Usai angkot yang dinaiki Nadin berhenti di dekat halte, perempuan itu turun dan memberikan uang lusuh kepada sopir yang nampak murung karena sewa sepi usai para sopir di hari sebelumnya berdemo. Penyebab utamanya ada rencana angkot akan ditiadakan.
Nadin sama sekali tak menoleh ke belakang, saat mobil itu menggeram, mencakar-cakar aspal jalan. Ia langsung melihat halte sunyi di hadapannya. Hanya keresek berisi sampah gelas plastik dan dedaunan, yang pastinya milik seseorang yang kehilangan akalnya, dan memilih tinggal di sana. Dan di manapun. Nadin tampak tak peduli. Ia memutuskan menunggu Lembu. Sembari itu pula, melihat ke area belakang halte; pasar malam sudah digelar. Bianglala berputar searah jarum jam, kora-kora berayun-ayun, seolah hendak melempar penumpangnya keluar atmosfir bumi. Wahana-wahana rumah hantu pun tampak dipadati pengunjung. Nadin melihat mereka semua kebanyakan adalah sepasang kekasih. Ia yakin, itu semua hanya akal bulus si pria agar pasangannya akan mendekap bila dikagetkan oleh kuntilanak, tuyul, pocong atau semacamnya. Bila ia yang ada di sana sudah pasti para hantu jadi-jadian itu akan benjol karena bila sudah kaget biasanya Nadin refleks menampol siapapun.
Sebentar, Nadin menjenguk arloji murah di pergelangan tangannya. Ia mulai risau. Pemikiran bahwa Lembu menipunya semakin kentara. Jika itu memang benar terjadi, Nadin berencana pulang dan tidur. Bila terlambat pulang anak buah Mayang kemungkinan akan kembali menyeretnya untuk menjadi asistennya, atau lebih gila lagi, ia mesti kembali ke tahun-tahun paling sial dalam hidupnya: menjadi lonte. Sekarang bisa dilakukan secara daring bahkan. Dan joki-joki lonte itu akan menghisap uangnya, hingga hanya menyisakan sedikit rupiah saja di dompetnya. Ia sungguh tak sudi kehidupan itu kembali pada dirirnya. Ia pun tak sudi menemui lelaki ceking nan aneh itu lagi di pasar. Bilapun berpapasan, ia hanya akan menganggapnya karung beras, karung goni isi sayur, atau ikan busuk yang terjatuh ke lantai pasar dan lalat-lalat kemudian berhinggapan di atasnya, seolah menemukan pulau tak berpenghuni yang memiliki emas mulia.
Tapi, tak selang berapa lama, Lembu sekonyong-konyong datang dan tampak lebih rapi daripada biasanya. Ia tak menduga kalau lelaki itu akan mengenakan tuksedo hitam mengilat, dengan dalaman kemeja putih yang dihiasi dasi kupu-kupu. Celananya pun terlihat parlente sekali. Licin. Nadin pikir, pandai juga dia menyetrika. Lebih penting lagi, dari mana Lembu mencuri semua itu?
Entah pula dari mana ia turun. Angkot, bus, metromini, kopaja, ojek, atau buroq? Batinya berkerenyit.
"Kamu tampak rapi sekali!" kata Nadin setengah tepana. Apalagi ia melihat rambut pengamen sulap itu sedikit lebih klimis. Padahal biasanya, rambut itu begitu berminyak, seolah minyak sayur sudah tumpah ke atas rambutnya.
"Benarkah? Aku menyiapkan pakaian ini sejak berjam-jam lalu."
"Sungguh alasan yang tak mengejutkan."
Mereka kemudian berjalan beriringan melewati bebatuan dan ilalang-ilalang yang membatasi antara sisi jalan dan area lapang tersebut. Perempuan itu hampir saja terjatuh dari undakan tak beraturan, namun Lembu dengan cekatan segera merengkuh tubuh Nadin agar bisa berdiri tegak dan selamat di atas tanah lapang. Setelah itu, Nadin agak memberi jarak seolah ia baru saja tersadar akan sesuatu. Sebelumnya, tangan lelaki itu begitu melekat di pinggangnya. Walau Nadin tahu, Lembu tidak akan macam-macam padanya.
"Kenapa?" Lembu mengernyitkan keningnya.
"Tidak apa-apa... ngomong-ngomong, jam berapa kamu tampil?"
"12. Sebentar lagi."
Keduanya berjalan berjinjit-jinjit demi menghindari sendang kecil yang tercipta di tanah berlumpur. Sekitar empat jam lalu, daerah itu memang sempat terguyur air langit.