My Twin Flame

Nadya Suhendra
Chapter #20

Bab 19 - Flight Ticket to China

Yan menyesali perbuatannya pada Naya. Ia menangis meminta maaf setulus hati. Memohon agar Naya mau memaafkan kesalahannya.


Allahuakbar, Allahuakbar (2×)

Asyahadu alla illaaha illallah (2×)

Asyahadu anna Muhammadar Rasulullah (2×)

Hayya ‘alashshalaah (2×)

Allahuakbar, Allahuakbar (2×)

Laa ilaaha illallah (1×)


Naya tersentak dari tidurnya. Tubuhnya lemas dan pandangannya sedikit buram. Ia masih berusaha untuk mengumpulkan nyawanya yang melayang di atas awang-awang. Napasnya sesak dan berembus kencang. Naya melihat dengan tatapan kosong. Ia kaget, Yan hadir ke dalam mimpinya. Namun mimpi itu tampak sangat nyata. Ia yakin mimpi itulah adalah bentuk komunikasi telepati antara Yan dan dirinya. Naya kemudian mengusap kedua wajahnya. Ia melihat jam yang terletak di atas meja di samping tempat tidurnya. Waktu menunjukkan pukul empat, lewat lima puluh lima menit. Azan Subuh baru saja selesai berkumandang. Naya bangkit dari tempat tidurnya dan melangkahkan kaki ke kamar mandi.

***

Tangannya memutar keran wastafel. Air pun keluar dan mengalir dengan deras. Perlahan-lahan Naya membasuh seluruh wajahnya. Ia menatap wajahnya di dalam cermin usai membasuh wajah. Tidak habis pikir. Sudah sekuat tenaga melupakan Yan, tapi selalu ada saja hal yang membuatnya teringat lagi pada Yan. Bahkan Yan sampai datang ke dalam mimpinya hari ini. Naya yakin memang itu yang sebenarnya dirasakan Yan saat ini. Kalau Yan merasa bersalah dan ingin meminta maaf. Naya berhenti menatap cermin. Ia lanjut menyikat gigi dan mengambil wudu.

***

Mukena berwarna merah muda itu Naya turunkan dari penggantungan kain. Naya mengenakannya untuk Salat Subuh. Ia mengawali paginya dengan menjalankan kewajiban sebagai seorang Muslimah.

***

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh .... (tahiyat akhir)

***

Ya Allah, mengapa Yan gēgē hadir ke dalam mimpi hamba? Apakah engkau yang menghadirkannya? Atau hamba yang terlalu memikirkan dan merindukannya?

—Sejujurnya hamba memang sangat merindukannya, Ya Allah. Rindu pada ciptaanmu yang satu itu. Ya Allah ... (Naya mulai menitikkan air mata)

—tidak mungkin perasaan ini ada jika bukan tanpa kehendakmu. Apakah Yan gēgē pernah merasakan hal yang sama seperti yang hamba rasakan? Jika tidak, tolong berikan perasaan yang sama ke dalam hatinya, Ya Allah. Namun jika engkau tidak mengizinkannya, maka hapuskanlah rasa hamba untuk Yan gēgē. Bantu hamba untuk melupakannya. Sampai benar-benar lupa,

Naya meratap dalam doanya hingga sesegukan. Segala kesedihannya tumpah di atas sajadah. Dadanya terasa jadi lebih lapang saat ia berdialog bersama Tuhan.

Tolong berikan kepada hamba petunjukmu yang baik dan benar. Berikan pula kepada hamba kesibukan dalam kebaikan. Agar hamba lupa akan kesedihan. Aamiin...! (Naya mengusap wajahnya)


08.00 p.m, Pekanbaru, Indonesia


PAGI INI, Naya dan ibunya memasak nasi goreng bersama. Naya kebagian tugas memotong-motong bahan saja. Sementara itu, Michael dan pak Hendra bersiap-siap untuk berangkat kerja. Aroma nasi goreng sampai ke penciuman Michael saat ia memasang kancing bajunya dan berjalan ke ruang makan.

"Wahhh..., harum nasi gorengnya nyampe sini, ma." ucap Michael pada ibunya.

"Haha..., iya bentar lagi siap nih nasi gorengnya," jawab bu Irza sambil mengaduk-aduk nasi goreng.

"Siapa yang masak, ma? Gak mungkin Naya, HAHAH....,” ucap Michael sambil tertawa terbahak-bahak. Kemudian ia menuangkan air putih ke dalam gelasnya.

Tidak jarang Naya dan adiknya bertengkar karena hal kecil. Ya..., begitulah namanya saudara. Pasti selalu ada bumbu-bumbu pertengkaran kecil. Tapi sebenarnya mereka saling menyayangi.

"Apaan sih, lu? Mending gue, bantuin mama motong-motong bahan. Lah, lu? Makan doang tau nya," Naya berbicara sambil menunjuk-nunjuk ke arah Michael.

"Lah, lu kan cewek. Masak gak bisa masak," jawab Michael ketus. Lalu ia meminum air putihnya itu.

"Lu kira cewek doang yang harus bisa masak?" jawab Naya keras sambil mengambil piring-piring dari rak piring. Piring itu kemudia ia kasih ke ibunya.

"Hehhh..., udah-udah. Ini kenapa sih? Masih pagi udah berantem aja. Gak boleh kaya gitu,” ucap bu Irza seraya mengisi piring-piring kosong itu dengan nasi goreng. Setelah itu keluarga mereka sarapan pagi bersama.

Lihat selengkapnya