Nadiah tampak terbatuk kala melinting tembakau milik Ningsih yang terbilang cukup kuat. Ia bilang itu adalah tembakau dari Temanggung, salah satu yang terbaik di Pulau Jawa.
Ini sudah ketiga kalinya, ia dituntut mencoba lintingan tembakaunya. Kata Ningsih, itu merupakan syarat untuknya bisa tinggal di rumahnya meskipun bagi Nadiah ini semua hanyalah lelucon belaka. Nadiah menurutinya karena ia pikir cukup mudah, namun Nadiah mengakui syarat itu cukup membuat tidurnya tidak nyenyak, kendati baru tiga minggu kemudian ia bisa mengembuskan asap tembakau tanpa terbatuk. Ningsih hanya tersenyum sembari memasukkan kayu bakar ke hawu.
Sembari merebus singkong untuk membuat colenak, ia tampak menatap kuali itu dengan intens, seolah benda berisi air mendidih itu adalah seorang suami yang telah membangun bahtera rumahtangga selama puluhan tahun.
"Kunaon, Teh?" tanya Nadiah bersender di bibir pintu sembari mengembuskan asap rokok.
"Kau sudah tidak kerja lagi di pabrik, dan kau menolak mengikuti gaya hidup para pekerja pabrik yang memilih kerja sampingan sebagai..." Ningsih memotong kalimatnya sendiri, seraya tetap menatap kuali yang mendidih tersebut.
"Melonte," celetuk Nadiah.
Sebentar, Nadiah bisa melihat senyum kecut perempuan yang telah berjasa menampung hidupnya dalam beberapa bulan terakhir ini. Hal itu pula membuat Nadiah ikut menyuratkan senyum yang sama dengan perempuan itu—walau Nadiah lebih mengarah pada suasana yang sinistik.
"Apa Teteh ingin aku melakukan hal yang sama? Menjadi seperti Teteh? Aku tahu pekerjaan Teteh yang sebenarnya setelah tinggal di sini cukup lama. Selain menjadi biduan dan penari jaipong, Teteh juga kerap..." namun belum sempat Nadiah menuntaskan kalimatnya, Ningsih sudah beranjak dari jongkoknya lalu segera menampar kilat perempuan muda tersebut.
Hal itu tentu saja membuat Nadiah kaget dan ia sadar, bahwa pekerjaan sampingan itu bukan sesuatu yang sangat diharapkan oleh Ningsih. Keadaan terkutuklah yang menyebabkan ia menjalankannya.
"Maaf, Teh. Aku tidak ada niat untuk membuat hati Teteh terluka," kata Nadiah pelan seraya meraba pipinya yang panas, kendati ia tahu tamparan cepat itu sama sekali tak keras.
Ningsih kemudian mengangguk dan sempat menjemba bahu Nadiah sebagai isyarat bahwa ia pun ingin meminta maaf atas penamparan yang tidak terkendali itu. Ia lalu berjongkok lagi di depan tungku. Menatap api dengan pandang kosong.
"Tak ada yang suka bekerja seperti itu... mungkin ada... tapi, pasti hidupnya tidak akan segembira itu, hanya karena bisa mencicipi batang demi batang. Meski pula mendapatkan uang dengan mudah, cukup dengan mengangkang dan pura-pura mendesah kenikmatan, itu tidak akan membuat jiwanya terisi. Jiwa manusia-manusia sepertiku cenderung kosong. Seperti cangkir di sebuah restoran mewah... kerap diisi dengan minuman apapun, diminum oleh ribuan bibir, namun setelah air itu memuaskan banyak orang, cangkir itu tetap kosong."
Nadiah masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Ningsih. Perempuan itu masih meraba-raba apa kiranya yang ingin Ningsih katakan padanya. Dan sampai makan malam yang amat sangat sederhana itu, Nadiah tetap tidak mendapatkan jawaban. Menjelang dini hari, seorang tamu datang menjemput Ningsih untuk pergi bekerja ke sebuah tempat karaoke di Cianjur. Ningsih kemudian pamit kepada Nadiah bahwa ia tidak akan pulang selama beberapa hari, dan seperti biasa, Nadiah mesti mengurus rumah.
Setelah lima hari berlalu, dan Nadiah semakin merasa menjadi tuan rumah di rumah sederhana milik Ningsih, perempuan itu pulang dengan pakaian berbeda. Ningsih tampak mengenakan jaket tebal seolah ia baru saja turun dari puncak Mahameru. Dan Nadiah sama sekali tidak ingin ikut campur perkara kenapa Ningsih baru pulang selama lima hari, sementara biasanya perempuan itu hanya pergi paling lama tiga hari. Ia pun bahkan tidak menanyakan kemungkinan Ningsih pergi ke kota yang lebih jauh atau menemui sanak keluarga di tempat lain. Nadiah dengan santainya—seperti hari-hari biasa—lantas menawari Ningsih sarapan. Ia pun segera menanak nasi pagi itu. Bahkan terlalu pagi. Sekitar pukul tiga dini hari. Entah apa yang dipikirkan Nadiah. Seperti yang dikatakan perempuan sundal itu, barangkali pikiranmu sudah mulai kosong, sehingga tak tahu harus berkata apapun lagi. Kini, Nadiah banyak membisu. Hanya tubuhnya saja yang bergerak melayani perempuan itu.
"Hanya nasi saja?" kata Ningsih dingin.
"Aku akan ceplok telur."
Ningsih mengangguk. Ia duduk di ruang makan seraya meraih teko dan menuangkan teh hangat ke gelas plastik yang tampak sudah kusam.
Selama Nadiah menceplok telur, sesekali matanya melirik ke arah Ningsih yang tampak masih diam dan tersirat sedang dalam keraguan. Nadiah membaca gerakan perempuan itu, dan setelah cukup lama tinggal bersamanya, ia agak mengerti kebiasaannya bila dalam keadaan meragu.