My Twin Flame

Nadya Suhendra
Chapter #22

Bab 21 - Intuition

"Paket!"

"Kak,"

"Ya, bentar....!"

Naya ke luar dari kamarnya menuju kurir paket yang berdiri di pintu luar rumah. Perawatan kulit yang ia pesan beberapa hari yang lalu akhirnya sampai juga hari ini.

"Produk skin care Korea ... pembayaran COD, ya, kak?" tanya kurir paket itu memastikan lagi. Ia juga terlihat seperti sedang melakukan verifikasi di smart phone nya.

"Iya. Betul, bang." jawab Naya.

"Okay! Ini paketnya, kak!" Abang kurir itu memberikan kotak paket pada Naya.

"Makasih ya, bang," ucap Naya sambil mengambil paketnya.

"Sama-sama, kak. Yuk, mari, kak!" ucap abang kurir itu berpamitan pergi.

Naya tampak begitu senang menerima paketnya tersebut. Ia membawa paket itu ke kamarnya. Dengan sebuah gunting tajam berwarna biru muda, ia melepaskan bungkusan paket itu dari kotaknya. Di dalam kotak itu berisi satu rangkaian perawatan kulit: sabun pencuci muka, toner, serum, krim muka dan sunscreen. Ia mengendus aroma perawatan kulit itu satu-persatu dan mencoba memakainya sedikit di bagian wajah. Untuk memastikan, apakah produk tersebut cocok atau tidak dengan kulitnya. Dan ternyata produk itu cocok-cocok saja di kulitnya. Selesai mencoba semua jenis perawat kulit tadi, Naya menyimpannya di rak kosmetik.

Bunyi papan ketik itu begitu cepat, secepat jari-jemari yang sedang bermain di atasnya. Diiringi pula dengan suara nada telepon yang diangkat secara bergantian oleh karyawannya. Yan begitu sibuk berkutat di depan laptopnya sore ini. Ia terus mengetik sembari melihat panduan pada buku laporan. Tatkala dirinya sedang mengetik, tanpa sengaja ia menyenggol kalender di atas meja dengan siku tangan kanannya. Seketika ia terhenti mengetik. Ia melihat kalender itu dan teringat akan ulang tahun Naya. Ia memegang kalender itu dan menatapnya sambil termenung selama dua menit. Setelah itu ia meletakkan kembali kalender tadi. Kemudian ia membuka laci yang ada di hadapannya untuk mengambil satu buah permen kopi. Ia memakan permen kopi itu dan lanjut lagi bekerja.

Naya tidak pernah menyangka kalau dirinya akan menjadi pengangguran selama ini. Sudah berbulan-bulan ia masih belum juga mendapatkan pekerjaan baru. Walau sudah banyak memasukkan lamaran kerja dan dipanggil untuk interview, tapi semua hanya sampai sebatas itu saja. Ke-uangannya pun sudah semakin menipis. Karena semenjak pengangguran ia sering nongkrong bersama sahabat-sahabatnya. Ia juga tidak ingin meminta uang dengan orang tuanya. Karena rasa segan itu pasti ada. Sekarang ia masih memikirkan rencana hidupnya ke depan. Ia berbaring di atas tempat tidur dengan lamunan panjang. Mencoba mencari jati dirinya yang sesungguhnya. Selama ini ia hanya fokus belajar, menyelesaikan pendidikan S1 tepat waktu. Lalu keinginannya setelah sarjana adalah bekerja di perusahaan media besar dan ternama. Tapi ... apakah itu sesuatu yang benar-benar ia cintai? Bisa saja itu hanya sebuah obsesi, pikirnya. Ia mengingat kembali perkataan Ayu, sahabatnya. Saat mereka berbicara di telepon beberapa hari yang lalu. Ayu bilang pada Naya bahwa hidup ini harus ada plan A dan plan B. Jangan hanya bertahan di zona nyaman saja. Naya meyadari, perkataan Ayu ada benarnya juga. Karena selama ini ia tidak pernah mau mencoba hal baru selain dari berkutat di dunia jurnalis. Padahal kalau dipikir-dipikir lagi, ia punya banyak bakat dan kreativitas yang mungkin saja bisa membawanya menuju jalan kesuksesan. Hanya saja selama ini dirinya tidak terlalu menyadari itu.

***

Naya mengubah posisi tidurnya dan tanpa disengaja matanya tertuju pada laci bufet yang ada di dalam kamarnya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia pun langsung turun dari tempat tidurnya untuk membuka laci itu. Saat ia membukanya, ia mengambil sebuah buku catatan bersampul biru. Buku itu dibelikan oleh ibunya beberapa waktu yang lalu. Karena menulis juga salah satu hobi Naya. Hanya saja selama ini ia tidak terlalu mengasah kemampuannya dalam menulis.

Yan menge-print semua catatan penting yang sudah diketiknya tadi di depan laptop. Setelah selesai, ia berjalan menuju ruangan atasannya. Kepalan tangannya membunyikan suara ketukan pintu sebanyak dua kali. Mendengar ketukan pintu, atasan itu pun mempersilakan Yan masuk ke dalam ruangannya. Ia meminta Yan untuk meletakkan berkas itu di atas mejanya dan mengucapkan terima kasih. Yan keluar dari ruangan itu setelah menyerahkan semua berkas penting tadi. Ia kembali lagi ke meja kerjanya dan bersiap-siap untuk pulang.

Naya membuka buku yang ia ambil dari dalam laci tadi. Ia duduk di kursi dan membaca tulisan yang pernah ia goreskan dengan tinta penanya di buku itu. Meski pun tulisannya tidak tertata layaknya seorang sastrawan, namun bila menulis perihal cinta ia akan menulisnya dengan sejuta keindahan. Naya tersenyum dan sesekali merasa geli sendiri tatkala membaca tulisan-tulisan lamanya itu. Karena kalimatnya begitu puitis. Selagi ia tertawa, tanpa aba-aba pikirannya memutarkan kembali memori kedekatannya dengan Yan dulu. Raut wajahnya langsung berubah menjadi datar. Ia bingung, kenapa dirinya seperti sulit sekali untuk melepaskan ingatan tentang Yan. Ia berharap hubungannya bersama Yan masih baik-baik saja. Tapi kenyataannya berbeda. Ia tidak pernah tahu lagi bagaimana kabar Yan dan seperti apa ia menjalani hari-harinya saat ini. Padahal, ada begitu banyak hal setiap harinya yang ingin ia bicarakan dengan Yan. Sekarang ia seakan tidak punya kesempatan lagi untuk berbicara dengannya. Saat mengingat Yan tadilah, intuisi Naya seketika muncul. Ia ingin menulis novel tentang kisahnya bersama Yan. Tapi ... ia masih belum memiliki gambaran cerita seperti apa yang akan ia buat.

Yan sedang mengendarai mobilnya menuju jalan pulang. Sebelum pulang, ia mampir dulu di sebuah supermarket untuk membeli keperluannya selama sebulan. Ia mendorong troli belanjaan itu mengambil satu-persatu yang dibutuhkannya. Ada pasta, mie instan, sayur, bir kaleng, susu kotak, roti dan lain sebagainya. Setelah troli tadi terisi penuh, Yan membawa belanjaannya itu ke kasir untuk dibayar.

***

Ia memasukkan semua belanjaannya ke dalam mobil dan pulang. Yan memutar lagu di dalam mobilnya. Ia mendengarkan lagu-lagu kesukaannya sepanjang perjalanan pulang. Sesampainya di apartemen, ia memarkirkan mobilnya dulu di area basemen. Kemudian, ia mengeluarkan semua belanjaannya tadi dari dalam mobil dan berjalan menuju lift. Apartemen Yan ada di lantai tujuh.

Naya sudah meletakkan kembali buku catatannya tadi ke dalam laci. Ia masih dalam rencana untuk menulis novel tentang dirinya dan Yan. Isi kepalanya sedang memutar cara untuk menemukan ide cerita brilian dan tentunya benar-benar tertuang melalui hati dan pikiran. Sekarang ia keluar dari kamarnya menuju dapur. Ia ingin membuat pasta carbonara untuk makan malam. Ia akan memasak pasta itu dengan melihat video tutorial di media sosial. Tiba-tiba saja keinginannya untuk belajar masak muncul. Tapi ia memilih untuk memasak makanan yang simpel saja.

Yan sudah berada di dalam apartemennya. Ia sekarang memasukkan belanjaannya tadi satu-persatu ke dalam kulkas. Ia juga menyisihkan satu buah roti dan susu untuk camilannya. Karena malam ini ia tidak ingin makan—makanan yang berat. Ia akan makan roti dan minum susu itu sambil menonton siaran bola di TV.

Lihat selengkapnya