“Tolong ... jangan apa-apakan aku.” Seorang perempuan berambut gelombang, terdengar merintih dengan posisi tubuh mencium aspal. Beberapa bagian tubuhnya lecet dan berdarah. Sedang tak jauh dari tempatnya berada, seorang pemuda yang memakai jaket parasut serta celana jeans hitam, berjalan ke arah perempuan tadi. Sebuah masker penutup hidung dengan warna serupa, berhasil membuat wajah si pemuda tersamarkan.
Perempuan tadi kembali merintih. Ia sungguh sudah tak lagi berdaya. Baginya, langkah kaki si pemuda seolah detak jarum jam yang berputar. Bergerak pelan, hingga tiba-tiba kehabisan daya baterai dan mati. Kini, ketika pemuda itu sudah tepat berada di depan perempuan yang terus meringis kesakitan akibat tusukan gunting di area betisnya.
“Tolong ... jangan bunuh aku.”
Perempuan itu seperti tahu kalau sebentar lagi nyawanya pasti akan melayang di tangan sang pemuda.
“Ssttt ...!” Pemuda berpakaian serba hitam tadi sengaja mengeluarkan bunyi serupa desisan ular. Mencoba memberi aba-aba pada si perempuan untuk tak lagi mengatakan apa-apa. Sebab, di mata sang pemuda, perempuan tersebut tak ubahnya sebuah sampah yang harus ia musnahkan.
“Matilah sampah-sampah. Bawa pergi jauh ke neraka!” Pemuda itu langsung tertawa saat melantunkan lagu andalannya tepat di dekat telinga si perempuan. Sedang, perempuan yang pipinya masih menyentuh aspal itu—karena tak lagi memiliki tenaga untuk menggerakkan persendiannya yang terasa nyeri—terus saja mengeluarkan air mata. Ia takut setengah mati. Apalagi ketika membayang-kan kalau dinginnya angin malam, akan menjadi saksi atas kematiannya.
Perempuan itu seketika dirundung sesal yang tak terkira. Seharusnya malam ini ia tak nekat keluar sendirian. Andai saja ia tetap berada di dalam rumah dan menonton televisi, tentu ia tak perlu sampai sesial ini karena harus bertemu pemuda tadi di perjalanan pulangnya.
“Matilah sampah-sampah. Bawa pergi jauh ke neraka!” Sekali lagi si pemuda menyanyikan lagu andalan. Tapi, kali ini disertai dengan adegan membungkus kepala perempuan berambut gelombang tadi dengan kantong plastik berwarna hitam. Di tengah kantong tersebut terdapat logo kecil sebuah toko retail. Perempuan tersebut lantas diseret paksa seperti halnya barang yang tak lagi berharga. Bahkan tangisan ibanya pun tidak dihiraukan oleh si pemuda.
Entah seberapa jauh perempuan tadi diseret. Yang jelas ketika plastik pembungkus kepalanya dilepas, dengan penglihatan samar-samar, perempuan tadi bisa menemukan tumpukan sampah yang berada di sebuah lorong kecil dan gelap. Satu-satunya sumber pencahayaan, hanyalah berasal dari remang sinar bulan yang menggantung tembaga di balik awan mendung.
Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. Angin kencang terdengar menggerakkan ranting-ranting pohon berderak. Ditambah, beberapa kali muncul kilatan cahaya dari atas langit. Petir. Semakin menandakan bahwa sebentar lagi jutaan bulir kristal bening akan jatuh mengguyur Kota Makassar.
“Kamu siapa?” Pertanyaan itu yang kini keluar dari bibir si perempuan, bersama tangisan yang belum juga mampu berhenti sedari tadi.
“Aku siapa?” Si pemuda itu malah balik bertanya dengan nada menyeramkan. Sesaat kemudian, tiba-tiba saja ia terbahak tanpa alasan.
Cahaya kilat kembali membelah awan mendung. Membuat logo toko retail yang menempel di kantong plastik hitam di tangan si pemuda tadi semakin tampak jelas. Di tengah ketidakberdayaannya, perempuan malang itu hanya mampu menyadari sesuatu: kantong plastik tersebut adalah sampah yang sempat ia buang sembarangan sebelum memutuskan untuk kembali pulang ke rumah tadi!