My Twin Flame

Nadya Suhendra
Chapter #19

Bab 18 - Seperation

Naya:

[Pesan Teks]

"Are we still friend, gēgē? I just wanna know." (Apakah kita masih temanan, abang? Aku hanya ingin tahu.)

Yan:

[Pesan Suara]

"Ohh my adik, yes yes. No matter what happened, I will always treat you as adik. It obviously clear." (Ohh adikku, ya ya. Tidak peduli apa yang sudah terjadi, aku akan selalu memperlakukanmu sebagai adikku. Ini sudah jelas.)

Naya:

[Pesan Teks]

"Why did you ignored me a couple weeks ago? I mean, we started being friend in a good way. So if you don’t wanna be my friend anymore, I wish you could tell me at the time. It looks like i’m chasing you to be my friend or even more." (Kenapa kamu mengabaikanku beberapa minggu yang lalu? Maksudku, kita memulai pertemanan dengan cara yang baik. Jadi kalau kamu tidak ingin menjadi temanku lagi, aku berharap kamu bisa mengatakannya padaku waktu itu. Ini terlihat seperti aku sedang mengejar kamu untuk menjadi temanku atau bahkan lebih.)

"—However I came back after I remember all the good things that we’ve made when we were good friend. Thank you so much for all this time you wanted talking with me. Thank you for all your time. If I did something bad to you, I’m really sorry. I didn’t mean it. I hope you’ll always having a good life, gēgē." (Bagaimana pun, aku kembali setelah mengingat semua hal-hal baik yang pernah kita buat ketika kita masih berteman baik. Terima kasih banyak selama ini kamu mau berbicara denganku. Terima kasih untuk waktumu. Jika aku sudah melakukan sesuatu yang buruk padamu, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud begitu. Aku harap kamu akan selalu memiliki kehidupan yang baik, abang.)

Yan:

[Pesan Suara]

"Oh no no my adik. We’re always friend’s, yeah." (Oh tidak adikku. Kita akan selalu jadi teman, ya.) jawab Yan dengan nada bicara terbata-bata. Ia terdengar seperti sedang mabuk. Saat Naya memutar ulang pesan suara Yan, ia menyadari ada suara teman-teman Yan juga. Apakah ia sedang berpesta bersama teman-temannya? Atau ia minum bersama mereka karena ingin menghilangkan beban pikirannya? Entahlah! Yang jelas Naya mengira Yan sedang mabuk malam ini.

Naya tahu, Yan dan dirinya sama hancurnya saat ini. Hanya saja Yan tidak terbuka soal perasaannya. Sedangkan Naya terlalu jujur tentang perasaannya. Tapi sabar ada batasnya. Kali ini Naya benar-benar memilih untuk menyerah dari kisahnya bersama Yan. Walau sebenarnya ia sangat mencintai Yan. Dirinya hanya tidak ingin terluka lebih dalam lagi. Bagaimana pun mereka adalah dua insan yang tak akan mungkin untuk bersatu, pikirnya.

Mati-matian Naya menyusun kembali hatinya yang telah hancur berkeping-keping. Sejak malam ini, Naya tidak pernah mengejar-ngejar Yan lagi. Dirinya didekap lara. Namun ia percaya, paling ini hanya sementara. Jika dulu hidupnya baik-baik saja tanpa Yan, lantas mengapa sekarang tidak bisa seperti dulu? Seiring berjalannya waktu luka-luka pasti akan sembuh.

Bila merindu mereka berdua hanya saling memandang bulan dari langit yang sama. Namun di tempat tinggal yang berbeda. Melalui perantara telepati mereka berdua tahu, kalau mereka sebenarnya saling merindu. Sungguh terasa berat menjalani hari-hari tanpa mengetahui kabar Yan—tanpa mendengarkan suaranya yang indah nan membuat Naya kecanduan—tanpa tahu harus bagaimana melupakan semua tentangnya. Mulai sekarang dan seterusnya, Naya harus bisa terbiasa tanpa Yan di dalam hidupnya.

Sementara itu, Yan, ia tidak ada ubahnya. Masih tetap menyibukkan diri dengan hal-hal yang penting saja. Hidupnya hanya fokus pada urusan pekerjaan untuk saat ini. Entah nanti mungkin ia akan berubah? Saat sudah menemukan seseorang yang baru yang akan menghiasi hari-harinya kembali.

Selama masa perpisahan ini Naya dihajar habis-habisan oleh perasaannya. Dalam kesedihan ia sering menangis karena mengingat Yan. Semua tentang Yan tergambar begitu jelas dalam memorinya. Ia bahkan mencoba berkenalan dengan orang baru untuk melupakan Yan. Namun, tidak ada satu pun insan yang bisa membuatnya cinta seperti ia mencintai Yan. Hanya kepada Tuhan setiap harinya Naya mengadu. Semua yang ia alami dan rasakan, segalanya ditumpahkan saat bersujud dan menengadahkan tangan.

Pikirannya begitu kusut. Naya butuh melakukan aktivitas yang membuatnya tetap waras. Sore ini, Naya ingin pergi ke coffee shop di dekat rumahnya. Dirinya sudah lama juga tidak meminum kafein. Karena tidak bisa mengendarai motor Naya memesan ojek online untuk pergi ke sana. Sebelum berangkat ia memasukkan laptop ke dalam tas nya. Ia juga menambah sedikit riasan pada wajahnya yang mungil itu. Lalu merapikan hijab pashmina-nya yang berwarna mocca.

***

SMART PHONE BERDERING ....


Abang ojek:

"Halo kak, ini rumahnya gak jauh dari perumahan berlian residen, 'kan?"

Naya:

"Oh iya bang, betul betul. Nyampe sana nanti ada gang, nah ... masuk ke dalam gang itu ya, bang," jawab Naya sambil menutup pintu kamar.

Naya sekarang berjalan ke arah ruang tamu untuk menemui ibunya yang sedang menonton tv. Ia ingin berpamitan pergi.

"Ma..., Naya pergi ke coffee shop bentar ya,” Naya menyalami ibunya.

"Coffee shop mana, Nay? Sama siapa?"

"Dekat kok ma, di kampus pelita. Sendirian aja ma. Naya udah pesan ojol. Bentar lagi nyampe."

"Loh, kok pergi sendirian Nay? Kenapa gak sama teman?" tanya bu Irza dengan ekspresi wajah risau.

"Lagi pengen sendirian aja maaa. Gak apa-apa ya ma, 'kan dekat?” Naya merangkul bahu ibunya sambil senyum-senyum.

"Hmmm ... ya udah. Tapi ingat, pulangnya jangan malam ya!"

"Iyaaa, gak kok ma."


Tit, tit, titt.... (suara klakson motor)


"Abang ojol nya udah datang ma. Nay pergi ya, ma," Naya mencium pipi ibu nya dan bergegas ke luar rumah.

"Hati-hati, Nay," ucap bu Irza seraya berjalan menuju pintu rumah untuk melihat Naya pergi.

"Iyaa ma,"

Lihat selengkapnya