Bunga yang tadinya bermekeran kini mulai layu. Jatuh berguguran, mati sampai ke akar. Taman di pekarangan tidak lagi dihiasi oleh keindahannya. Karena si pemilik rumah berhenti merawatnya. Sedangkan si penghuni rumah, ia bersusah payah memupuk dan menyiraminya agar bunga-bunga itu tumbuh kembali.
Setelah kesalahpahaman kemarin hubungan Yan dan Naya mulai renggang. Mereka masih saling bertukar kabar. Akan tetapi sepertinya hanya untuk sekadar basa-basi saja. Obrolan mereka tidak lagi hangat dan manis layaknya seperti dulu.
PAGI INI, Yan menjelaskan lagi alasan kenapa kemarin ia tidak menghubungi Naya. Namun Naya sama saja egoisnya. Ia seakan tidak terlalu peduli dengan alasan Yan tersebut. Meski Yan sudah mengakui dirinya salah, Naya tetap saja mengungkit-ungkit kembali kesalahan Yan saat mereka berdua berbicara lewat pesan suara. Yan tidak ingin memperdebatkan masalah kecil menjadi besar. Karena itu ia memilih diam dan tidak lagi membalas pesan Naya.
SIANG HARI INI, suhu di kota Qingdao begitu cerah. Ya ... walau sedikit panas. Waktu menunjukkan pukul sebelas lewat tujuh, tatkala Yan memperhatikan arloji yang menggantung di tangan kirinya. Sudah waktunya jam makan siang. Terlihat beberapa rekan kerja Yan pergi meninggalkan kantor untuk membeli makanan. Salah satu di antara mereka mengajak Yan untuk pergi makan bersama yang lainnya. Yan pun menerima ajakan tersebut.
Mereka makan siang di sebuah kafetaria yang dekat dari kantor. Hanya butuh waktu sepuluh menit berjalan kaki menuju ke sana. Setibanya di sana, Yan dan rekan kerjanya mengantre untuk memesan makanan. Karena ada banyak pembeli yang datang. Kebetulan mereka semua rata-rata pekerja kantoran dari sekitaran lokasi yang sama. Sembari menunggu pelayan datang Yan dan ketiga rekan kerjanya tampak berbincang-bincang santai. Tidak lama setelah itu pelayan pun datang. Yan memesan menu makan siang: nasi, ayam kungpao, tahu dan sayur.
Naya merasa bersalah pada Yan atas perkataannya tadi. Mengetahui Yan hanya mendengarkan pesannya saja, Naya mencoba untuk menurunkan egonya dan menghubungi Yan lagi.
Naya:
[Pesan Suara]
"Gēgē, what do you have for lunch?" (Abang, kamu punya apa untuk makan siang apa?)
Kebetulan sekali, makanan yang dipesan Yan baru saja dihidangkan oleh pelayan. Yan memotret makanannya itu dan mengirimnya pada Naya.
Yan:
[Pesan Teks]
"This is my lunch, haha." (Ini adalah makan siang ku, haha.)
Naya:
[Pesan Teks]
"Eat well, gēgē." (Makanlah dengan baik, abang.)
Yan tidak membalas pesan Naya lagi meski ia telah membacanya. Dirinya tetap lanjut menyantap makan siang bersama rekan-rekan kerjanya.
Seperti mendapatkan sebuah firasat, Naya kali ini Yakin hubungannya dengan Yan akan menjadi asing. Sebab ia merasakan perubahan sikap pada diri Yan hari ini. Yan bersikap dingin dan cuek seperti dulu. Benar saja, ia tidak membalas pesan Naya itu selama berhari-hari. Naya pun dirundung pilu. Rindu menghantam hatinya sampai lebam membiru.
HIRAP ....
Tiada lagi notifikasi dari Yan yang biasanya mengisi hari-hari Naya. Tanpa kata pamit, Yan pergi dan tidak kembali. Padahal Naya sangat ingin ikut bersamanya. Namun Yan malah melepaskan sekaligus meninggalkan Naya sendirian. Bak diusir secara paksa dari rumah yang sudah nyaman ia tinggali. Naya, sekuat tenaga mengetuk-ngetuk pintu rumah yang sudah terkunci untuknya. Tapi tetap saja pintu itu tidak bisa terbuka kembali.
Ia berusaha untuk menghubungi Yan lagi setelah berhari-hari tidak berbicara dengannya. Karena renjana begitu mencekik dan ia tidak mampu menahannya lagi.
Naya:
[Pesan Teks]
"Gēgē, what happened?" (Abang, apa yang sudah terjadi?)