“Arya, ayo diskusi,” suara Pak Hadi terdengar tegas saat Arya baru saja duduk di meja kerjanya. Wajah Pak Hadi tampak serius, bahkan lebih daripada biasanya. Di belakangnya, suasana kantor terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah semua orang merasakan adanya beban yang berat di udara.
“Ada apa, Pak?” Arya bertanya sambil bangkit dari kursinya. Dia bisa merasakan ketegangan yang terpancar dari Pak Hadi.
“Rapat darurat dengan pihak kementerian dijadwalkan besok pagi,” jawab Pak Hadi tanpa basa-basi. “Mereka mulai kehilangan kesabaran. Jika kita tidak bisa menunjukkan hasil yang konkret dalam waktu dekat, proyek ini mungkin akan dihentikan.”
Arya merasakan perutnya menegang mendengar kata-kata itu. Proyek N250 telah melalui begitu banyak rintangan—keterlambatan, masalah teknis, anggaran yang membengkak—namun ini adalah ancaman paling serius. Tekanan politik semakin kuat, dan jika proyek ini dihentikan, semua kerja keras selama bertahun-tahun akan sia-sia.
“Kita sudah mempresentasikan kemajuan yang ada,” kata Arya mencoba menenangkan diri. “Apa yang membuat mereka berpikir untuk menghentikan proyek ini sekarang?”
Pak Hadi menatap Arya dengan mata penuh kelelahan. “Ini bukan lagi tentang kemajuan teknis, Arya. Ini soal kepercayaan politik dan dana negara yang terus mengalir tanpa hasil yang terlihat. Mereka ingin sesuatu yang nyata—uji coba yang berhasil atau produk final yang bisa ditunjukkan ke publik. Jika tidak, dukungan finansial mereka bisa dicabut.”
Arya terdiam. Uji coba sistem fly-by-wire memang telah menunjukkan beberapa kemajuan, tetapi belum ada yang bisa dianggap sebagai terobosan besar. Dan dengan tenggat waktu yang terus mendekat, sulit untuk menjanjikan hasil dalam waktu singkat.
“Jadi, apa yang kita lakukan sekarang, Pak?” tanya Arya, suaranya penuh kecemasan. “Apakah kita punya strategi untuk menghadapi rapat besok?”
Pak Hadi menghela napas. “Kita harus memutar otak untuk membuat mereka tetap percaya pada proyek ini. Saya tahu sulit untuk memberikan hasil instan, tapi setidaknya kita bisa menyajikan strategi yang meyakinkan—bahwa kita benar-benar berada di jalur yang tepat.”
Setelah Pak Hadi pergi, Arya duduk kembali di kursinya dengan kepala penuh pikiran. Tekanan dari pemerintah bukan hanya masalah teknis, tetapi juga politis. Semua pihak ingin melihat hasil nyata, dan mereka tidak peduli dengan rintangan teknis yang dihadapi oleh tim.
Ketika Arya sedang tenggelam dalam pikirannya, ponselnya berdering. Itu Lani.
“Hai, Arya. Kamu sibuk?” suara Lani terdengar ceria di ujung telepon, sebuah kontras yang menenangkan di tengah kekacauan yang Arya rasakan.
“Tidak juga. Ada apa?” Arya mencoba terdengar tenang, meskipun jelas terasa dalam suaranya bahwa pikirannya sedang terganggu.