“Tolong pisaunya jangan diberantakin ke sana kemari, Bu. Bahaya.”
Iwan, pemuda berkulit kuning langsat yang bekerja sebagai promotor di salah satu perusahaan retail di Mal Panakkukang Makassar, mencoba menegur seorang ibu-ibu yang mengotak-atik tumpukan pisau di deretan rak yang menjadi tanggung jawabnya. Padahal, lima menit lalu, Iwan sudah bersusah payah merapikan tumpukan pisau tersebut berdasarkan ukuran dan harganya hingga nyaris rapi. Namun, dengan semena-mena, ibu-ibu yang berkunjung tadi membongkar-bongkar pisau tersebut ke sembarang arah hingga baur satu sama lain.
“Kan ada kamu yang bakal merapikan lagi. Iya, kan? Jangan malas, dong. Itu kan memang sudah menjadi tanggung jawab pekerjaanmu,” kata perempuan bertubuh subur itu sembari bergegas meninggalkan area pisau yang sempat diberantakkannya tanpa mengambil barang sebiji.
Iwan menarik napas panjang, lalu membuangnya pelan-pelan. Sedang mata pemuda bertubuh kurus itu terus menatap punggung si pelanggan tadi dengan tatapan sebal. Iwan lantas tersenyum tipis. Tipis sekali. Hingga sulit untuk membedakan apakah pemuda tersebut benar-benar tengah tersenyum atau tidak.
Meski rasa lelah telah memeluk raganya—karena pengunjung yang datang hari ini membeludak—Iwan tetap harus kembali membereskan pisau-pisau yang berserakan di sampingnya. Sebab, seperti kata ibu-ibu tadi, itu memang sudah menjadi kewajibannya. Maka, sambil menunduk, Iwan mencoba memungut dan mengatur satu per satu pisau-pisau tadi dengan telaten, sesuai ukuran dan harganya.
Namun, ketika memegang pisau terakhir, ingatan Iwan tiba-tiba saja kembali tertuju ke pemberitaan yang pagi tadi sempat menghebohkan di layar televisi. Mengenai kasus pembunuhan seorang perempuan dengan kondisi yang sangat mengenaskan.
Kepala dibungkus kantong plastik, mulut disumpal kemasan botol bekas, dan telinga yang sudah tidak lagi berada pada tempatnya!
Entah mengapa, saat Iwan menonton layar berpendar tersebut, ia mendadak teringat pada satu kejadian ketika dirinya masih duduk di bangku SMA. Kejadian yang terjadi sesaat setelah pengumuman kelulusan berlangsung. Tepatnya delapan tahun silam.
“Pasti itu hanya kebetulan saja.” Iwan mendikte dirinya sendiri. Mencoba menghapus kemungkinan terburuk yang berkelindan di dalam tempurung kepalanya. Sebab, mungkin saja apa yang kini tengah ia pikirkan ada benarnya.
Sebelum berita tadi pagi muncul, beberapa bulan belakangan ini, Iwan merasa hidupnya sedang diintai oleh seseorang. Berkali-kali ia seakan mendapati bayangan yang selalu mengikuti ke mana pun langkahnya pergi. Terlebih, ketika ia kebagian sif kerja siang dan harus pulang menjelang tengah malam. Ketika memasuki lorong-lorong sempit untuk menuju ke indekosnya yang berada di antara pemukiman padat penduduk, Iwan kerap mendengar ada derap langkah yang kerap membuntuti.
Bukan tanpa alasan pemuda itu memilih indekos di tempat tadi. Sebab, tempat tinggalnya itu berada dekat dengan mal Panakkukang, tempatnya bekerja selama enam bulan terakhir ini. Dengan begitu, dalam kondisi tak punya kendaraan pribadi, Iwan tak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk akomodasi. Cukup pulang dan pergi bekerja dengan berjalan kaki. Iwan merasa dirinya memang harus pintar-pintar mengatur pengeluaran.
Perihal langkah kaki yang kerap mengikutinya di malam hari, Iwan tak pernah tahu siapa pemiliknya. Setiap kali pemuda itu menoleh ke arah belakang, tak akan ada seorang pun yang ia jumpai. Hanya udara kosong dan sekelebat bayangan di remang lorong yang minim cahaya tersebut.
Sekali lagi, Iwan menarik napas panjang sembari meletakkan kembali sebilah pisau di tangannya. Lalu dengan pikiran yang masih ragu-ragu, ia mencoba menegaskan kalau apa yang ada di dalam pikiran pemuda berambut cepak itu saat ini, hanyalah kecemasannya semata.