Tahun 1973. Di sebuah laboratorium kecil di kota Hamburg, Jerman, Bacharuddin Jusuf Habibie, atau yang lebih dikenal sebagai B.J. Habibie, sedang menatap layar komputer di mejanya. Meskipun malam sudah larut, pikirannya masih penuh dengan rencana besar. Di tangannya tergenggam impian yang mungkin dianggap mustahil oleh banyak orang—membangun industri penerbangan Indonesia dari nol. Bagi Habibie, pesawat bukan hanya alat transportasi. Lebih dari itu, pesawat adalah simbol kemajuan teknologi, kemandirian, dan kemampuan suatu bangsa untuk berdiri sejajar dengan negara-negara maju.
Habibie telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jerman, belajar dan bekerja sebagai insinyur di perusahaan penerbangan terkemuka. Dia dikenal sebagai jenius dalam bidang aeronautika, seorang inovator yang telah membuat banyak terobosan teknologi, terutama di bidang desain struktur pesawat. Namun, meskipun kariernya sukses di Eropa, hatinya selalu tertuju pada tanah kelahirannya, Indonesia.
Di masa itu, Indonesia baru mulai bangkit dari berbagai krisis, baik ekonomi maupun politik. Meskipun kaya akan sumber daya alam, negara ini masih sangat bergantung pada teknologi dan produk impor dari luar negeri, termasuk di bidang penerbangan. Hal inilah yang membuat Habibie merasa perlu kembali ke tanah air, untuk membangun fondasi teknologi penerbangan yang kuat di Indonesia.
Suatu sore, saat ia tengah sibuk dengan pekerjaannya, sebuah telepon datang dari Kedutaan Besar Indonesia di Bonn. Pejabat di ujung telepon itu menyampaikan pesan penting: Presiden Soeharto ingin berbicara langsung dengan Habibie mengenai kemungkinan pembangunan industri penerbangan di Indonesia. Pesan ini mengejutkan sekaligus menggembirakan Habibie. Ini adalah kesempatan yang telah lama dinantikannya—kesempatan untuk membawa mimpinya menjadi kenyataan.
Habibie segera mempersiapkan diri untuk perjalanan pulang. Setelah bertahun-tahun di negeri orang, ia akhirnya akan kembali ke Indonesia, bukan sebagai mahasiswa atau pekerja biasa, tetapi sebagai pembawa visi besar bagi bangsanya. Dalam perjalanan pulangnya, di atas pesawat yang membawanya kembali ke Jakarta, Habibie memikirkan masa depan. Indonesia harus memiliki industri penerbangan sendiri. Tidak boleh lagi bergantung sepenuhnya pada produk luar negeri. Ia yakin, dengan dukungan yang tepat, Indonesia mampu membangun pesawat yang setara dengan negara-negara maju.
Setibanya di Indonesia, Habibie langsung diundang ke Istana Negara untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Pertemuan itu terjadi di ruang kerja yang sederhana, jauh dari kemewahan yang dibayangkan Habibie. Soeharto menyambutnya dengan senyuman tipis, penuh rasa ingin tahu. Setelah berbasa-basi sejenak, Soeharto mulai membuka pembicaraan serius.