“Ayo, Gias! Sekarang giliran lo!” ucap Aldi sang Ketua Kelas pada Gias.
Saat ini kelas X-3 sedang mengadakan acara untuk memperingati kenaikan kelas. Karena nantinya, di kelas sebelas mereka akan terpisah sesuai jurusan kelas yang mereka tuju. Mereka menyewa sebuah vila di puncak Bogor. Uang yang mereka pakai untuk menyewa vlla adalah hasil dari memenangkan juara umum di acara kompetisi olahraga di sekolah, sebagian ditambahkan oleh Wali Kelas mereka sebagai bentuk apresiasi, karena kelas mereka telah berhasil menjadi juara, lalu mereka hanya menambahkan sisanya.
“Sebenernya gue sering maling pulpen Riska,” ucap Gias sambil membacakan tulisan di secarik kertas. “Wah, siapa nih yang maling?” tanya Gias.
“Wah, pantes pulpen gue sering ilang, rese nih yang ngambil!” seru Riska yang disambut tawa oleh teman-temannya.
Malam ini para mantan murid kelas X-3 sedang berkumpul di ruang tengah vila sambil berbagi cerita dan bermain berbagai permainan. Lalu, yang barusan dibacakan oleh Gias adalah sebuah rahasia yang telah dituliskan oleh masing-masing orang di secarik kertas, lalu kertas akan itu diacak dan dibacakan oleh orang lain secara acak pula.
“Sekarang giliran gue yang buka nih!” ucap Regi, siswa paling slebor di kelas. Entah bagaimana ceritanya, Aldi sang Ketua Kelas yang sangat panutan itu, bisa bersahabat dengan Regi.
“Wah, Al, ini sih buat lo, nih!” seru Regi. “Sebenernya gue suka sama Aldi. Anjiiirrrrr ….” ucapnya heboh, saat membaca kertas di tangannya tersebut, sementara Aldi hanya tersenyum dengan kalem.
Deg.
Jantung Nadia berdetak kencang saat Regi membacakan kertas miliknya. Apalagi Regi membacakannya dengan heboh, dan Aldi meresponnya dengan senyuman yang sangat manis, itulah yang membuat Nadia deg-degan.
“Al, gue percaya deh, lo banyak yang nge-idolain. Tapi masa iya, temen sekelas mau lo embat juga?” omel Regi.
“Bukan gue yang minta, Reg,” jawab Aldi santai sembari nyengir.
“Eh, Nad, sekarang giliran lo!” perintah Aldi.
Nadia pun membuka gulungan kertas yang ada di tangannya.
Deg.
Lagi-lagi Nadia terkejut, karena kertas yang ia buka isinya sama seperti yang ia tulis. Hanya saja nama yang tertera di sana berbeda.
“Sebenernya gue suka sama Lizia,” ucap Nadia.
“Wah, jangan-jangan ini lo yang nulis ya, Al? Terus yang tadi Lizia yang nulis? Wah, teori konspirasi nih!” tebak Gias dengan sotoynya.
“Anjir … gak mungkin lah! Si Aldi belom move on dari mantannya!” celetuk Regi meledek.
Memang dari gosip yang beredar, Aldi belum bisa move on dari mantannya saat SMP. Tapi ucapan dari Gias membuat Nadia bertanya-tanya, apakah benar? Nadia sangat khawatir.
“Sekarang giliran gue, nih!” ucap Riska.
Riska pun membuka gulungan kertas di tangannya.
“Sebenernya gue pake duit kas goceng,” ucap Riska. “Wah, ini sih ketebak siapa pelakunya. Ina! Ngaku lo!” cecar Riska pada Ina, yang sedang bersembunyi di balik selimutnya.
“Iya, tenang! Nanti gue ganti,” ucap Ina, seolah tak bersalah.
※※※
Asap yang mengepul menyamarkan dinginnya udara jam sepuluh malam. Sebagian orang sedang membakar jagung, sebagian lagi sedang memanggang daging. Sementara anak-anak malas hanya memantau di pinggir kolam renang sambil bersenda gurau.
“Nad, tolong olesin saus barbeque-nya dong!” ucap Lizia pada Nadia.
Nadia pun menuruti perkataan Lizia, karena saat ini mereka memang sedang saling bekerja sama.
Byur.
Suara air di kolam renang terdengar, sepertinya ada sesuatu yang tercebur di sana.
“Anjir … kampret lo pada!” suara Regi sedang mengomel, sementara yang lain hanya tertawa sambil berusaha kabur, agar tidak dibalas oleh Regi.
Kini Regi sudah basah kuyup, ia dikerjai oleh Aldi dan Gias. Regi diceburkan paksa oleh mereka berdua di tengah dinginnya udara malam di puncak.
“Gue kedinginan, kampret!” omel Regi lagi.
“Aw … Regi butuh kehangatan, sini aku peluk!” celetuk Gias bercanda.
“Ogah gue!” ucap Regi sambil melepas bajunya. “Udah, ah. Gue mau mandi. Dingin banget gila!” oceh Regi.
“Lah, lo mandi malah lebih dingin goblok!” ucap Gias.
“Gue mau mandi air anget,” ucap Regi sambil berlari kabur memasuki vila.
“Mereka gak ada dewasa-dewasanya ya?” ucap Lizia sambil mengipas-ngipas jagung.
“Lah, lo emang dewasa?” celetuk Riska.
“Gue dewasa kok. Hehehe,” ucap Lizia sambil nyengir.
“Eh, by the way, Liz. Lo ada perkiraan gak? Siapa yang tadi nulis buat lo?” tanya Ina.
“Enggak tau, ya. Gue gak ada perkiraan,” jawab Lizia.
“Elo sih emang banyak yang naksir, Liz, ngiri gue. Di kelas ini aja, udah berapa orang yang nembak lo,” ucap Ina.
“Tapi kan enggak gue terima,” jawab Lizia.
“Lagian kenapa gak ada yang diterima sih? Gak ada yang lo sreg gitu, Liz?” tanya Riska.
“Hmm ... belom ada sih,” jawab Lizia.
“Tapi yang jadi pertanyaan gue, siapa yang naksir sama Aldi ya? Gue tau sih di kelas lain banyak yang naksir dia. Tapi di kelas kita, gue gak tau tuh,” ucap Ina.
“Gak ada tanda-tandanya ya?” ucap Riska.
“Mungkin dia mencintai dalam diam,” ucap Lizia.
“Jangan-jangan elo ya, Liz?” tembak Ina.
“Enggak lah!” elak Lizia.