Di sebuah sekolah dasar di kota besar, Elena duduk di mejanya dengan tatapan lelah. Matanya menatap kelas yang penuh anak-anak kelas dua SD yang tampak seperti badai kecil, berlarian tanpa arah, mengobrol dengan suara-suara yang memantul di dinding-dinding kelas. Tumpukan kertas mewarnai berserakan, melambangkan betapa kacau suasana hari itu.
"Mengapa mereka tak bisa duduk tenang?" batinnya memohon. Tapi ketika ia berteriak, suaranya memecahkan keheningan yang tak ia harapkan. Anak-anak itu terdiam, beberapa menangis, dan suasana berubah menjadi sunyi yang menyakitkan. Elena duduk kembali, merasa bersalah sekaligus putus asa. Ia menyadari, teriakannya bukanlah jawaban, tetapi hanya ungkapan frustrasi yang tak terkendali.
Ketika malam datang dan kota beristirahat dalam pelukan lampu jalanan, kenangan lama mulai mengetuk pintu hatinya. Elena kecil muncul dalam pikirannya, gadis kecil dengan rambut dikepang dua, berlarian di halaman sekolah, tertawa lepas tanpa peduli akan dunia orang dewasa. Ia mengingat saat-saat ketika ia adalah badai kecil itu—menggambar tanpa arah, melompat dari meja ke meja, dan membuat guru-gurunya menyerah dalam diam.
"Aku dulu sama saja," pikirnya, senyum kecil terbentuk di sudut bibir. Namun kenangan itu mengingatkan bahwa di balik semua kekacauan, selalu ada seseorang yang mengerti, seseorang yang tetap sabar.
Beberapa hari setelah kejadian di kelas, Elena berjalan pulang dengan hati yang berat. Ia mulai mempertimbangkan untuk berhenti mengajar. Namun, sesampainya di rumah, sebuah amplop besar berwarna-warni menunggunya di depan pintu. Amplop itu penuh dengan lukisan kecil, puisi sederhana, dan pesan-pesan polos dari murid-muridnya.
"Terima kasih telah mengajari kami menggambar pelangi."
"Kami menyayangimu, Ms. Elena!"
"Maaf kalau kami berisik, tapi kami suka pelajaran seni."
Air mata menetes di pipinya, satu per satu, seperti hujan pertama yang membasahi tanah kering. Ia tak menyangka anak-anak itu memperhatikannya sejauh ini. Di balik riuhnya kelas, mereka menyimpan cinta yang tulus untuknya.
Malam itu, Elena tertidur dengan hati yang hangat setelah kejutan dari murid-muridnya. Namun, dia tak menyangka akan terbangun di tempat yang sama sekali berbeda. Langit di atasnya seperti kanvas hidup—gradasi warna pastel yang terus bergerak, berkilauan seperti mimpi. Angin bertiup lembut membawa aroma bunga yang belum pernah ia cium sebelumnya. Di sekelilingnya, anak-anak bermain di rerumputan hijau yang tampak seperti karpet beludru. Suara tawa mereka bergema, murni dan menular.
Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dan mahkota bunga menghampirinya, mata bulatnya bersinar cerah. "Selamat datang di Dunia Murni, Ms. Elena!" katanya dengan suara melengking penuh semangat. "Di sini, hati anak-anak adalah warna kehidupan. Semua orang bisa melihat dunia dengan mata polos seperti kami."
Elena terkejut. "Apa ini? Bagaimana aku bisa berada di sini?" tanyanya bingung.