“Woy, cepetan! Udah dipriwitin Pak Fadli noh!” teriak Rian dari luar kelas.
Murid-murid perempuan di kelas XI IPA-1 masih sibuk berganti baju olahraga di kelas. Mereka berbagi tugas, ada yang menjaga pintu, menutup jendela dan ada juga yang bertugas menutupi temannya yang sedang ganti baju. Nadia sudah tampil dengan baju olahraganya. Baju berwarna putih dengan list warna navy, dan celananya yang berwarna navy polos dengan sebuah kantong di depan dan dua buah kantong di belakang. Nadia duduk di kursinya sambil memainkan ponsel. Ia menunggu teman-temannya selesai berganti baju.
Drrrt.
Ponsel Nadia bergetar. Sebuah pesan WhatsApp masuk dari Regi.
“Woy, jangan lupa!” tulisnya.
“Y.” Balas Nadia singkat.
Hari Minggu, yaitu kemarin, adalah hari ulang tahun Lizia. Rencananya hari ini Regi akan memberikan kado ulang tahun untuk Lizia. Kado sepatu yang Regi beli bersama Nadia.
Mata pelajaran keempat kelas XI IPA-1 hari ini adalah olahraga. Lalu mata pelajaran kelima, atau terakhir, kelas XI IPS-2 adalah olahraga. Saat pertukaran jam itu lah Regi akan mengambil kesempatan untuk menemui Lizia. Awalnya berencana begitu, namun ternyata alam lebih mendukung Regi. Karena secara kebetulan, saat ini jam pelajaran kelas XI IPS-2 sedang kosong, karena gurunya sedang sakit. Saat ini saja Regi sedang di kantin bersama Gias. Ia sudah menghabiskan dua mangkuk mie.
“Nad, ayo!” ajak Ira.
Para perempuan yang tadi sedang berganti pakaian sudah selesai semua. Kini mereka berbondong-bondong turun ke bawah, karena kelas XI IPA-1 berada di lantai dua. Setibanya di lapangan, Pak Fadli, guru olahraga yang badannya agak kurus namun ototnya kekar itu sudah menunggu, dan murid laki-laki pun sudah berbaris.
“Udah lewat sepuluh menit ini, lama banget sih kalian?!” omel Pak Fadli.
“Huu … dasar cewek-cewek ribet!” terdengar celotehan yang entah dari siapa.
Mungkin para murid perempuan ini tidak akan telat selama ini, andai saja Bu Ike, wali kelas mereka yang juga mengajar Biologi ke luar kelas tepat waktu. Tapi Bu Ike malah korupsi waktu sampai lewat lima menit. Sehingga waktu mereka berganti pakaian pun menjadi berkurang. Berbeda dengan murid laki-laki yang kadang asal bertelanjang dada di mana saja dan jika mereka berganti baju di toilet sekolah pun tidak perlu seribet perempuan.
Pak Fadli pun mulai mengabsen satu per satu muridnya. Setelah itu mereka pun berlari di lapangan sebanyak tiga putaran. Setelahnya mereka pun melakukan pemanasan sebelum memulai materi olahraga hari ini. Materi hari ini adalah penilaian permainan tenis, setelah seminggu sebelumnya mereka sudah belajar bagaimana cara memainkan tenis lapangan. Penilaian akan dilakukan satu lawan satu sesuai urutan absen. Tentu saja murid perempuan lawan murid perempuan, lalu murid laki-laki melawan murid laki-laki juga.
“Nadia Danissa!” panggil Pak Fadli.
Setelah dua puluh menit menunggu, akhirnya giliran Nadia pun tiba. Nadia sangat gugup, ia tidak bisa bermain tenis sama sekali. Nadia memang pandai di akademik, tetapi ia tidak jago di bidang olahraga. Apalagi badannya kecil, tingginya hanya 155 sentimeter, rasanya memegang raket pun berat sekali.
“Nadia, semangat!” suara teriakan Regi.
Nadia menengok ke belakang, ternyata Regi sudah berada di lantai atas bersama Gias. Bukannya semangat, Nadia malah semakin gugup. Tangan kiri Nadia berkeringat memegang bola berwarna hijau, tangan kanannya pun tak kalah gemetar memegang raket yang terasa sangat berat menurutnya. Nadia pun memulai servisnya. Lalu benar saja, bolanya tidak terpukul dengan sempurna. Sudah dapat dipastikan nilai Nadia hanya akan ngepas KKM.
“Na, bisa sekarang?” Regi mengirimkan pesan WhatsApp untuk Nadia.
Nadia pun celingak-celinguk mencari keberadaan Regi. sepertinya Regi sedang memperhatikannya, karena saat ini Nadia sedang berbincang berdua dengan Lizia di pinggir lapangan sambil beristirahat. Ini sebuah kesempatan.
“Kamu di mana?” tanya Nadia.
“Gue di kantin, barusan gue liat lo lagi berdua sama dia. Bisa ajak dia ke sini?” balas Regi.
“Oke, tunggu!” balas Nadia.
Sesuai permintaan Regi, Nadia pun langsung mencari cara agar bisa mengajak Lizia ke kantin.
“Liz, beli minum yuk! Haus,” ajak Nadia.
“Ayo!” jawab Lizia tanpa pikir panjang.
Nadia dan Lizia pun berjalan berdua ke kantin. Ketika sampai di kantin, Nadia melihat Regi yang sudah menunggu di sana sendirian, Regi pun langsung berjalan menuju arah Nadia dan Lizia dengan kedua tangan berada di belakangnya.
Ketika Regi hampir sampai, tiba-tiba muncul siswa kelas XI IPA-2 bernama Billy.
“Liz, kebetulan lo lewat. Ini hadiah ulang tahun buat lo!” ucap Billy langsung.
“Wah, thanks ya, Bil,” ucap Lizia ceria, sambil mengambil hadiah dari Billy. Sebuah kotak yang terlihat mahal, yang sudah dapat dipastikan isinya juga mahal, yaitu jam tangan. Ia juga memberikan Lizia setangkai bunga mawar.
Regi yang melihat kejadian itu pun langsung melewati Nadia dan Lizia. Ia berlari kembali ke kelasnya dan memilih untuk segera bersiap mengganti baju olahraga.
※※※
“Kenapa kadonya ada di laci aku?” Nadia langsung mengirimkan pesan WhatsApp saat mengetahui kado tersebut berada di lacinya.
”Iya, tadi gue langsung taro laci lo. Tolong kasihin ke Lizia ya!” balas Regi.
“Kenapa gak kasih sendiri?” tanya Nadia.
“Udah gak berani gue, keduluan sama Billy :’(“ balas Regi dengan emoticon sedih.
Nadia pun sadar betul akan kejadian tadi. Jika ia jadi Regi, pasti ia pun akan ciut. Apalagi Billy berasal dari kalangan atas, setara lah dengan Lizia.
Nadia melihat Lizia yang duduk tepat di meja sebelahnya. Lizia sedang duduk sendirian sambil memainkan ponsel. Begitu juga dengan Nadia, kebetulan Ira sedang ke toilet. Nadia rasa, ini adalah saat yang tepat untuk memberikan kado dari Regi padanya.
“Liz?” panggil Nadia sambil menarik kursinya mendekat pada Lizia.
“Iya?” jawab Lizia sambil melepaskan earphone yang tergantung di telinganya. Ternyata Lizia sedang mendengarkan musik.
“Regi nitipin ini buat kamu. Selamat ulang tahun katanya,” ucap Nadia sambil memberikan kado pada Lizia.
“Serius? Dari Regi?” Lizia langsung terkejut dan hampir melompat.
“I … iya,” jawab Nadia yang agak bingung dengan respon heboh Lizia.
“Tolong bilangin makasih banyak ya!” ucap Lizia bersemangat.
“Oke,” jawab Nadia.
Nadia pun menarik kursinya kembali ke tempatnya. Lalu mengambil ponsel dari sakunya dan mulai mengetikkan sesuatu.
“Lo mau ngabarin Regi kan?” tanya Lizia.
Nadia hanya menjawab dengan anggukan.
“Kalo lo foto aja gimana? Fotoin gue, terus kasih ke Regi?” pinta Lizia, lalu ia pun siap berpose.
Nadia pun menuruti permintaan Lizia. Ia memotret Lizia dan mengirimkan foto itu pada Regi.
“Udah aku kasihin ke orangnya nih,” tulis Nadia di foto yang ia kirim.
Regi baru membalas sepuluh menit setelahnya.
“Gila mantep banget! Oke, abis ini lo pulang bareng gue!” balas Regi.
Nadia tidak menghiraukan balasan Regi, ia memilih untuk memainkan permainan Candy Crush di ponselnya.
Seperti biasa, sepulang sekolah Nadia akan menunggu angkot di depan gerbang sekolah.
“Woy, Nadia!” suara Regi memanggil, ia sedang berlari menghampiri Nadia.
“Lo kenapa pulang duluan? Kan gue bilang tunggu!” tanya Regi sambil merangkul bahu Nadia.
“Apaan sih?” tanya Nadia kesal, sambil menyingkirkan tangan Regi dari bahunya.
“Lo tunggu di sini! Jangan ke mana-mana!” ucap Regi lalu masuk kembali ke dalam sekolah sambil berlari.
Lima menit kemudian, Regi muncul kembali dengan motor Beat miliknya.
“Ayo, naek!” pinta Regi.
“Ke mana?” tanya Nadia bingung.