Beberapa hari ini Cahaya tampak gelisah. Seorang pemuda yang ditemuinya dua minggu lalu terus mengusik pikirannya. Siapa pria itu sebenarnya? Pria yang mengiriminya surat dan mengaku penasaran padanya. Haruskah ia menemuinya lagi? Tapi bagaimana bisa? Dia tidak tau pria itu tinggal dimana. Bahkan kontaknya pun ia tidak punya sama sekali.
Ya, itu salahnya juga saat laki-laki itu minta kontaknya dia tidak mau memberitahunya. Sekarang dia bingung sendiri. Yang dia tau hanya namanya. Nama yang tertera di surat itu, "Ferdinand". Setelah berpikir berkali-kali ia memutuskan untuk mendatangi tempat pertama kali ia bertemu laki-laki itu. Mungkin ia bisa menanyakan Ferdinand pada orang sekitar tempat itu.
Cahaya memasuki sebuah counter kecil disekitar tempat yang didatanginya itu. "Permisi mbak...!" Sapanya ragu. "Iya mbak, ada yg bisa saya bantu?" Tanya pelayan counter itu, sambil tersenyum ramah.
"Emm...saya mau tanya mbak. Boleh?" Cahaya menggaruk kepalanya yg tidak gatal. Sekalipun malu, tapi ia tetap harus bertanya. Bukankah malu bertanya sesat di jalan? "Iya, silahkan mbak...!"
"Saya lagi nyari orang mbak. Mbak tau ga yang namanya ferdinand tinggal sekitar sini?" Tanpa basa-basi lagi ia bertanya tentang ferdinand. Sejenak pelayan counter itu berpikir. Tampaknya ia sedang mengingat-ingat nama warga sekitar. "Mbak nyari yang namanya Ferdinand ya? Yang saya tau ferdinand disini cuma satu orang mbak. Tapi saya tidak bisa memastikan itu ferdinand yg mbak maksud atau bukan." Tutur pelayan itu pada cahaya.
"Oh ya...Dimana mbak?" Cahaya tersenyum girang mendengar penjelasan pelayan itu. Pencariannya tidak sia-sia pikirnya. "Rumahnya di ujung komplek sana mbak. Rumah besar cat putih. Itu yg saya tau." Pelayan itu masih menjawab dgn senyum ramahnya.
Mendengar jawaban itu Cahaya langsung bersorak riang. "Ok mbak...makasih ya! Saya permisi dulu." Ia pamit pada pelayan itu masih dengan senyum lebarnya. Bergegas menuju tempat yang dijelaskan pelayan tadi.
# Cahaya pov
Rasanya lega mengetahui dimana rumah Ferdinand. Akhirnya pencarianku tidak sia-sia. Aku sampai di ujung komplek. Memang ada rumah besar cat putih di depanku. Tanpa pikir panjang, aku segera menuju halaman rumah itu.
Sekitarnya didominasi oleh hijaunya rumput dan juga beberapa pohon tanaman hias. Tidak ada bunga. Hanya ada beberapa kaktus. Rumah besar itu tampak sepi. Aku pun memberanikan diri memencet bel. "Ting...tung." bunyi bel yg kupencet. "Ting...tung." dua kali masih tidak ada jawaban. Aku menghela nafas panjang.Mungkin orangnya sedang pergi Atau sedang tidur pikirku.
"Ting...tung." ini ketiga kalinya aku memencet bel. Kalau pemilik rumah tidak keluar. Aku akan pulang saja. Seditik...dua detik...tiga detik... Aku segera berpaling, bermaksud meninggalkan rumah itu. "Ckreekk..." Tiba-tiba ada suara pintu terbuka. Tapi aku tidak segera menoleh. Hanya berdiri diam di tempatku.
"Siapa?" Tanya pemilik rumah, dengan suara serak khas bangun tidur. Ferdinand kah itu? Aku pun menoleh perlahan. Deg... Mataku membulat menatap sosok laki-laki di depanku. Dia hanya mengenakan boxer selututnya, dengan kaos tanpa lengan. Rambutnya acak-acakan, mukanya pun masih muka bantal. Tapi itu tidak mengurangi pesonanya sama sekali.