa terharu. Ia pun berjalan ke arah Yan untuk memeluknya. Yan pun menyuruh Hedi agar segera pulang, karena pasti istrinya sekarang sedang menunggu di rumah.

***

Yan tidak mengantar Hedi pulang. Ia hanya menitipkannya kepada sopir taksi sesuai alamatnya.

Tidak jauh dari kedai bir, ada pantai yang cukup ramai didatangi oleh para pengunjung. Yan sekarang berjalan ke sana untuk menenangkan diri dari segala beban pikiran. Menjadi perantauan kali ini terasa begitu berat baginya. Karier yang belum jelas dan hubungannya dengan kekasih pun kini tengah renggang.


21.25 p.m, Pekanbaru, Indonesia


Tumpukan kertas artikel, lampu baca estetik dan laptop, berada di atas meja. Embusan angin malam meniup dari celah-celah jendela kamar Naya Ziendra. Sengaja jendela kamar itu dibiarkannya terbuka. Karena suhu di kota Pekanbaru begitu panas.

Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Naya. Ia baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai jurnalis. Hal ini membuat Naya merasa frustrasi. Menjadi seorang jurnalis adalah impiannya sejak menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Namun sekarang, ia harus merelakan pekerjaan sekaligus impiannya tersebut.

Dirinya lebih memilih berbaring di bawah tempat tidur beralaskan karpet bulu. Sudah satu jam lamanya ia merenungi nasib. Air matanya mengalir tatkala mendengarkan lagu Runtuh dari Feby. Karena ia merasa lagu tersebut sangat relate dengan keadaannya sekarang.

Tok, tok, tok.... (suara ketukan pintu)

"Nay?"

Naya berlari ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Dengan sigap ia membasuh matanya yang sembab usai menangis.

"Iya ma, bentar!" Naya buru-buru membasuh mukanya. Setelah itu ia bercermin sedetik. Hanya untuk memastikan, kalau matanya sudah tidak sembab lagi. Kemudian ia membuka pintu kamar.

"Kenapa ma?"

"Mama cuma mau bilang. Gak usah ya, terlalu dipikirkan soal hari ini. Seenggaknya kamu udah pernah berusaha."

Perkataan bu Irza ini semata-semata untuk menghibur dan memberi semangat kembali pada putrinya. Karena ia tahu bahwa hari ini anaknya baru saja dipecat dari pekerjaannya.

"Makasih ya, ma. Tapi Nay pasti sedih ma. Bingung mau cari kerja apa lagi. Apa ke Jakarta aja ya, ma?" (bertanya ragu-ragu)

"Iya..., sedih itu wajar. Tapi InsyaAllah pasti bakal hilang sedihnya dan diganti dengan yang lebih baik lagi. Janganlah, Nay, terlalu jauh," ucap bu Irza seraya memegang kepala Naya.

Naya mengerti kekhawatiran Sang Ibu pada dirinya. Karena itu terkadang sebagai anak ia merasa bingung dan sulit menentukan jalan hidup yang sesuai dengan keinginan hatinya.

"Tapi ma, Nay pernah diajak sama Ayu buat kerja di Jakarta. Karena tahu mama pasti gak bakalan izini. Yaudah, Naya bilang aja lihat nanti."

Ayu adalah sahabat Naya sedari SD. Mereka sempat hilang kontak sewaktu Ayu pindah sekolah ke luar daerah. Namun, mereka dipertemukan lagi melalui media sosial setelah bertahun-tahun lamanya.

"Iya gak usah kamu kerja yang jauh-jauh ya, Nay. Cari yang dekat aja. Sudah malam, kamu tidur lagi, jangan begadang!" (mencium kening Naya)

"Iya ma," Naya mengambil boneka kodok itu dan memeluknya.

Bu Irza keluar dari kamar Naya. Sekarang Naya beranjak ke atas kasurnya. Ia merasa membutuhkan self healing malam ini. Saat keadaannya sedang tidak baik-baik saja ia akan kembali ke rutinitas hobinya seperti: menonton drama, menulis, menyanyi, mendengarkan lagu dan belajar bahasa asing.

Self healing kali ini Naya memilih menonton drama Korea. Ia pun mencari rekomendasi drama-drama Korea terbaru yang sedang tayang. Namun, sudah menghabiskan waktu lumayan lama scrolling di media sosial, Naya masih belum juga menemukan drama yang menarik minatnya. Ia akhirnya mendengarkan lagu hingga tertidur.

Di sisi lain, Yan masih berada di sekitaran pantai. Ia meminum sebotol kopi hitam yang tadi dibelinya di pedagang street food. Lamunan panjang, perasaan sedih dan bingung, terpancar dari kedua bola matanya saat ia memandangi lautan. Semilir angin meniup rambutnya hingga berantakkan. Tapi wajahnya tetap terlihat tampan.

Urusan pekerjaan dan asmara begitu mengusik hati dan pikiran Yan malam ini. Mata dan jari-jarinya terlihat sibuk membalas pesan masuk dari kekasih. Mereka sedang memperdebatkan sesuatu dan sepertinya sulit untuk mempertahankan hubungan mereka lagi. Setelah duduk cukup lama di pantai, Yan sekarang berjalan ke mobilnya untuk pulang.

Lihat selengkapnya