Namanya adalah Milena Hazel. Perempuan yang bisa dibilang lebih suka menghabiskan waktunya sendiri. Biasanya ia belajar di kelas dengan laptopnya dan hanya sesekali ke kantin demi sebuah Latte, minuman berbahan kopi dan susu itu adalah kesukaannya. Semua orang hanya menilai penampilan luarnya saja dan menyebutnya ansos karena sikapnya. Tapi bagi Lisa, Milena adalah teman terbaiknya. Milena lebih dari yang orang pikirkan.
"Inget ya, pokoknya kamu harus kelihatan biasa aja. Anggep enggak terjadi apa-apa." Milena mengingatkan Putri sekali lagi. Putri ingat ketika Milena menjelaskan bahwa tersenyum di depan yang orang menyakitimu menandakan kemenanganmu.
"Sebenernya susah sih. Tapi gue pasti bisa." Putri memejamkan matanya. "Putri pasti bisa! Harus bisa !" Putri mengepalkan tangannya, kemudian mengangkatnya tinggi ke atas. Jantungnya berdegup kencang sedari tadi.
"Paling nanti juga kabur waktu ketemu," kata Lisa meremehkan. Milena tertawa sambil menatap Putri yang sedari tadi mengintip-intip dari balik pilar sekolah yang besar.
"Enggak, gue enggak akan kabur pokoknya !" Putri menoleh ke arah kedua temannya dibelakangnya.
"Eh, bukannya itu cowoknya ya ?" Milena memiringkan kepalanya, melihat ke arah belakang Putri, nampak seorang laki-laki berjalan ke arahnya sambil melihat ponsel nya.
"Pokoknya lo harus tunjukkin ke dia kalo lo itu cewek yang berani !" Lisa menudingkan jari telunjuknya ke arah Putri.
"Gue berani kok." Putri menaikkan kepalanya sambil melotot. Raut wajah yang cocok untuk orang yang takut, namun pura-pura berani. Milena tertawa kecil melihat ekspresinya.
"Dalam hitungan ketiga ya, satu..." Milena mulai berhitung. Ia dan Lisa perlahan berjalan mundur.
"Dua..." Putri mengepalkan tangannya, ia bersikeras melangkah maju, namun entah kenapa kakinya terasa berat sekali.
"Tii.." Belum sempat Milena selesai berhitung, Putri berteriak kecil dengan suara nyaring.
"Gue enggak bisa! Milena tolongin." Putri berjalan mundur.
"Put, kamu ngapain ?" Milena terkejut.
"Putri ! Lo tinggal lewat aja!" Lisa melotot ke arahnya. Ia ingin berteriak namun berusaha memelankan suaranya.
"Putri !?" Suara seorang laki-laki terdengar familiar ditelinga Putri. Seketika tubuhnya membeku, ia bahkan tak sanggup menoleh. Sementara Milena dan Lisa sudah balik kanan dan pergi sedari tadi.
"H-hai Vincent." Putri berusaha tersenyum.
"Putri, lewat aja." Muncul suara dari alat yang berada di telinga Putri. Alat kecil itu menghubungkannya dengan Milena. Ia teringat akan Milena yang berjanji memberitahunya apa yang harus dilakukan.
"Sambil senyum, Put," lanjut Milena.
"Gue sibuk nih, ada urusan. Duluan ya," kata Putri sambil mengeluarkan senyum nya. Ia merasa lebih tenang sekarang.
"Eh tunggu dulu, Put," kata Laki-laki yang dipanggil 'Vincent' itu, menghentikan langkah Putri. "Gue mau nanya sesuatu." ujar Vincent membuat Putri merinding.
"Len, gimana nih." Putri bergumam. Namun jarak antara ia dengan Vincent cukup dekat sehingga Vincent mendengarnya.
"Hah? Apa?" tanya Vincent.
"Eh..enggak. Emang mau nanya apa ?" Putri memainkan rambutnya. Ia gugup, tak sanggup melihat ke arah lawan bicaranya.
"Hari ini gue ada kerja kelompok sama yang lain. Lo mau ikut enggak ?" tanya Vincent. Suasana hening sejenak.
"Mulai sekarang kamu ikutin apa yang aku ucapin. Percaya deh sama aku." Milena meyakinkan Putri. Putri mengangguk kecil tanda mengerti.
"Emangnya siapa aja yang ikut ?" tanya Putri. Vincent menyebutkan beberapa nama, termasuk perempuan yang kemarin duduk dengan laki-laki itu dikantin. Putri menghela napasnya, mulai malas mengikuti arah pembicaraan.
"Oke. Tapi yakin gue boleh ikut? Kan udah banyak yang ikut ?" tanya Putri lagi.
"Ah enggak apa-apa. Makin banyak, makin seru kok." Vincent tersenyum.
"Lo kenapa ngajak gue?" tanya Putri. Laki-laki itu terdiam sejenak.
"Karena..." Vincent memikirkan alasan yang tepat. Matanya melirik ke atas.