Malam itu, sekitar dua jam setelah azan Isya berkumandang, Nadiah pulang kerja dari pabrik, dan telah melihat kondisi rumahnya berantakan. Rupanya ayahnya kembali mengamuk usai mabok di warung remang-remang. Lelaki itu kini terlihat di tepian sumur, tempat Nadiah biasa menimba air. Ia tampak sempoyongan dan tak berdaya, sembari sesenggukan ia menatap ke dalam kegelapan di bawah sana.
"Mirna! Mirna! Maafkan, bapak!" katanya berteriak-teriak. "Bapak mimpi ketemu emak. Terus melihat emak jadi pocong. Meneror bapak!" racaunya seraya tersedu-sedan.
Nadiah hanya tercenung di pintu belakang rumah sembari menunggu apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu.
"Mirna! Mirna!"
Teriakannya benar-benar menggemakan dinding jantung. Tapi, sama sekali Nadiah tidak berempatik dengan kondisi bapaknya. Entah mengapa. Apakah rasa sayang sudah hilang? Mungkin, batinnya. Rasa sayang bukan sesuatu yang dipaksakan, apalagi hanya karena
"Wawan sudah membawanya ke si Lasmi. Mucikari dari Cianjur kota. Mungkin sekarang Mirna ada di kota itu, atau bahkan dijual ke Bandung bersama belatung lainnya. Belatung itu tak lama lagi akan berubah menjadi lalat. Membuat sarang di hotel-hotel kelas melati atau kos-kosan di sepanjang gang-gang sempit Kota Bandung atau pinggiran kota, seperti di Jatinangor, tempat asal Lasmi. Lebih buruk lagi mereka akan mengirimnya ke Saritem," kata Nadiah kini berjongkok sembari mengambil batang kretek bapaknya, kemudian menyesapnya usai memantikkan api di ujungnya. "Bapak kebiasaan... selalu menyesal setelah orang itu menghilang. Emak juga begitu. Dan Bapak malah asyik-asyikan mabuk. Dalihnya untuh menepikan rasa sepi dan duka atas meninggalnya emak. Padahal sejak dulu, emak tahu Bapak masih suka mabuk dan judi. Bodohnya, emak membiarkan saja."
Bapaknya sama sekali tidak menggubrisnya. Ia malah naik ke pinggiran sumur lalu duduk di sana, dengan bersender di tiang penyangga, tempat tali dan ember pengambilan air berada.
"Mirna! Maafkan, bapak."
"Harusnya, Bapak mencari A Wawan. Dialah yang sudah menjual Mirna. Ya... putra dari istri pertama Bapak itu... dia sudah menjual Mirna," ketus Nadiah.
Setelah itu, seharusnya Nadiah sedih atau terpekik histeris, sebagaimana orang biasa pada umumnya. Pasalnya, bapaknya meloncat begitu saja ke dalam sumur. Lelaki itu tidak meronta tolong di sana. Hanya ada suara bergedebyur, lalu sunyi yang panjang pun segera datang.
Nadiah masih menjongkok, berusaha tenang sembari menghabisi batang kreteknya. Saat kretek itu sudah habis, barulah ia mulai nampak gelisah. Nadiah beringsut dari jongkoknya lalu mondar-mandir di ruang tengah, sembari sesekali melihat ke pintu belakang dekat dapur. Namun, tak lama berselang, Nadiah segera berlari terbirit-birit ke luar rumah, membiarkan seluruh pintu rumah terbuka, lalu ia mendatangi satu-persatu rumah tetangganya, melapor kepada RT pula, bahwa bapaknya bunuh diri di sumur.
Maka, pagi berselang, kumandang pengajian Yasin mulai tersuar dari surau. Mereka tak bisa menggelar pengajian di rumah Nadiah, karena rumah itu terlalu sempit dan kecil untuk orang-orang kampung. Nadiah cukup beruntung, salah satu tetangganya yang bernama Ningsih mau berbaik hati membuat masakan untuk diberikan kepada para pengaji.
Ningsih, dia perempuan setengah baya yang selalu nampak gemulai dan kenes. Tak pernah ia melihat perempuan itu tanpa kebaya berenda bunga melati: kadang merah, kadang putih, seperti bendera kebangsaan. Ia pun selalu mengenakan batik jarik yang tampak sudah kumal.
Meski Ningsih selalu menggunakan pakaian tua dan nampak rapuh, pesona mantan penari jaipong itu tidak pernah luntur. Nadiah tahu, Ningsih dulu selalu menjadi idaman seluruh pria di kampung, terlebih semua lelaki nelayan di selatan Cianjur, telah kenal betul dengan pesona penari jaipong, yang kerap ikut sanggar tari dan menari dari satu hajatan ke hajatan lain. Meski, Nadiah sayup-sayup kerap mendengar cerita lain pula dari kekaguman orang terhadap kemahiran Ningsih dalam menari: beberapa ibu, atau kawan-kawan buruh di garmen pun, sering mendesiskan soal Ningsih yang kerap membawa beberapa lelaki tak dikenal, mampir ke dalam kontrakannya setiap malam Jumat dan Rebo. Namun, itu sama sekali tak menyurutkan ketakziman orang kala berpapasan dengannya. Nadiah bahkan sempat menduga ia mengenakan sejenis susuk, sebab para pendesis itu selalu mendadak berubah perangai setiap melihatnya. Berhari kemudian, biasanya mereka malah akan jadi memuji kebaikan Ningsih, memamerkan barang-barang yang dibelikan Ningsih kepada kawan pendesis lainnya.
Kini, Nadiah harus tutup kuping dengan berita-berita semacam itu karena perempuan ini telah bersedia merawatnya, di saat ia hampir jadi sebatangkara kini. Ningsih pun agaknya melihat gambaran dirinya pada perempuan ini sehingga Nadiah kerap diizinkan tinggal di rumahnya yang hampir selalu luang setiap hari. Terang saja, Ningsih hidup menyendiri. Entah karena apa. Nadiah pun tak ingin ikut campur perihal urusannya.
"Sekarang, kita sama-sama penyendiri. Tak ada siapapun. Kita sama-sama menanggung kesunyian ini, Na," kata Ningsih suatu pagi. Tepatnya setelah sebulan sejak hari pemakaman bapaknya. Pagi itu, Nadiah tampak menikmati singkong rebus sebagai sarapannya sebelum pergi kerja ke garmen.
"Apa kamu tidak mau mencari Mirna?" lanjut Ningsih.