Ia menekan tombol nomor satu. Kedua bola matanya menatap arloji yang ada di tangannya. Malam hari, pukul delapan lewat lima belas menit. Yan hanya ingin memastikan apakah ia bisa datang tepat waktu atau tidak. Kakinya melangkah ke luar dari pintu lift itu dan sekarang ia berada di area basemen apartemen. Kunci yang dipegangnya seketika berbunyi dan membuka pintu mobil yang sedang terparkir. Yan masuk ke dalam mobilnya.
Sementara itu, di sebuah kafe bernuansa estetik tampak seorang pria tengah duduk menikmati secangkir es americano. Jari-jemarinya membuat ketukan irama di atas meja. Tidak lama kemudian smart phone nya berdering. Ia pun langsung mengangkat panggilan telepon itu.
"Nǐ zài nă? Wŏ kàn bùjiàn nǐ,"(Kamu dimana? Aku gak lihat kamu,) sambil menelepon Yan celingak-celinguk di sekeliling kafe. Karena masih belum melihat orang yang ingin ditemuinya malam ini. Yan terus berjalan melewati pengunjung lainnya dan sampai akhirnya ... seseorang memanggil namanya sembari melambaikan tangan. “Yan, wŏ zài ne!” (Yan, aku disini!). Lalu ia menghampiri pria tersebut.
"Āi yā, nǐ chí dào le shí fēn zhōng!"(Aih, kamu terlambat 10 menit!)
"Bù hăo yìsi,"(Maaf,) ucap Yan sambil tertawa. Karena ia tahu sahabatnya itu hanya bergurau saat berkata demikian. Aslinya, Yan sampai di pukul sembilan sesuai janji yang sudah mereka buat.
Sean, perawakan Chinese dengan nama English. Hal yang lumrah di China bila sebagian penduduknya menggunakan nama Inggris. Agar lebih memudahkan orang asing dalam penyebutan nama mereka, mungkin. Karena pasti tidak jarang dari kita banyak menemukan orang China dengan nama Inggris. Ya kan..., bukan begitu? Mereka mulai berteman sejak masih menjadi seorang mahasiswa dulunya. Namun tidak satu jurusan sewaktu kuliah. Karena Yan belajar otomotif dan Sean ekonomi.
Seperti orang lain pada umumnya, persahabatan keduanya terjalin baik dan harmonis. Mereka saling berkirim pesan, nongkrong bersama, berbagi keluh kesah dan saling support dalam kehidupan masing-masing. Yan bertemu Sean malam ini untuk menceritakan masalah pekerjaannya. Sekaligus berdiskusi tentang kepindahannya ke rumah Sean dalam waktu dekat. Yan telah membuat keputusan, kalau ia akan tetap tinggal di kota Qingdao. Namun, tidak tahu pasti alasan kenapa ia ingin pindah. Sean tampak tidak keberatan dengan rencana kepindahan Yan ke apartemennya.
Naya menuangkan tiga tetes serum itu ke telapak tangannya. Lalu menepuk-nepukkannya ke wajah sambil menatap kaca. Ia begitu gundah sejak tadi menunggu balasan pesan dari Yan. Isi kepalanya memenuhi pertanyaan-pertanyaan seperti: kenapa ia lama membalas, sekarang ia sedang apa, apa ia sibuk bekerja? dan lain sebagainya. Pikiran semacam ini terasa mulai mengusiknya. Ia berusaha mengalihkan pikirannya itu dan bersiap-siap untuk tidur. Maka, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Naya tadi adalah, Yan sekarang sedang di perjalanan pulang—pulang setelah bertemu dengan Sean, sahabatnya.
HARI SELANJUTNYA
"Zhè shì gĕi nǐ de,"(Ini buat kamu) Hedi menyodorkan kopi itu pada Yan. Ya, ia adalah rekan kerja yang beberapa hari lalu pergi minum bersama Yan di kedai bir.
"Zhēn de ma?" (Benaran?)
"Shì" (Ya)
"Xìe xìe" (Terima kasih)
Yan menyeruput kopi itu sebelum meletakkannya ke atas meja kerja. Beberapa karyawan lainnya terlihat tengah asyik mengobrol. Ada juga yang sibuk menatap layar monitor. Pagi ini suasana kantor terasa cukup santai. Yan melihat satu-persatu rekan kerjanya dengan tatapan penuh makna. Dalam hatinya ia berbicara. Mungkin suatu saat nanti aku akan merindukan mereka semua. Hanya hitungan tiga minggu lagi, Yan dan mereka semua akan pergi meninggalkan perusahaan ini. Pada saat itu pula hari raya imlek sudah mulai mendekati.
Sejak kemarin Yan dan kekasihnya tidak terlihat saling bertukar kabar seperti biasanya. Ataukah ini hal yang wajar bagi sepasang kekasih? Tidak mesti selalu komunikasi 24 jam setiap hari. Bukan Yan tidak peduli. Kemarin ia juga sedang sibuk memutar isi kepalanya untuk mencari cara. Semua itu semata-mata demi ia juga—kekasihnya. Tapi ... bagaimana dengan si perempuan itu? Ke mana dia?
Hari ini hati dan pikiran Yan sudah lumayan membaik. Ia menghubungi kekasihnya sebelum lanjut bekerja. Yan meminta bertemu dengan kekasihnya nanti malam di tempat makan favorite mereka berdua. Kedai makanan tradisional China. Semasa pacaran mereka memang sering makan di sana. Penjualnya adalah sepasang suami istri yang ramah. Selain itu, makanan yang mereka jual memang terbilang lezat dan bersih. Yan mengatakan akan menjemput kekasihnya. Tapi anehnya ... ia meminta Yan untuk menemuinya di sekitaran coffee shop di tempatnya bekerja saja, selepas jam kerja. Tidak seperti biasanya, Yan pun dibuat heran. Tapi ia tetap mengiyakan permintaan kekasihnya itu.
PAGI HARI DI RUMAH NAYA
"Nayyy" (Ayah Naya memanggil dari ruang keluarga)
"Ya paaa"
"Lagi ngapain? Buatin papa kopi tolong!"
"Iya pa, bentarrr," jawab Naya seraya membereskan kamarnya. Ia merapikan sprei, melipat selimut, menyusun bantal dan guling. Setelah selesai ia pun keluar dari kamarnya.
"Kopi pa?"
"Iya, gulanya sedikit aja ya. Jangan kemanisan, Nay."
"Oh, iya pa. Kopi hitam atau ..."
"Kopi hitam aja. Jangan yang sasetan."
"Oh, iya iya pa"
Pak Hendra. Ia adalah sosok ayah yang penyayang kepada anak-anaknya. Meskipun jarang komunikasi secara emosional, tapi ia selalu menunjukkan kasih sayangnya kepada keluarga melalui tindakan. Ia juga selalu mendukung setiap keputusan anak-anaknya selagi itu baik dan benar.
"Kak, buatin aku juga tolong. Kopi saset luwak. Gulanya dikit aja, karna aku udah manis," susul Michael seraya menyisir rambutnya setelah mengoleskan pomade.