“Arya, aku tahu kamu sudah memikirkan ini dengan baik, tapi kita harus mempertimbangkan semua kemungkinan,” suara Pak Hadi terdengar tegas namun penuh dengan kekhawatiran. Ruang rapat IPTN siang itu dipenuhi ketegangan. Seluruh tim sudah kelelahan secara fisik dan emosional setelah beberapa bulan terakhir berjuang menyempurnakan N250, sementara tekanan eksternal terus meningkat.
Arya duduk di ujung meja, tangannya terlipat di atas dokumen-dokumen laporan yang sudah lusuh oleh banyaknya revisi. Matanya menatap kosong ke arah ruangan, pikirannya berputar antara dua pilihan yang sama-sama berat: melanjutkan proyek yang penuh tantangan atau menyerah di tengah jalan, yang akan menjadi kegagalan besar bagi semua orang yang terlibat.
“Kita sudah bekerja terlalu keras untuk berhenti sekarang,” jawab Arya akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa tekanan dari luar semakin sulit ditangani. Pemerintah mengancam akan mencabut dukungan, media terus mengkritik, dan masyarakat kehilangan kepercayaan.”
Siska yang duduk di sebelahnya, ikut menambahkan. “Arya benar, Pak. Kita berada di persimpangan yang sangat sulit. Jika kita melanjutkan, kita perlu memastikan bahwa setiap langkah kita dihitung dengan cermat. Tapi menyerah juga bukan pilihan yang mudah, karena itu akan membunuh seluruh mimpi ini.”
Pak Hadi terdiam sejenak, memandangi timnya dengan mata penuh kelelahan. “Kita sudah berada di titik di mana setiap kesalahan kecil bisa membawa kita lebih dekat ke penghentian proyek ini. Kementerian memberi kita tenggat waktu yang sangat ketat, dan kalau kita tidak bisa memenuhi target, mereka tidak akan ragu untuk menarik semua dukungan.”
Arya menghela napas panjang. Dia tahu bahwa keputusan ini bukan hanya tentang proyek, tetapi juga tentang karier, impian, dan masa depan banyak orang yang telah mencurahkan hidup mereka ke dalam pesawat N250. Namun, di tengah semua itu, ada satu pertanyaan yang terus mengganggunya: apakah dia benar-benar bisa membawa tim ini melampaui segala rintangan?
Malam itu, Arya kembali berada di ruang kerjanya, sendiri. Suasana kantor IPTN sudah sepi, hanya ada suara kipas angin yang berputar pelan di sudut ruangan. Laporan-laporan teknis dan revisi rencana kerja menumpuk di atas mejanya, tapi pikirannya terlalu penuh dengan kekhawatiran untuk bisa fokus.
Di luar jendela, hujan mulai turun. Hujan yang perlahan-lahan membasahi tanah, sama seperti keraguan yang perlahan menggenang di dalam dirinya.
Lani mengetuk pintu dan masuk dengan pelan, membawakan secangkir teh hangat. "Aku tahu kamu tidak akan pulang malam ini," katanya dengan senyum lembut. “Jadi, aku bawa teh untukmu.”
Arya menatap Lani dengan penuh rasa syukur. Kehadiran Lani selalu menjadi sumber ketenangan di tengah segala tekanan yang dihadapinya. Dia duduk di samping Arya, memandangnya dengan penuh perhatian.
“Aku bisa melihat dari wajahmu kalau kamu sedang memikirkan sesuatu yang besar,” kata Lani sambil menyeruput teh. “Apa yang membuatmu ragu?”