Kakiku yang tadinya setengah berlari karena hendak keluar rumah otomatis terhenti di depan pintu ketika mataku melihat sosok tegap yang tengah berdiri di halaman depan sambil menyiram berbagai macam bunga di dalam pot yang entah sejak kapan ada di sana. Aku menghela napas. Lagi-lagi ayah seperti ini.
Ayahku selalu begitu jika dia sedang merindukan Ibu. Sebenarnya, ini hanya salah satu dari begitu banyak hal yang ayah lakukan ketika dia merindukan ibu. Ibu suka sekali bunga, tanpa kecuali. Semua jenis bunga. Aku ingat, ada saat di mana halaman rumah kami dikelilingi oleh begitu banyak bunga. Beberapa orang yang melewati rumah kami mungkin akan salah mengira rumah kami adalah toko bunga atau bahkan taman bunga. Dan, saat ini adalah entah ke berapa kalinya ayah kembali membeli bunga dan menyiramnya di pagi hari. Tepat seperti yang selalu dilakukan Ibu, dulu. Iya, dulu. Karena kini Ibu tidak lagi di sini bersama kami.
Kembali ke Ayah, ini sudah ke sekian kalinya Ayah membeli bunga dan sepertinya usahaku menyingkirkan bunga-bunga itu setiap kali Ayah tidak melihat gagal. Bukannya aku membenci ibu, tentu aku tidak membenci Ibu. Aku sudah terlalu besar untuk merengek dan membenci sosok ibu yang meninggalkan anaknya saat masih kecil.
Lagipula, mana mungkin ada seorang anak yang membenci Ibunya? Berani bertaruh, tidak akan ada. Kalau mereka yang bersikap dingin dan tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan rasa sayangnya, mungkin ada. Tapi tidak dengan benci. Siapa yang bisa setega itu membenci seorang perempuan yang dulunya pernah dengan susah payah membawa mereka di dalam perut? Aku yakin tidak akan ada.
Dalam sebuah film yang pernah aku tonton, ada satu peristiwa yang selalu mengingatkanku pada Ibu. Kejadian itu berlangsung di dalam sebuah kelas di satu universitas, di mana seorang dosen yang saat itu tengah mengajar bertanya kepada para mahasiswanya. Dia bertanya “What is the most beautiful word in english?” Mahasiswanya menjawab bermacam-macam; rainbow, love, rain, heart, dan sebagainya. Sang Dosen hanya menggeleng pelan dan mengambil kapur untuk menulis di papan bor, satu kata, sambil ia ucapkan, “Mother.”
Jadi, aku bukannya membenci ibu. Aku hanya tidak pernah bisa menerima kenapa ibu meninggalkan Ayah yang begitu tulus mencintainya. Aku hanya tidak pernah bisa menerima kenapa ibu malah meninggalkan aku dan membuat rumah tangga yang sudah belasan tahun ia bina bersama ayah kandas begitu saja. Aku hanya tidak bisa menerima kenyataan kalau ibu tidak bisa berada di sini lagi. Dan hal-hal itu membuatku tidak pernah mau bertemu ibu lagi.
Ibuku yang jahat. Istri ayah yang jahat.
“Yah... ” panggilku pelan ketika melihat mata ayah yang mulai berkaca-kaca.
Ayah menoleh padaku dan tersenyum hangat. Senyuman yang selalu bisa membuat aku tenang dalam keadaan apa pun. Senyuman yang dulunya bukan hanya selalu ayah tunjukkan padaku. Tetapi juga pada ibu. Pada istri yang paling dia cintai.
Ayah menyimpan selang di tangannya ke tanah dan berjalan menghampiriku. Lelaki yang rambutnya kini sudah memutih itu mencium keningku sekilas. “Udah siap kamu? Mau Ayah antar?”