Nadin Membunuh Nostalgia

Ardi Rai Gunawan
Chapter #10

Bab 10



Mereka pergi ke Cisarua melalui jalur Cianjur, lalu ke Cibodas, kemudian Puncak. Dengan mobil angkutan umum jurusan Cianjur-Bogor, kedua perempuan itu tampak berdesakan dengan penumpang lain. Namun, Nadiah tampak berjarak dengan Ningsih, yang memilih duduk di samping sopir. Nadiah duduk di jok jajaran tengah, persis di dekat jendela. Dengan jaket tebal berserta tas besar milik Ningsih yang diberikan padanya, tampaklah Nadiah sedikit kerepotan. Di bawah joknya, belum lagi kardus-kardus isi makanan pokok, harus menjadi pijakannya.

Sementara di sampingnya, seorang ibu tak begitu sabar menangani anaknya yang rewel. Beberapa kali Nadiah melihat bocah berusia lima tahun itu dicubiti pahanya hingga membiru. Tapi, ia melihat si ibu masih tampak mampu berakting di depan kenalannya, yang saat ini duduk di sebelahnya. Bocah lima tahun itu menangis. Rebah di atas dada ibunya, hingga kaos yang dikenakan perempuan itu membasah kini.

“Diam. Kalau tidak diam, ibu cubit terus,” geram perempuan itu seraya memelototi bocah tersebut. Ada sedikit perhatian dari Nadiah kepada bocah ini. Ia memberikan biskuit yang menjadi bekal Nadiah selama di perjalanan. Usai itu, bocah si ibu tampak berusaha tak menangis lagi di depan banyak penumpang.

Bahkan meski Nadiah sudah rela membagi bekalnya untuk bocah tersebut, si ibu masih saja tetap ketus kepada anak tersebut.

“Bilang apa sama tetehnya. Ayo bilang...”

“Sudah, Bu. Tak apa,” kata Nadiah.

Sayang, Nadiah tak bisa melihat bocah itu lebih lama, sebab setelah melewati Cianjur, perempuan itu lantas turun. Padahal sejak ia memberikan biskuit bekalnya pada anak itu, dia sudah mulai diam dan mau diajak bercanda oleh Nadiah. Selama menuju Cibodas, dilalui Nadia dengan kesunyian diri. Tak peduli ia dengan orang-orang yang mengobrol di sampingnya, ia larut dengan pemandangan dari balik jendela colt-mini tersebut.

Mobil putih itu kini harus terjebak macet. Pastilah penyebabnya sebagian karena membludknya mobil orang-orang Jakarta, yang tak pernah bosan berekreasi ke Puncak. Alhasil keadaan pun tambah sumpek saja. Kendaraan itu mengular sampai berkilo-kilo. Hujan pula. Nadiah yakin, ini karena sistem satu arah yang mulai diperlakukan polisi setempat, sehingga jalur yang mereka diami saat ini terdampak aturan tersebut. Mata Nadiah yang bosan itu mulai melihat tukang ajaib berkeluaran. Ia selalu menganggapnya ajaib, karena pedagang rokok dan cemilan tradisional itu selalu muncul bertepatan saat macet. Bila macet hilang, mereka pun raib seketika. Apakah mereka benar-benar manusia nyata? Batinya bertanya. 

Makin lama mobil berdiam, makin lelah juga seluruh penumpang. Rintik-rintik hujan yang membasahi kaca mobil pun seakan menjadi musik lulabi. Beberapa penumpang yang berhimpitan bahan tak merasa ragu merebahkan kepala mereka ke bahu penumpang lain yang asing. Tampak pula mata Nadiah perlahan terkatup-katup. Serangan kantuk datang, memaksa Nadiah untuk segera lelap. Dalam lamat-lamat, pandangannya yang agak buram itu masih sempat melihat Ningsih di jok depan tampak akrab sekali dengan sopirnya. Nadiah pikir, mungkin ia telah salah terka, karena ia melihat tangan si sopir bukan mendarat di persneling, melainkan di atas paha Ningsih, dan perempuan itu terlihat membiarkan. Bahkan tatapan keduanya beradu. Ada senyum tersirat antara mereka. Setelah itu mata Nadiah akhirnya terlelap. Ia sempat membuka matanya lagi saat colt mini itu kembali jalan. Tapi, ketika tersendat dan diam lagi di jalanan yang menghadap perkebunan teh. Matanya sudah perlahan terkatup lagi.  

Lihat selengkapnya