“Pak Arya, bagaimana pendapat Anda tentang keterlambatan proyek N250? Apakah Anda merasa yakin tim Anda akan bisa menyelesaikan ini tepat waktu?” suara lembut namun penuh determinasi itu membuat Arya menoleh ke arah sumbernya. Seorang wanita muda dengan rambut tergerai rapi dan kacamata tebal berdiri di depannya, memegang perekam suara kecil. Arya mengenal wajah itu—Lani, seorang jurnalis yang sudah beberapa kali datang meliput perkembangan proyek N250.
Mereka berdua sudah sering bertemu dalam berbagai acara resmi, namun baru kali ini Lani mendekati Arya secara langsung untuk wawancara pribadi. Suara hujan ringan di luar gedung IPTN menambah suasana tenang yang sedikit kontras dengan ketegangan yang sering Arya rasakan belakangan ini.
“Ya, kami menghadapi banyak tantangan,” jawab Arya sambil tersenyum sopan, mencoba menutupi rasa lelah yang dirasakannya. “Tapi kami tetap optimis bisa menyelesaikan proyek ini meski ada keterlambatan.”
Lani tersenyum tipis, tampak tidak sepenuhnya puas dengan jawaban diplomatis itu. “Namun, tekanan dari pemerintah dan masyarakat tampaknya semakin kuat. Bagaimana Anda menghadapinya secara pribadi?”
Arya terdiam sesaat, menatap wajah Lani yang serius namun penuh rasa ingin tahu. Jurnalis muda ini tidak seperti wartawan lain yang hanya mencari sensasi. Lani tampak tulus ingin tahu, bukan sekadar menggali informasi untuk dijadikan berita panas.
“Kami mencoba untuk fokus pada pekerjaan,” Arya akhirnya menjawab dengan jujur. “Tentu saja ada tekanan, tapi proyek ini terlalu penting untuk gagal. Kami semua, termasuk saya, punya komitmen untuk menyelesaikan pesawat ini. Setiap tantangan adalah bagian dari proses.”
Lani mengangguk, mencatat jawabannya. Setelah beberapa pertanyaan lagi yang fokus pada teknis proyek, ia berhenti sejenak dan menatap Arya dengan sedikit lebih santai.
“Sepertinya ini bukan kali pertama saya mendengar jawaban seperti itu,” kata Lani dengan senyum menggoda. “Apakah Anda selalu begitu optimis, Pak Arya?”
Arya tertawa kecil. “Saya mencoba. Tapi optimisme itu kadang terpaksa, jujur saja. Setiap hari ada saja masalah baru yang harus dihadapi.”
Lani tertawa kecil mendengar candaan Arya. “Saya mengerti. Pekerjaan Anda pasti sangat berat. Tapi saya harus akui, saya kagum dengan ketahanan Anda dan tim.”
Arya tersenyum mendengar pujian itu. Ada sesuatu yang menyenangkan dalam percakapan ini. Di tengah semua tekanan proyek, berbicara dengan Lani terasa seperti angin segar. Pembicaraan itu berlangsung lebih lama dari yang dia perkirakan, dan ketika akhirnya selesai, mereka berdua sepakat untuk minum kopi bersama setelah jam kerja.
Sore itu, Arya dan Lani duduk di sebuah kafe kecil dekat kantor IPTN. Suasana hujan yang terus menderai di luar jendela membuat suasana semakin nyaman. Lani tampak lebih santai sekarang, tanpa perekam di tangan dan buku catatan yang biasanya ia bawa.
“Jadi, bagaimana perasaan Anda tentang proyek ini secara pribadi?” tanya Lani, kali ini dengan nada lebih kasual. “Bukan sebagai insinyur, tapi sebagai manusia.”