Tepat pukul delapan lewat seperempat malam, Nadin telah keluar dari pintu kosannya dan beberapa lelaki muda yang menongkrong di undakan tangga lantai tiga tentu saja bisa melihat perempuan itu baru saja mengunci rumahnya. Mereka semua berubah sunyi, padahal sebelumnya mendesiskan kata-kata bernuansa mursal. Nadin pun bahkan sempat mendengar kalau namanya ada di antara rentetan kalimat berbau selangkang itu, seolah ia merupakan imbuhan atau sebuah tanda tanya yang salah diletakkan. Dan kini, tatkala empat anak yang tidak lulus sekolah itu melihat pakaian Nadin, matanya seolah mengelupas dari kelopaknya, kemudian beterbangan ke setiap permukaan kulit perempuan itu.
Nadin cuek saja. Sudah biasa tubuhnya dibuntuti oleh bola-bola mata jahil. Meski, ia pun tahu kalau setiap rayuan itu sebenarnya bisa dilaporkan, namun perempuan itu tidak ingin berurusan panjang, dan ia pun sangat yakin lelaki-lelaki bau kencur ini tidak akan kapok juga bila Nadin sampai melakukan hal sejauh itu, sejak awal kepalanya memang sudah rusak karena salah menerima asupan tontonan.
Atau, bisa jadi Nadin sangat pesimis.
"Nadin cantik, mau kerja, ya?" kata salah seorang anak muda ketika Nadin yang telah wangi melewati undakan tangga.
"Ya."
"Kami nggak boleh ikut, nih?" katanya berseloroh. Rentetan tawa pun membredel di serambi tersebut. Suara mereka menggema hingga salah seorang satpam yang tinggal di sekitar undakan tersebut mencuat. Dengan kaos putih dan kolor ia keluar dari kamar, segera memelototi anak muda itu sembari tangannya hendak melempar remot televisi.
"Mau aku tampol kalian semua?!"
Lelaki bernama Barda itu sekilas berpapasan dengan Nadin yang kelewat wangi. Emosinya agak merenggang ketika sepotong senyum kecil dari wajah oval alaminya yang tanpa riasan mencolok itu menghunjam ke kedua matanya. Mereka saling mengangguk hormat. Amarahnya agak teredam. Tetapi, ketika Nadin telah turun ke lantai berikutnya, perempuan itu bisa mendengar hujan ceramah yang bernada sinis itu tumpah ruah kepada empat pemabuk anggur kolesom oplosan tersebut.
Nadin hanya menyemburatkan senyum sinis tipis. Selanjutnya ia mulai merasakan jantungnya cukup berdebar-debar, sebab malam ini ia akan bertemu dengan Lembu, seorang pesulap yang sebelumnya telah mengajaknya keluar malam dengan santai di depan kios pakaian Ceu Ratih.
Jika dahulu, tatkala Nadin masih bekerja di tempat Mayang, seorang mucikari di sebuah penginapan kecil, ia selalu mendapatkan sindiran setiap berangkat menembus malam. Sekarang, ia seperti pekak. Ia pun sudah tak peduli perkara Mbak Nah, yang juga kerap keluar malam hari, karena kegerahan di rumahnya, kini mengirimkan pandangan beracun kepada Nadin. Anehnya, kini perasaan jengah atau benci terhadap semua desis itu tenggelam begitu saja bersama suara jantung Nadin, yang perlu diukur metronom. Tentu, ini baru pertama kali dirasakannya.
Ia bisa lolos dari gerbang kosan dengan hati lega. Akan tetapi, jantungnya kembali berdegup lebih cepat lagi ketika ia menyetop angkot. Ini tandanya ia akan melipat waktu, dengan kecepatan yang akan dilaluinya menuju tempat yang sudah dijanjikan oleh mereka berdua. Sebentar, ia berpikir, ada apa dengan lelaki bernama Lembu ini? Kenapa dia bisa membuatnya berdegup, sementara ia sudah janji setelah tahun-tahun paling kelam itu, tak ingin berhubungan dengan mahluk berbatang sepertinya. Ia sudah tak percaya kisah romansa akan tercipta dalam kehidupannya. Lebih tepatnya, ia tak tahu bagaimana mendefinisikan romansa yang manis itu, karena selama ini ia tak pernah merasakannya keculi menonton dari FTV.