Nadin Membunuh Nostalgia

Ardi Rai Gunawan
Chapter #6

Bab 6

Semua kesungsangan itu terasa nyata di kedua mata Nadin. Tubuhnya segera mendemam, sehingga perempuan itu berusaha melarikan diri ke jajaran paling belakang. Ia melawan arus para penonton yang ingin melesak ke muka panggung—demi mendapatkan berkah atas sulap Lembu, yang berhasil memukau semua orang dalam pasar malam.

            “Oh, tidak," gumam Nadin, terus jalan melawan arah. Penonton-penonton ini menganggap pertunjukan tersebut sebagai suatu pertanda baik bagi kelangsungan hidup mereka—yang Nadin tahu bukan kalangan berada. Mereka tak jauh berbeda dengannya, pikir Nadin. Tentu saja. Tapi, entah mengapa mahluk-mahluk berwajah lapar ini bisa sebegitu antusias dan memuja Lembu sementara lelaki itu setahunya separuh hidupnya di pasar hanya berisi luntang-lantung, daripada penampilannya yang fantastik. Apakah ini semua karena Lembu berhasil menghipnosis mereka? Atau memang orang-orang ini sudah kehilangan akal sehatnya karena tekanan kehidupan yang berat. Nadin pun yakin, mereka kemari sekadar ingin berekreasi dari kepenatan miskin, yang terus menjerat mereka selama bertahun-tahun, barangkali berabad-abad. Seperti sebuah dinasti: turun-temurun begitu akrab dengan kemelaratan. Bagi mereka istilah roda kehidupan terus berputar, yang mana miskin jadi kaya, dan kaya bisa jadi miskin adalah sebuah kebohongan. Mitos.

           Nadin pun agaknya sedikit meyakininya juga. Sama seperti ia yang pesimistik dan memiliki pemikiran bahwa, bila semakin bekerja keras kita akan semakin mendekati apa yang kita inginkan. Tidak. Baginya itu adalah kebohongan. Itu tidak sepenuhnya tepat. Buktinya banyak yang mati sakit karena kerja keras. Banyak yang terus melakukan kebanalan itu tanpa mendapatkan apapun, dan mereka hanya terus melakukannya seperti bernapas. Banyak yang punya target tapi tak bergerak: di situ-situ saja. Alasannya, ia tak punya previlege apapun, selain dirinya sendiri. Sulit memang kalau begitu. Namun Nadin semakin yakin itu semua hanya dramatisasi belaka. Mereka yang mendramatisasi kesuksesan sejatinya memang memiliki beberapa hal yang secara persentase amatlah sedikit daripada mayoritas yang tetap hidup merintis. Selain hal yang paling menentukan adalah suatu keberuntungan: sebuah hal yang mencerminkan bahwa tak ada keadilan yang hakiki di dunia ini. Atau memang, dunia ini memang tidak didesain untuk membuat semua nasib merasakan keadilan. Mungkin itu sebabnya keadilan seringkali dianggap sebuah berkah mulia, pikir Nadin.

           Sebab tak semua orang bisa menyentuh mimpinya. Tak semua orang punya mimpi. Dan Tak semua orang yang bekerja keras bisa mendapatkan apa yang mereka mau. Ia pun mengerti bahwa tak semua orang memiliki kehidupan yang mereka inginkan. Dunia ini misteri. Hidup ini misteri. Kerap tak mampu dikalkulasi dengan sebuah istilah ataupun skema yang membuat seseorang bisa mencapai kehendaknya. Matematika hidup tidak serupa dengan matematika yang Nadin, juga siapapun temui di kehidupan sehari-hari (termasuk sekolah). Matematika hidup milik matematika Yang paling Maha Berkehenak, pikir Nadin. Yang mana perhitungannya tidak akan bisa dipahami oleh manusia biasa.

           Seperti saat ini. Ia pun sedang merasa di luar perhitungannya. Kekacauan di tengah ombak manusia ini sungguh di luar ekspektasinya. Ia tak pernah menduga penampilan Lembu akan dihujani banyak manusia, seolah satu-persatu, berjatuhan dari entah: mungkin langit, mungkin dari dasar tanah seperti tikus pemamah, ataupun muncul begitu saja, seolah ada suatu portal tersembunyi yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Yang ia bayangkan, Nadin akan duduk tenang di suatu kursi plastik, menonton Lembu--sebagaimana ia menontonnya di depan kios-kios pedagang pasar.

           Namun yang terjadi kini, Nadin malah mengarungi ombak manusia yang terus berdatangan dari arah berlawanan, seolah tak ada hentinya. Ia tak bisa bergerak. Semua jadi tarik-menarik dan dorong-mendorong: keadaan makin tak terkendali. Nadin pikir, ia benar-benar seperti mengapung di lautan ganas. Dan dalam keadaan seperti itu, masih sempatnya ia ingat cerita komik Kosasih tentang pengadukan samudra: Samudramanthana, pada epos Mahabharata. Kisah itu terjadi karena adanya perebutan air suci dari kalangan asura dan dewa. Entah yang mana asura, yang mana dewa. Yang jelas, Nadin merasa teraduk-aduk di antara lautan manusia berkeringat ini. Ia hampir berteriak minta tolong kepada Lembu agar lelaki itu mau menyelamatkannya. Akan tetapi, kalaupun Nadin berteriak, ia masih memikiran perihal bagaimana lelaki itu akan datang kepadanya? Perempuan itu sudah cukup jauh berenang di antara kepala dan tubuh penonton.

           Meski begitu, batinnya terus memanggil nama lelaki yang sekejap di matanya jadi menyebalkan.

           "Teriaklah."

           Tiba-tiba ada suara lain menggema dalam hatinya. Bukan suara dirinya, Nadin sangat yakin sekali.

           "Teriaklah. Sebut namaku."

           Nadin kebingungan setengah mati. Perempuan itu bertarung ketat sekali dengan akal sehatnya: apakah dia juga sudah gila. Suara-suara aneh mulai bermunculan di dalam kepalanya.

           "Teriaklah, Nadin."

           "Tidak."

           "Teriaklah," kata suara dalam dirinya setengah memaksa. "Ayo!"                                         

           Nadin tampak mengernyitkan keningnya sembari merasai nyeri di seluruh tubuh sebab bertubrukan dengan orang-orang yang terus mendorongnya mundur ke arah panggung. Barulah, ketika ada seorang lelaki bertubuh seperti asura mendekatinya, ia mulai merasa terancam. Terlebih ia melihat lelaki ini berwajah beringas dengan kumis tebal, giginya kuning, tatapannya seolah hendak mencolok wajahnya—tambah mengancam dirinya saja. Maka, ketika tangan lelaki itu ia yakini sengaja merengkuh buah dadanya karena dorongan yang begitu kuat dari arah belakang, Nadin refleks menarik diri ke samping. Pakaiannya robek sedikit. Tapi, itu tak ada apa-apanya ketimbang rasa takut yang segera melanda tubuh dan jiwanya.

           "Lembuuu!"

           Nadin tambah berontak dari ombak itu. Menggeliat seperti ikan menggelapar di daratan. Namun, percuma, ombak semakin deras. Tubuhnya tenggelam sesaat, dan ketika menyembul ke permukaan lagi ia sudah terbawa oleh ribuan orang yang semakin deras ke depan panggung. Nadin sudah pasrah. Ia pikir, barangkali inilah akhirnya. Tubuhnya akan terbawa oleh ombak manusia yang menggila. Ia bisa mendengar gemuruh mereka menyebut nama Lembu dengan suara riuh rendah, dan hal itu, sekali lagi berhasil menggigilkan tubuhnya. Bisa ia lihat kini, manusia-manusia yang ada di tempat kumuh ini, menganggap Lembu sebagai dewa yang diberkati. Sang penyelamat. Sang pencerah, rasul, atau Ratu Adil. Semacam itu.

Itu pula yang membuat Nadin pun makin pasrah, dan secara perlahan tubuh lemahnya tak bisa menahan ombak fanatik tersebut. Ia akan tenggelam dan terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka. Tubuhnya akan koyak. Selanjutnya, tatkala matahari datang dari ufuk timur, tatkala semua ombak manusia pun sudah reda. Tersisalah tubuhnya teronggok sepi seperti daging lusuh tak berguna di atas tanah becek penuh jejak langkah. Atau seperti sisa-sisa tetelan daging yang terbuang di atas permukaan becek pasar tradisional: bercampur dengan lalat dan cairan berminyak yang masam baunya.

Lihat selengkapnya