Nadin Membunuh Nostalgia

Ardi Rai Gunawan
Chapter #7

Bab 7

Ketika perempuan itu membuka mata, ia sudah berada di dalam bak mandi dengan air mengalir dan meluber ke lantai toilet. Tubuhnya telanjang. Setengah tubuhnya tenggelam dalam air yang telah menghangat. Beberapa lebam dan bekas luka sayatan terlihat menghiasi lengan bagian atasnya serta punggungnya. Memanjang secara horizontal, serupa kelabang yang menempel seumur hidup di dalam kulitnya.

           Matanya sayu dan sudut matanya membiru karena malam sebelumnya, yang sangat ingin ia lupakan, wajahnya harus kena bogem suaminya. Lebih tepatnya suami kontrak yang terpaksa ia lakukan karena ia mesti menghidupi diri. Atau mungkin bukan itu alasannya? pikir perempuan bernama Nadin, alias Nadiah.

           Menurutnya, barangkali akar dari alasan terbesarnya, bisa jadi karena ia tak mampu melawan dua lelaki yang sebenarnya selama ini selalu memegang tanggungjawab untuk menghidupinya dan adiknya, Mirna, yang entah berada di mana saat ini.

           Sejak ibunya, Fatimah, meninggal, perlahan-lahan kehidupannya berubah.. Terutama dua pria yang tinggal di rumahnya. Kakak tirinya dan bapak kandungnya. Bermula ketika kakak tirinya, salah satu lelaki berkuasa itu—sering membawa Mirna yang saat itu masih SMA, pergi ke suatu tempat di sudut kampung—dan ketika pulang—Mirna yang masih delapan belas tahun tampak melemas. Kerap kali ia mendengar adiknya tertawa ngikik dalam mata terpejam. Seperti kuntilanak saja. Sudah begitu mulutnya menguarkan aroma alkohol murahan yang kerap ia endus tatkala ia melewat sebuah warung remang-remang di sudut kampungnya. Persis setiap Nadiah pulang dari kerja di pabrik garmen.

           Keadaan itu tak hanya sekali. Pasalnya, sejak hari itu, Nadiah selalu melihat Mirna bersama kakaknya pulang dalam keadaan lunglai begitu saja. Kadang Mirna merengek dan ingin mencari kehangatan dengan sengaja menjatuhkan diri ke pelukan Nadiah, tepat saat perempuan itu membukakan pintu kamar usai pulang dalam keadaan mabuk. Ia mencaritakan segalanya di tempat karaoke. Kakaknya benar-benar membiarkan lelaki-lelaki berseragam itu menelusuri tubuhnya dengan tatapan dan sentuhan tipis jemari mereka. Nadiah sempat protes dan meradang karena kelakukan si bejat ini, tapi Nadiah seringkali kalah karena lelaki itu kerap mengancam akan menghabisi Mirna. Si Bejat pun sama sekali tak pernah pandang bulu saat berkelahi dengan Nadiah. Entah, sudah berapa kali perutnya jadi sasaran bogem dan bokongnya sudah berapa kali ditendang seolah ia adalah bola sepak saja. Kekalahan demi kekalahan itu akhirnya membuat Nadiah memilih bungkam. Dan ia akan menyimpan rasa ngilu yang menggerogoti jiwanya sebab ketidakberdayaan itu. Ayahnya sejak jadi pemabuk hanyalah lelaki asing yang tak pernah peduli anak-anaknya. Tiri atupun kandung. Dan tetangganya lebih memilih tak ingin mengurusi rumahtangga mereka yang miskin.

           Hingga hari itu terjadi.

           Mirna pulang dalam keadaan tak sadarkan diri. Tidak seperti sebelumnya. Mulutnya berbusa. Bukan lagi bau alkohol yang menguar dari mulut atau tubuhnya, tetapi juga bau pesing dan masam. Sementara tubuhnya yang hanya mengenakan tanktop serta celana jeans belel itu terasa lembab dan dingin. Nadiah dengan jelas mengingat itu. Tubuh adiknya terbalur luka lebam di punggung dan perutnya.

           “Apa yang terjadi padamu, Mirna! Jawab teteh!”

           “Tidak ada... aku tidak apa-apa,” lalu perempuan tanggung itu tergelatak di lantai.

           Mirna baru sadar setelah Nadiah memaksa kakak tirinya, Si Bejat itu, agar membawa adik bungsunya pergi ke puskesmas. Itupun bisa berhasil setelah mereka harus melewati serentetan drama sengit, yang pada puncaknya Nadiah mendapatkan sebuah keberanian untuk menodongkan golok pada Si Bejat. Maka, malam itu juga, tanpa menunggu bapak mereka pulang, Nadiah dan kakak lelakinya pergi ke puskesmas dengan meminjam mobil bak milik tetangga. Mirna bahkan harus menginap semalam. Esoknya, untung saja gadis malang itu sudah siuman usai diinfus dan diinjeksi suatu obat, yang sama sekali tak dipahami oleh Nadiah. Nadiah menunggunya di sebuah kursi plastik, terus memantau keadaannya dengan cemas dan mendam marah. Terus terang ia cukup takut dengan keadaan si adik, yang menurutnya sudah sangat kelewatan. Sedangkan kakak lelakinya, yang rasanya ingin ia maki dengan segala serapah, entah sudah pergi ke mana lagi usai mengantar mereka. Ia langsung menghilang di selasar puskesmas seolah ditangkap jin. Tentu itu membuat Nadiah harus kebingungan membayar biaya puskesmas. Ia pun yakin, kakak lelakinya pasti tidak akan pulang dalam waktu lama. Kelayab ke tempat-tempat lacur atau pergi bermain sambung ayam atau ceki di beberapa warung remang. Kemudian menginap di rumah penyanyi dangdut lonte, yang kata banyak tetangga adalah kekasihnya.

           Untunglah, saat itu ada salah satu dokter yang biasa buka praktek di sana (karena rumah sakit daerah jauh sekali). Ia memeriksa keadaan Mirna sudah agak siangan, sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Dokter umum itu bersedia meringankan biaya pengobatan dan rawat inapnya, sehingga Mirna bisa dipulangkan, meski tubuhnya masih terlihat lemas.

           Kata dokter bermata sendu yang bernama Salimah itu, Mirna telah keracunan suatu obat terlarang, yang entah dicekoki oleh siapa. Yang jelas, Nadiah saat itu begitu malu ketika dokter Salimah menanyakan perihal pekerjaan mereka—mengingat, pakaian adiknya begitu mencolok, dan dokter itu sedikit menaruh curiga kepadanya. Meski pada akhirnya ia bisa jawab dengan penuh kepercayaan diri. “Saya buruh pabrik biasa”. Ia pikir, dengan begitu ia bisa mengikis rasa curiga dokter perempuan tersebut, walau pada akhirnya Salimah tampak tak peduli. Ia terlihat ikhlas membantu mereka. Katanya, kalau ada apa-apa jangan ragu datang saja ke puskesmas, dan jangan ragu menceritakan hal yang sebenarnya terjadi karena keadaan Mirna membuat perempuan berusia empat puluh tahunan itu beraut simpatik.

           "Adikmu tidak boleh dibiarkan bekerja yang bukan-bukan, apalagi sampai mengonsumsi barang yang seharusnya tidak dikonsumusi untuk usianya sekarang. Sayang sekali, tubuhnya masih rentan. Syukurlah kami masih bisa menanganinya, kalau lebih fatal dari kemarin, kalian tentu saja harus ke rumah sakit," kata dokter Salimah yang masih sangat ia ingat kalimatnya.

Lihat selengkapnya