Nadin Membunuh Nostalgia

Ardi Rai Gunawan
Chapter #2

Bab 2

Turun dari angkot, siang itu ia agak terburu-buru, sembari membawa kardus kecil berisi pakaian-pakaian yang dititipkan oleh kawannya, Ulin. Ia pun bertugas menjaga kios itu, dan kini Ulin nampak cemas sekali. Takut Nadin tak membawa kardus berisi pakaian yang sudah dijanjikan olehnya.

           "Dibawa?" tanya Ulin tampak telah bersiap pergi dari kios tersebut.

           "Ya. Ini."

           "Makasih, Din. Masalahnya pakaian-pakaian ini akan dijual di sana."

           "Sebenarnya kenapa kamu titipkan pakaian itu kepadaku?"

           "Biar tidak ketahuan Ceu Ratih. Bisa gawat, kalau di rumah dia tahu pakaiannya aku bawa untuk dijual lagi di kios temanku. Aku bisa diamuk."

           "Habisnya, kamu juga sih. Apa buat bayar utang?"

"Adalah."

           Ulin, atau yang bernama asli Kemuning ini memang mengekos di tempat Ceu Ratih, pemilik kios pakaian tersebut. Apalagi tempat mengekosnya di dalam rumah, jadi perempuan itu sangat ketakutan bila niat culas si Ulin ini ketahuan Ceu Ratih. Bukan hanya diusir dari kosan ia akan kehilangan mata pencaharian. Sementara mencari pekerjaan baru sungguh merupakan hal yang penuh taruhan baginya. Nadin, yang mengetahui kelakukan Ulin tak bisa berkata banyak jika ada Ceu Ratih. Masalahnya, Ulin sering berbaik hati membelikannya makan siang, seperti nasi padang atau nasi warteg di sekitaran situ, terutama ketika Nadin cekak. Hari ini, ia tak akan memberikan makan siang gratis lagi padanya, sehingga sebagai tanda persahabatan Ulin hanya memberinya uang lembaran merah sebanyak lima lembar.

           "Banyak amat, Lin!"

           "Semoga cukup. Bisnis pakaianku sukses besar bersama kawanku, Din. Kupikir, kalau modalku sudah terkumpul, aku akan membuat bisnis sendiri. Nanti, kalau sudah jadi, aku akan mengabarimu."

           Nadin hanya mengangguk. Usai itu Ulin terlihat buru-buru pergi. Nadin tahu, perempuan itu takut dipergoki oleh Ceu Ratih. Bahkan, ia tak sempat pamit padanya. Perempuan itu sudah bersiap kabur seperti angin ribut. Nadin hanya melongoknya dari dalam kios; Ulin terbirit-birit seperti dikejar setan. Hampir dua kali ia menabrak pedagang pembawa karung berisi terigu dan pengunjung yang akan masuk ke toko kelontong. Tak lama dari itu pula, Ceu Ratih sudah datang dari arah lain, dan ia segera celingak-celinguk mencari Ulin.

           "Dia sudah pergi?"

           "Baru saja."

           Ceu Ratih tampak mengembuskan napasnya.

           "Aku mau makan siang nasi padang, kamu mau kubelikan apa?"

           "Tidak usah repot-repot Ceu... aku bisa..."

           "Nggak. Kamu sudah berbaik hati menggantikan Ratna, temannya si Ulin yang kabur setelah bawa sekardus pakaianku yang harusnya dijual. Dan setelah sebulan kamu bekerja di sini, aku lihat kerjamu bagus. Ini anggap saja sebagai traktiran seorang kakak kepada adiknya," paksa Ceu Ratih. Nadin tahu, perempuan ini sebenarnya ramah dan tekun sekali dalam menggeluti bisnisnya, sayangnya para pekerja sebelumnya sering berbuat curang. Termasuk Ulin, yang sampai saat ini masih belum ketahuan. Andai saja Ceu Ratih tahu Ulin pun sama brengseknya dengan Ratna, pikir Nadin.

           Ia tak mengerti, mengapa para pekerja sebelumnya sampai tega melakukan hal itu, hanya karena tidak terima dibayar kecil, belum lagi saat Nadin baru pertama kali kerja di sana, ia sering mendengar gerutuan mereka tentang Ceu Ratih, apabila perempuan itu sedang keluar dari kios.

           "Terima kasih, Ceu..." kata Nadin usai Ceu Ratih segera pergi dari kiosnya, berlenggang ke tempat nasi padang.

           "Titip jaga sebentar."

           "Ya. Ini memang pekerjaanku, Ceu."

           "Benar juga."

Lihat selengkapnya