“Arya, kita ada masalah besar,” suara Pak Hadi terdengar berat ketika Arya baru saja memasuki ruang rapat. Di meja, beberapa dokumen laporan finansial dan jadwal proyek tertumpuk, dengan grafik-grafik yang menunjukkan angka yang tidak bersahabat. Arya merasa perutnya menegang—ia sudah menduga bahwa ini akan terjadi, tapi tidak menyangka secepat ini.
“Keterlambatan terus bertambah,” lanjut Pak Hadi, sambil menatap grafik yang menunjukkan garis merah yang semakin naik. “Dan biaya operasional kita mulai melebihi anggaran yang direncanakan. Jika ini terus berlanjut, saya khawatir proyek N250 ini bisa dihentikan.”
Arya mengangguk pelan, menahan napas sejenak sebelum berbicara. “Saya juga memperhatikan hal ini, Pak. Banyak komponen yang belum selesai, dan beberapa uji coba terpaksa ditunda karena masalah teknis. Belum lagi keterlambatan pengiriman material dari luar negeri.”
Pak Hadi menarik napas panjang, tampak sangat lelah. “Kita semua tahu proyek ini sangat ambisius. Teknologi fly-by-wire yang kita kembangkan memang canggih, tapi tantangan teknisnya lebih besar dari yang kita perkirakan. Ditambah lagi, kita menghadapi tekanan dari para pemangku kepentingan. Mereka ingin melihat hasil cepat.”
Arya merasa cemas, tapi berusaha menjaga ketenangannya. Masalah keterlambatan ini memang menjadi momok bagi proyek N250 sejak beberapa bulan terakhir. Meskipun tim sudah bekerja keras, kenyataannya, banyak hal yang di luar kendali mereka. Material yang tidak kunjung tiba, masalah teknis yang belum terselesaikan, dan tekanan dari pemerintah serta investor semakin membuat situasi rumit.
Setelah rapat selesai, Arya duduk di ruang kerjanya, memandang keluar jendela. Di luar, matahari sore bersinar lembut, tetapi suasana hatinya sama sekali tidak secerah itu. Keterlambatan proyek bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah besar yang mempengaruhi seluruh tim, mulai dari moral hingga kepercayaan diri mereka.
Siska masuk ke ruang kerjanya dengan wajah penuh keprihatinan. "Aku dengar dari Pak Hadi tentang keterlambatan dan anggaran yang bengkak," katanya sambil duduk di kursi di depan Arya. "Bagaimana menurutmu? Apakah kita masih bisa menyelamatkan proyek ini?"
Arya menghela napas panjang. “Kita harus menyelamatkannya, Kak. Proyek ini terlalu penting untuk dihentikan. Tapi aku tidak bisa membohongi diri sendiri, situasinya semakin sulit. Setiap kali kita mencoba menyelesaikan satu masalah, selalu ada yang baru muncul.”
Siska mengangguk setuju. "Aku mengerti. Ditambah lagi, tekanan dari pemerintah semakin terasa. Mereka menginginkan hasil cepat, tapi kita semua tahu bahwa teknologi ini tidak bisa diburu-buru. Jika kita terburu-buru, keselamatan bisa jadi taruhannya."
Arya menatap temannya dengan penuh rasa frustrasi. “Masalahnya, mereka melihat ini dari sudut pandang finansial dan politik. Mereka tidak melihat betapa rumitnya teknologi yang sedang kita kembangkan. Seolah-olah semua ini hanya soal angka, padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.”
Siska menghela napas dalam. "Aku rasa, kita harus mulai memikirkan strategi baru. Mungkin kita bisa mencari jalan untuk mengurangi keterlambatan atau menekan anggaran tanpa mengorbankan kualitas."
Arya merenung sejenak, lalu berkata, “Ya, kita butuh rencana yang bisa membuat mereka yakin bahwa kita masih di jalur yang benar, meskipun ada keterlambatan. Mungkin kita bisa menunjukkan kepada mereka kemajuan kecil yang sudah kita buat. Itu mungkin bisa memberi mereka sedikit harapan.”