My Twin Flame

Nadya Suhendra
Chapter #3

Bab 2 - Penantian

Semesta tidak pernah bekerja secara kebetulan. Pertemuan, perkenalan, rezeki, maut dan jodoh, adalah takdir yang sudah ditetapkan oleh Pencipta dan dimiliki setiap manusia. Masing-masing mereka memiliki jiwa yang sama dan saling terhubung sebelum dilahirkan ke dunia.

26 tahun terpisahkan, kini Naya bertemu kembali dengan belahan jiwanya di dunia . Dari negara, ras, budaya, bahasa dan keyakinan yang berbeda. Hanya saja, di awal ia masih belum mengetahui bahwa Yan adalah belahan jiwanya yang hilang selama ini. Sampai akhirnya nanti, ia akan menemukan sebuah postingan video ceramah dari ustad Hanan Attaki yang berbunyi, “dalam Islam Nabi bersabda: bahwa jiwa manusia itu seperti pasukan. Apabila mereka pernah berkenalan di alam roh, maka saat di dunia akan langsung terikat.”

Istilah ini disebut juga sebagai Yin dan Yang dalam teori filosofi Tiongkok. Tapi umumnya orang-orang lebih mengenal sebutan dalam bahasa Inggris yaitu Twin Flame.


16.07 p.m, Beijing, China

***

Terlihat Yan menyandang ransel di satu sisi bahunya dan mendorong sebuah koper berwarna hitam. Tentu saja tujuan pertamanya adalah tempat peristirahatan. Langsung saja dirinya menuju hotel terdekat menggunakan taksi.

"Michael, beneran ternyata, drama Hidden Love bagus banget!"

Michael membuka pintu kulkas mencari makanan yang ingin ia makan. Didapatinya sebuah roti coklat dan sekaleng soda. Lalu ia pun menjawab perkataan kakaknya.

"Udah nonton dramanya, kak? Benar kan kata gue."

"Iya udah. Bagus banget woi. Udah sampe tamat kakak nontonnya. Jadi suka drachin deh sekarang," Naya terus memandangi smart phone nya dengan ekspresi datar disertai perasaan gelisah. Ia sedang menanti balasan pesan dari Yan. Sekarang sudah 24 jam Yan masih belum juga terlihat aktif kembali. Sembari menunggu balasan pesan dari Yan, Naya tetap menjalin komunikasi dengan Lulu. Teman China pertamanya yang ia temui di hari sebelumnya.

Tidak punya banyak waktu untuk bersantai. Yan begitu sibuk dengan segala persiapannya untuk bertemu klien dari luar negeri. Matanya terlihat masih mengantuk karena hanya memiliki waktu tidur yang singkat. Saat ia memeriksa smart phone nya, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

Langsung saja Yan bergegas pergi menemui klien bisnisnya di lokasi perjamuan yang sudah ditentukan oleh pihak perusahaan. Sebelum memanggil taksi Yan menyempatkan diri membeli kopi terlebih dahulu, di salah satu coffee shop yang tidak jauh dari hotel tempatnya menginap.

Suasana malam hari yang terasa begitu sepi. Perasaan gelisah dan keinginan untuk bisa segera berbicara. Semua seperti campur aduk. Ada semacam ke-khawitran bilamana Yan tidak akan pernah lagi menggunakan aplikasi belajar bahasanya. Aneh memang, tapi seperti itulah yang dirasakan oleh Naya.

"Thank you!"(Terima kasih!)

"No problem. It is really nice working with you!" (Sama-sama. Sangat menyenangkan bisa bekerja denganmu.)

Keduanya terlihat saling berjabat tangan setelah selesai dengan kesepakatan kerja yang dibuat. Ini untuk ketiga kalinya Yan dan Mr Ryan bertemu. Manajer perusahaan otomotif asal Australia. Karena itu mereka berdua terlihat akrab dan santai saat berbincang-bincang.

Nayanika indah itu bergerak dari kanan ke kiri. Si pemiliknya terlihat pula sesekali menunjuk-nunjuk ke layar laptop. Dengan seksama, ia membaca setiap tulisan yang tertera pada iklan lowongan pekerjaan di lokasi domisilinya.

Naya tidak ingin berlama-lama menjadi seorang pengangguran. Karena ia tahu menjadi pengangguran lebih melelahkan daripada bekerja. Iya betul. Lelah dengan harapan orang-orang di sekitarnya. Lelah dengan pertanyaan yang sudah menjadi budaya di Indonesia. Seperti kerja apa, gaji berapa, kapan nikah? Hah sudahlah! Intinya Naya ingin segera bisa mendapatkan pekerjaan baru.

Diseruputnya kuah mie itu dengan pandangan mata tetap ke arah laptop. Salah satu kebiasaan buruk Naya adalah sering makan mie instan. Padahal, ia sudah tahu dirinya memiliki riwayat penyakit asam lambung akut.

"Xìe xìe!" (Terima kasih!)

Yan berbicara dengan seorang waiteress. Ia datang ke sebuah kedai yang menjual makanan China untuk mengisi perutnya yang terasa lapar. Wajar saja, karena memang sudah waktunya jam makan malam di sana. Apalagi tadi Yan hanya memakan camilan yang disajikan di dalam pesawat saja.

Mie kuah dan nasi adalah menu makan malam yang tadi dipesan oleh Yan. Gumpalan asap menggulung-gulung di atas permukaan mangkuk. Makanan tersebut masih panas sekali.

Dituangkannya dari ceret ke gelas. Air dingin untuk memenuhi dahaganya terlebih dahulu. Ramai orang berdatangan, namun, hanya Yan saja yang tampak makan duduk sendirian. Hal yang tidak perlu dikasihani. Karena bagi Yan, ia memang lebih suka menikmati waktu sendiri. Entahlah, mungkin ia introvert? Atau mungkin dengan menyendiri perasaannya jauh lebih tenang?

7 pesan masuk dan 3 panggilan tak terjawab dari kekasih. Saat melihat notifikasi itu Yan membalikkan layar smart phone nya ke meja. Masalah kecil yang selalu diperdebatkan, sifat kekanak-kanakan dan tidak pernah mau saling mengerti sebagai pasangan. Membuat Yan lelah dengan hubungan bersama kekasihnya. Lanjut saja ia menyantap makanan yang ada di hadapannya.

***

Wanita paruh baya itu terlihat kewalahan melayani pengunjung yang sedang ramai. Disekanya peluh yang mulai membasahi wajah dengan handuk yang tergantung di lehernya. Ia mengarahkan scan barcode ke smart phone milik Yan. China adalah salah satu negara yang hampir semua transaksi pembayaran dilakukan dengan cara memindai kode batang. Melalui aplikasi wechat.

Waktu seperti menunda-nunda perkenalan Yan dan Naya. Atau Sang Pencipta ingin Naya bisa belajar bersabar? Bersabar dalam arti sebuah penantian.

Hari kedua dan ketiga Yan masih belum terlihat aktif juga. Sepertinya, Naya memang harus benar-benar bisa bersabar dengan yang namanya penantian. Ya, bersabar dalam penantian sebuah balasan pesan, misalnya.

Jadwal Yan begitu padat. Sampai-sampai ia tidak memiliki banyak waktu untuk bersosialisasi di media sosial mana pun saat ini. Kecuali media sosial wechat. Karena wechat adalah whatsapp nya negara tirai bambu. China memiliki aplikasi tersendiri untuk interaksi sosial mereka.


SMART PHONE BERDERING ....


Naya:

"Halo, ndri? Maaf, gue tadi lagi nyuci pakaian." ucap Naya setelah tadi melihat 2 panggilan tidak terjawab dari Indri.

Indri:

"Udah siap nyuci, Nay? Keluar yok nanti sore. Makan bakso kita."

Naya:

"Ok! Selesai Salat Asar, ya."

Indri:

"Ok Nay !"

***

Pergi pakai baju apa ya...? tanya diri Naya setelah menutup teleponnya.


Indri adalah salah satu sahabat Naya dari SMA. Mereka memang sering keluar untuk berburu kuliner. Sebenarnya tidak jarang Naya menolak ajakan Indri untuk nongkrong. Karena Naya tipe anak rumahan. Lucunya, setiap mereka pergi Naya selalu menjadi penumpang dan Indri sopirnya. Ini disebabkan Naya tidak berani mengendarai sepeda motor, hahah.

Di sebuah lapangan hijau yang terbentang sangat luas. Hanya orang-orang berkelas saja yang tampak datang ke tempat ini. Pria paruh baya dengan pakaian sporty serba putih sedang mengayun-ayunkan tongkat golf nya. Ternyata ia adalah rekan bisnis Yan.

Yan datang lebih awal untuk janji temu dengan rekan bisnisnya itu. Tapi sebelum itu ia harus melapor dulu kepada pihak resepsionis. Selama lima belas menit Yan harus menunggu di ruang lobby. Dirinya berharap semua akan berjalan lancar hari ini. Sambil menggoyangkan kedua kakinya, rasa gugup dan cemas tidak bisa Yan tutupi dari wajahnya. Bagi Yan, rekan bisnisnya hari ini adalah orang yang sangat tegas.

"Maaa, Nay hari ini mau keluar ya sama Indri," ucap Naya dengan suara keras dari dalam kamarnya sambil menyetrika pakaian.

"Mau ke mana kamu sama Indri? Ingat pulangnya jangan malam," jawab bu Irza dari ruang keluarga dengan suara keras pula.

"Indri ngajakin jalan-jalan sore ma, sama makan bakso juga. Iya ma!"


20 Menit Kemudian ....


Seperti dugaannya, suara motor yang masih terdengar sedikit jauh itu adalah Indri. Langsung saja Naya buru-buru memakai helm bogonya itu. Ia memeriksa isi dalam tasnya untuk memastikan kembali apakah sudah membawa smart phone dan dompet. Setelah dirasa tidak ada barang yang tertinggal, Naya dan Indri akhirnya berpamitan pergi dengan bu Irza.

Sementara Yan masih saja sibuk dengan urusan negosiasi sejak dari tadi. Rasanya lebih mudah bekerja dengan orang asing ketimbang sesama orang China. Begitulah mungkin yang ada di dalam pikiran Yan saat ia berusaha meyakinkan Mr Chen. Direktur di salah satu perusahaan otomotif di kota Beijing.

Harapannya sia-sia. Pada akhirnya Mr Chen tetap saja tidak ingin menjadi investor di tempat Yan bekerja. Sejenak Yan tertunduk. Lalu ia membereskan segala berkas perusahaan yang terletak di atas meja. Meski pun demikian, Mr Chen tetap memberi pujian dan semangat atas kerja keras Yan.

"Bakso gak pakai mie kuning. Satu ya, mas!" ucap Naya.

"Saya bakso. Pakai semuanya ya, mas." disusul kembali oleh Indri.

Usai berkeliling dengan sepeda motor Naya dan Indri singgah di kedai bakso langganan mereka. Sembari menunggu pesanan datang, mereka terlihat asyik mengobrol. Tidak berselang lama bakso pesanan Naya dan Indri tadi pun datang.

Yan kini sedang duduk di dalam taksi untuk menuju ke sebuah kedai makan. Sekarang sudah mendekati jam makan malam di China. Butuh waktu dua puluh lima menit untuk sampai ke tempat tujuan tersebut.

Naya dan Indri pun kini sudah berada di rumah masing-masing. Mereka pulang sebelum waktu Salat Magrib. Karena perintah bu Irza tadi yang mengatakan jangan pulang malam pada Naya.

Usai makan malam, kini kaki Yan tampak melangkah ke luar dari kedai itu. Rasanya ia tidak ingin buru-buru kembali ke hotel. Lagi pula ini adalah hari terakhirnya di Beijing. Karena besok ia akan kembali ke Qingdao.

Yan pergi menyusuri taman. Dilihatnya orang-orang begitu sibuk. Ada sepasang kekasih yang mengayuh sepeda, sekumpulan keluarga sedang piknik dan muda mudi yang berfoto ria. Yan duduk di sebuah kursi taman. Matanya menghadap ke atas langit menyaksikan bintang-bintang. Seketika ia teringat kekasihnya. Ia pikir, ini adalah waktu yang tepat untuk membalas kembali pesan kekasihnya. Karena Yan sudah tidak disibukkan lagi dengan urusan pekerjaan.

Naya baru saja selesai membasuh mukanya. Ia bersiap-siap untuk tidur lebih awal. Tubuhnya terasa lelah karena tadi sore menghabiskan waktu di luar. Sekarang Yan terlihat berada di dalam supermarket. Ia membeli camilan sebelum kembali ke hotel untuk tidur.


HARI SELANJUTNYA


Yan sarapan terlebih dahulu di bandara Beijing sebelum boarding. Ia begitu menikmati roti lapis dan jus mangga itu.

Paginya baru saja dimulai. Namun, suasana hatinya begitu tidak karuan. Apa lagi kalau bukan karena memikirkan tentang Yan. Masih belum beranjak dari tempat tidur, seperti biasa, Naya akan selalu memantau profil Yan dulu sebelum melakukan tugas rumah. Nyatanya tetap sama. Yan sudah berhari-hari tidak terlihat aktif.

Naya kemudian berjalan ke dapur. Ia ingin sarapan pagi dulu sebelum melakukan pekerjaan rumah. Segelas susu coklat dan roti lapis. Tampaknya hari ini Naya dan Yan sama-sama sarapan dengan roti lapis. Tapi roti lapis memang salah satu makanan kesukaan Naya.


2 Jam Kemudian ....


0701 - - - (mengetik kode password)


Yan berdiri di depan pintu apartemennya. Akhirnya ia sampai juga di Qingdao. Home sweet home. Sudah berhari-hari Wang Yan meninggalkan apartemennya. Tentu saja ia merasa rindu berbaring di kasurnya sendiri. Yan merebahkan badannya dan kemudian ia merogoh smart phone nya dari saku celana.

Entah apa yang membuat hati Yan tergerak. Tiba-tiba saja ia membuka kembali aplikasi belajar bahasa miliknya. Di saat itulah, Yan melihat notifikasi pesan masuk dari Naya. Sudah empat hari yang lalu. Langsung saja Yan membalas pesan Naya tersebut.

Lihat selengkapnya