Suara tawa Sheryl dan aku, membuat suasana para pemuda yang di tunjuk Ibu tadi pecah. Mereka mulai memandangi kami yang berjalan berkeliling sambil di iringi tawa seketika setiap selesai bicara.
Salah satu dari mereka memandangiku dengan senyum lebar di wajah. Seolah-olah aku adalah mangsa yang siap kapan saja untuk diterkamnya.
Pandanganku tiba-tiba teralihkan padanya. Namun aku hiraukan dengan segera mengajak Sheryl berpindah tempat. Pemuda itu menyadari pandanganku sempat teralihkan padanya. “Aku akan pergi sebentar,” ucap pemuda tinggi itu pada salah satu temannya. Lantas dia pergi mengikutiku dengan mengendap.
Aku masih mengajak sahabatku untuk terus berjalan dan mencari tempat yang pas untuk kembali mengobrol. Sheryl terlihat heran dengan sikapku, dia menghentikan langkahnya. “Ada apa, Rumi? Kau kenapa?” tanyanya dengan alis mengernyit.
Aku menatap Sheryl cemas, “pemuda tadi... aku tidak sengaja melihatnya. Kami saling menatap untuk sesaat. Dan itu membuatku gelisah,” kepalaku sedikit tertunduk.
“Kenapa harus gelisah? Apa yang harus di khawatirkan? Bukannya itu yang Ibumu inginkan? Agar kau cepat-cepat mempunyai calon?” Sheryl terus bertanya tanpa jeda.
“Bukan begitu. Aku tidak mengenalnya. Bahkan, orang lain di sini yang aku kenal hanya kau dan juga Kayra. Aku tidak mengenal mereka semua. Aku tidak mau menikah dengan orang asing, apalagi orang yang baru bertemu denganku hari ini.” Aku mengernyitkan dahi, tanda perasaanku risau dan gundah gulanah.
Sheryl terlihat berpikir. Sekejap dia mengalihkan pandangannya dengan melirik ke arah belakangku dengan serius.
“Bagaimana kalau kalian saling mengenal terlebih dahulu sebelum menikah? Maksudku... minta waktu pada orangtuamu untuk lebih mengenal calonmu itu. Jangan terburu-buru untuk menikah. Bagaimana, kau mengerti kan?”
“Aku mengerti dengan jelas,” aku menghela napas pendek, “lalu sekarang bagaimana?”
“Tanya saja pada pemuda itu langsung!” Kepala Sheryl sedikit maju dan mendongak melihat ke belakangku. Dia terlihat menunjukkan sesuatu yang ada di belakang.
Aku mengikuti pandangan matanya, dan ketika aku berbalik, terlihat seorang pemuda yang tersenyum malu sedang berjalan perlahan ke arahku.
Aku melotot, tanda tidak percaya dengan apa yang dilihat. Kemudian berbalik kembali menghadap Sheryl. Wajah sahabatku itu menunjukkan kesemringahan dan juga kegirangan. “Dia sangat tampan,” bisikknya di dekatku dengan penuh senyuman lebar.
Aku mengerutkan alis, “kamu tahu dia ada di belakang?” tanyaku dengan nada menekan.
Sheryl mengangguk manja, “iya. Dia juga mendengar semua pembicaraan kita.”
“Seharusnya kau beritahu aku, agar aku tidak terus membicarakan pemuda itu,” kesalku pada Sheryl yang masih tersenyum bahagia.
“Sudahlah. Lagipula dia terlihat baik, dan juga tampan....” kembali dia berbisik seperti itu.
“Bukan begitu maksudku. Tapi...” belum selesai aku merengek kesal pada Sheryl, suara berat pemuda itu telah menghentikan rengekanku.
“Hai,” ucapnya lembut dengan suara berat dan sedikit parau. Dia sedang berdiri tepat di belakangku.
“Halo,” sahut Sheryl segera setelah melihatku yang terdiam seketika.
Pemuda yang ada di belakangku tersenyum pada sahabatku itu. Lantas kembali melihatku, “selamat ulang tahun, Nona Rumi.” Ucapnya dengan penuh ketulusan.
Aku terperanjat mendengar suaranya yang halus. Tatapanku tertuju pada Sheryl. Sahabatku itu hanya menganggukkan kepalanya, senyumannya semakin melebar.
Kemudian dia membuka mulutnya dan berkata, “aku permisi dulu, ya. Nanti aku kembali.” Segera dia berbalik pergi meninggalkanku sendiri dengan pemuda yang baru kulihat.
Aku tidak bisa mencegahnya atau hanya sekedar memanggil agar Sheryl kembali padaku. Suaraku tidak keluar. Rasanya ada sesuatu yang menahan dalam tenggorokan.
“Maaf,” lirih pemuda yang masih berdiri di belakangku.