Untuk mereka yang (masih) percaya
akhir setiap kisah cinta adalah
bahagia selamanya ….
The true drama unfolds
just minutes from the altar.
Akhir Juni
Finally, the day!
Aku berkedip beberapa kali sebelum kembali menatap pantulan wajahku pada cermin di sudut ruangan. Aku tidak mengenali refleksi wajahku sendiri. Shading dan foundation menutupi semua kekurangan wajahku. Mata bulatku semakin sempurna karena riasan eye shadow dan eyeliner. Bulu mataku lentik indah berkat bantuan maskara. Bibirku yang biasanya hanya berlipstik nude kali ini terlihat penuh dan menggoda dengan warna merah muda. Rambut hitam bergelombang yang biasa kubiarkan terurai asal sekarang tergelung rapi membingkai wajahku dengan sempurna.
Who are you, young lady?
Setelah puas dan yakin riasan ini sempurna dan tidak membuatku terlihat menggelikan seperti badut, aku berdiri dan berjalan pelan menuju gaun satin yang tergantung rapi di pintu lemari. Kupandangi gaun yang akan menjadi saksi pernikahanku itu selama beberapa menit sebelum kuambil dengan lembut untuk dikenakan.
Gaun satin berwarna sampanye ini berlapis lace dengan aksen swarovski pada bagian dada dan ujung gaun. Aku jatuh cinta pada gaun ini sejak kali pertama melihatnya, koreksi, sejak kali pertama melihat sketsa desainnya. Dan, mengutip kata Gigi, ini gaun terbaik untuk merayakan kebahagiaanku. Seperti biasa, Gigi selalu benar kalau menyangkut urusan fesyen. Gaun princess silhouette tanpa lengan sepanjang lutut ini membalut tubuhku yang sedikit berisi, sintal kalau kata Mama, dengan sempurna.
Tanpa sadar aku tersenyum sendiri membayangkan reaksi Andre nanti ketika melihatku di altar untuk kali pertama. Dia pasti terkejut karena aku belum pernah terlihat secantik ini dan akan langsung lupa bahwa dia sebenarnya tidak setuju dengan gaun ini. Menurut Andre, seharusnya aku memilih gaun tradisional yang panjangnya menyapu lantai, berat, dan merepotkan. Katanya, gaun ini terlalu sederhana untuk merayakan kebahagiaan kami. Sayangnya, aku telanjur jatuh cinta. Gaun ini sempurna menurutku. Untungnya, Andre bersedia mengalah walau dengan setengah terpaksa.
Ketukan samar dari pintu membuyarkan lamunanku. Ketukan itu kembali terdengar sesaat sebelum wajah cantik Gigi muncul dari balik pintu.
“By, lima belas menit lagi kalau nggak ada halangan, keluarga Kak Andre bakal nyampe. Kamu udah siap?” Dia masuk dan langsung tersenyum begitu melihatku. “Wah, kamu cantik banget, banget, banget, By!”
“Kamu yakin? Nggak mirip badut Dufan, kan?” Aku berusaha bercanda untuk mengurangi ketegangan yang mendadak hadir.
Lima belas menit lagi keluarga Andre sampai dan setelah itu, ya Tuhan! Aku akan menikah!
“Yakin! Kak Andre juga pasti setuju sama aku.” Gigi menatapku dengan binar kebahagiaan memenuhi bola matanya. “Kamu udah siap?”
“Bentar lagi.” Aku berbalik memunggunginya. “Tolong kancingin gaunku, Gi.” Aku menarik napas panjang, berusaha membuang sisa ketegangan sejauh mungkin. “Habis itu aku siap. Kayaknya.”
Gigi mendekat dan membantu mengancingkan gaunku. “Kamu pengantin paling cantik yang pernah aku lihat, By. Dan, aku yakin begitu ngelihat kamu, Kak Andre pasti langsung nggak sabar buat berduaan, terus ….” Dia mengerlingkan matanya jail.
“Hush!” Aku tertawa mendengarnya. “Anak kecil, kok, ngomongnya kayak gitu?”
“Heeei! Aku udah gede, By!” Dia berdiri di sampingku dan memeluk bahuku. “In case kamu lupa, bulan lalu umurku genap 24 tahun! Dua-empat!”
“Tetap aja tuaan aku!” Aku membalas rangkulannya sambil tertawa kecil. “Aku masih nggak percaya bentar lagi bakal nikah. Ini bukan mimpi, kan, Gi?”
Sudah empat bulan sejak Andre membuatku menangis haru karena kejutan manis di kafe pagi itu. Aku masih mengingatnya dengan jelas, setiap detailnya. Andre mengenakan kemeja berwarna salem dan celana bahan hitam yang tersetrika rapi. Dia sempurna seperti biasanya, hanya sedikit gugup tanpa alasan.
Ketika membuka bungkusan oleh-oleh dari perjalanan dinasnya ke Tokyo, baru aku tahu alasannya. Dia memberikan miniatur Tokyo Tower. Tapi, tidak hanya itu. Di dalam menara merah itu ada cincin bermata zamrud, batu kelahiranku, berbentuk oval dengan taburan berlian di sekelilingnya.
Dia melamarku. Andre memintaku menjadi belahan jiwanya.
Setelah kejadian itu, sampai hari ini ingatanku sedikit kabur karena terlalu banyak peristiwa dan kerepotan yang terjadi. Pertemuan keluarga, lamaran resmi sekaligus pertunangan, bertemu wedding organizer, dan setumpuk hal lain yang harus dibereskan .... Semuanya terbayar lunas hari ini. Hari ini kami akan menikah!
“Ya, kamu bakal nikah, By.” Gigi mempererat pelukannya di bahuku. “Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Kenyataan yang membahagiakan banget. Kamu bakal nikah sama cowok yang cinta banget sama kamu. Eh, eh, jangan nangis, By!” Gigi langsung panik mengusap ujung mataku dengan tisu. “Aku bisa dibunuh Bella kalau make-up-mu sampai rusak! Ayolah, By ….”
“Berisik! Aku nangis karena bahagia, tahu! Aku ngerasa jadi pengantin paling beruntung di dunia.” Saat ini aku memang menangis sambil tersenyum. “Calon suami yang sempurna, pesta pernikahan yang luar biasa, keluarga yang ikut bahagia .... I feel so blessed, Gi.”
“You are! Aku aja jealous banget sama kamu.” Gigi masih berusaha menghapus sisa air mataku dengan sangat hati-hati agar tidak merusak make-up-ku. “Oke, time’s up! Sekarang aku harus ke Papa dan Mama. Aku harus mastiin mereka siap nikahin kamu. Kamu nggak mau pernikahanmu batal karena Mama kebanyakan nangis dan lupa dandan, kan?”
“Gigi! Pamali tahu ngomongin itu pada hari pernikahan! Kamu mau lihat pernikahanku batal gara-gara omongan kamu itu?!”
“Ups! Tapi, kamu juga nyebut batal barusan, jadi bukan salahku,” sahut Gigi, sama sekali tidak merasa bersalah.