Anak perempuan berponi itu duduk lemas di ruang kepala sekolah bersama kakaknya. Dia memegang bekas luka di kepala yang juga membekas di hatinya. Andai saja hari itu bukan ulang tahunnya, maka orangtuanya tidak akan terbunuh.
“Ya, kamu diterima di sekolah ini,” ujar kepala sekolah yang tiba-tiba masuk ruangan sambil memegang surat-surat berisikan hasil tes perempuan berponi itu. Kepala sekolah duduk di depan mereka berdua. “Nilainya cukup bagus. Paling rendah Sejarah, mungkin karena berasal dari Jerman, jadi hanya mengetahui sedikit sejarah Amerika Serikat,” jelas kepala sekolah. “Nilainya sangat tinggi di bidang seni.”
“Terima kasih, Sir,” balas Valrie.
Laki-laki itu tersenyum puas, sedangkan anak perempuan di sebelahnya memaksakan senyuman. Kakaknya tahu senyuman sang Adik semata-mata keterpaksaan. “Kamu kenapa? Bukankah kamu senang diterima di sekolah ini?”
“Bagaimana dengan Kakak? Orangtua kita sudah tidak ada,” tanyanya polos.
Dia mengelus puncak kepala adiknya. “Aku akan mencari pekerjaan yang layak. Kamu jangan bersedih.”
“Tapi ....”
“Ini ada liontin.” Dia mengalungkan liontin di leher adiknya dengan hati-hati. “Kamu bisa mengingatku lewat ini.”
Sang Adik tersenyum getir sambil menyentuh liontin yang menghiasi lehernya. “Gaylord.” Tulisan di liontin itu sekaligus marga keluarganya. Artinya, kekuatan dan keberanian. Melihat liontin itu, dia seperti diberi kekuatan lebih.
Mereka berpelukansampaiakhirnya sosokkakaknya yang tegap tidak terlihat lagi. Rasanya ingin menangis. Namun, dia hanya menangis pada saat-saat tertentu. Artinya, air matanya pernah tercurah ketika peristiwa pembunuhan itu.
*
Female Dorm ... Anak perempuan berponi itu membaca tulisan dengan hatihati saat sampai di depan gedung bertingkat lima. Takutnya dia salah membaca “Male” dengan “Female”. Seperti kembali ke zaman dahulu. Aku suka asrama ini, ucapnya dalam hati saat melihat asrama perempuan.
Tiba-tiba, seorang perempuan berambut pirang menghampirinya. “Kamu, Valerie Gaylord? Benarkah?”
Dia mengangguk.
“Akan kutunjukkan kamarmu. Sebelumnya perkenalkan, namaku Steward. Memang terkesan seperti nama lakilaki, tapi aku sangat menyukainya.” Dia pun menjulurkan tangan pada Valerie—yang biasa dipanggil Valrie. Namun, balasannya hanya anggukan.
“Ah, iya.”
Steward menarik kembali tangannya. Dia sedikit kikuk karena Valrie menolak uluran tangannya. “A ... ayo, kutunjukkan kamarmu.”
Valrie mengangguk. Dia pun menarik kedua koper besarnya dengan susah.
"Kamu akan sekamar dengan Frieda. Dia anak yang baik meskipun sedikit cerewet.” Di penghujung kalimatnya dia berbisik pada Valrie lalu terkekeh pelan.
“Terima kasih sudah mengantarku.” Valrie membungkuk memberi hormat.
“Ah, itu memang sudah menjadi tugasku.” Dia hanya mengangguk pendek. “Jaga dirimu baik-baik,” ucapnya lalu meninggalkan Valrie sendirian.
Valrie menyeret kedua koper dengan sedikit kesusahan. Bukan karena terlalu banyak membawa pakaian, tapi karena kedua kopernya sulit ditarik atau ditenteng.
Seorang gadis berambut pirang yang sedang membersihkan tempat tidur susun, terlonjak kaget begitu pintu kamar terbuka.
“Oh, halo. Selamat datang di asrama kami,” sapanya gugup. Tiba-tiba, dia meraih bungkusan kosong makanan ringan di lantai dan membuangnya tergesa-gesa ke dalam tempat sampah. Dia terkekeh. “Maaf kalau kamar ini berantakan.”
“Tidak apa. Bolehkah aku masuk?” Anak perempuan itu masih berdiri di ambang pintu.
“Tentu saja. Kamar ini sudah menjadi kamar kita, bukan milikku lagi.”
Dia masuk dan duduk di tepi ranjang bawah, menaruh koper dan tas di samping tempat tidur susun. Pandangan matanya dengan cepat menyapu sekeliling kamar.
“Kamu mau tidur di kasur bawah? Ah, ehm ... baiklah.” Namun, tatapan mata gadis berambut pirang itu seolah cemas.
Valrie pun langsung bereaksi. “Kenapa? Ada masalah dengan kamar ini?”
Gadis berambut pirang itu hanya menggeleng. “Tidak apa-apa,” jawabnya. “Ngomong-ngomong, kamu akan sekelas denganku, jadi tidak perlu bingung mencari teman. Hehehe ....”
Valrie hanya mengiakan dengan anggukan. “Apa dulu ranjang ini ada pemiliknya?” tanyanya sambil menepuknepukkan telapak tangan pada permukaan ranjang bawah.
Gadis berambut pirang itu seolah tercekik walaupun tidak ada yang masuk ke tenggorokannya. “Dulu, aku tidur di ranjang bawah dan temanku tidur di ranjang atas.” Lalu dia duduk di samping Valrie. “Dia tahu kalau aku takut ketinggian. Namanya Skyla. Dia sekelas denganku. Dia sangat pengertian pada teman-temannya, termasuk aku. Keluarganya kaya raya. Orangtuanya juga baik padaku. Namun, sehari sebelum liburan musim panas berakhir, aku melihat dia terbunuh di tempat tidur ini.” Kepalanya tertunduk.
“Maaf, aku sama sekali tidak tahu.”
“Justru kamu harus tahu karena sebelumnya juga pernah terjadi. Sekitar empat orang anak, termasuk Skyla. Guru-guru di sini sudah memperingatkan semua murid-muridnya untuk berhati-hati.”
Valrie mengangguk-angguk mengerti.
“Ngomong-ngomong siapa namamu?” tanya si Rambut Pirang sambil menyodorkan tangan.“Aku Frieda, kamu?”
“Aku Valerie, singkat saja Valrie.” Perempuan berambut cokelat itu menjabat tangan teman barunya.
“Mengapa liontinmu bertuliskan Gaylord? Kekasihmu?”
“Enak saja. Ini marga keluargaku.”
“Oh. Hahaha ....”
*
“Ini ruang ganti baju untuk perempuan,” ujar Frieda saat dia bersama Valrie berkeliling sekolah sore hari. Tiba-tiba, dia menghentikan kakinya. “Sebentar, kamu sudah mendapatkan baju?”
Valrie menggeleng.
“Kenapa tidak bilang dari tadi? Atau karena aku selalu mengoceh terus? Ah, kalau itu penyebabnya maafkan aku.”
Valrie mengangguk sambil tersenyum. “Di mana bisa mendapatkan seragam sekolah?”
“Di ... ah, sekarang ruangannya sudah diganti. Akan kutunjukkan,” jawabnya sambil menarik tangan Valrie.
Mereka berjalan melalui koridor, sampai di sebuah bangunan kecil yang terpisah dari gedung asrama, tapi masih berada di dalam kompleks sekolah. Valrie membaca nama bangunan yang tertera di jendela.
“Depressed Cupboard Child’s Uniform Clothes.”
“Nama tokonya panjang, bukan?”
Valrie sedikit heran dan mengangguk cepat. “Kenapa nama tokonya seperti itu?”
“Karena itu nama bibi pemilik toko. Kami biasa memanggilnya Bibi DCC.” Mata Valrie membelalak dan bibirnya mengerucut membentuk huruf
“O”. “Ah, sudah banyak orang-orang yang kaget karena hal itu. Ayo, masuk!”