Dia biasa dipanggil Wan Abud, dan pada malam ke sekian di villa itu, ia terus menciptakan gempa pada tubuh Nadiah, dengan nafsu binatang yang tak henti berkembang biak dalam tubuhnya. Segala gaya ia coba. Tali dan pecut harus diakrabi oleh Nadiah. Sejak matahari tenggelam, hingga matahari melek, lelaki bertubuh serupa raksasa itu menyeret Nadiah ke dalam pusaran inferno tanpa henti. Tak peduli ia sudah merengek seperti bayi. Tantrum dan memberontak, Wan Abud seperti punya ajian kebal yang membuat semua pemberontakan Nadiah seperti hal remeh bagi lelaki yang katanya berasal dari sebuah negeri konflik di Timur Tengah itu. Ia seperti para demonstran yang bersuara di depan pagar parlemen. Pekak. Sama dengan raksasa bajingan ini. Pekak. Seringainya ketika melucuti seluruh penghalang dan pertahanan Nadiah, sungguh telah menjadi hantu yang menggentayanginya setiap malam. Seakan tumbuh di setiap sel-sel otaknya kini. Seringainya seperti sebuah alarm. Jika ia tidak melakukannya, ia akan dapat hukuman yang menyakitkan. Kuntilanak kalah seramnya. Nadiah pikir, nasibnya lebih horor dari semua setan buatan manusia itu.
Pagi itu, dalam keadaan remuk dan runtuh, Nadiah menyiapkan sarapan untuk lelaki yang akan kerja ke Jakarta ini. Selayaknya seorang istri, walau kenyataannya Wan Abud lebih memperlakukannya seperti pembantu. Mungkin dalam otak lelaki ini istri adalah pembantu. Sungguh sial ia mau menuruti Ningsih pergi dari Cianjur ke Puncak. Bila begini jadinya, tahu begitu Nadiah memilih berlari terus ke selatan. Syukur-syukur Dewi Kandita bisa mendengar jerit batinnya yang bergetar di setiap dinding jantung. Ia lebih rela jadi dayang Dewi Kandita di kerajaan Pantai Selatan daripada jadi pembantu pria ini. Namun, kontrak sudah terlanjur dibuat. Inikah yang dinamakan sangkar emas? Benarkah? Nadiah hanya bisa bercermin dan menatap laci-laci meja kerja suami kontraknya. Semua hal berbahaya ada di sana.
Dan selalu. Setiap lelaki asing yang berbahasa perintah itu pergi, Nadiah berusaha membiasakan diri dengan neraka: ia menikmati rumah mewah itu barang beberapa jam saja. Entah berendam di bak mandi yang cukup luas, dan barangkali itu menjadi tempat kesukaannya. Dengan banyak busa, ataupun rendaman air hangat. Seperti saat ini. Ia menikmati pancuran air hangat yang sama sekali tidak pernah ia rasakan di rumah menyedihkannya dulu, (jika dibandingkan dengan rumah ini, rumah lamanya yang mungkin kini sudah ambruk diterpa badai, tak lebih dari sekadar kandang hewan—dan memang ia selalu menganggap Wawan dan bapaknya menyerupai hewan—ia sering bermimpi bisa menyembelih mereka).
Hari itu, Nadiah menikmati taman di belakang rumah mewah itu. Memetik beberapa bunga mungil bugenvil ataupun bakung. Lalu, duduk di sebuah ayunan, menatap ke kabut, dan kota Bogor yang seukuran jemarinya. Sebenarnya dari tempatnya saat ini, Nadiah bisa saja pergi ke kota. Melompat dan menggelinding. Biar tubuhnya digilas kendaraan orang-orang Jakarta yang ingin berlibur. Pikiran itu terus merayunya. Namun, ia masih belum berani.
Udara dingin yang menusuk—yang tak ia dapatkan di kampungnya dulu—membuat ia setidaknya bisa mendinginkan kepalanya dari inferno yang terus meradang setiap hari. Ya, ia merasa otaknya selalu dihampiri pusaran tornado api. Puncaknya selalu pada pukul sembilan malam hingga pukul tiga atau empat dini hari. Sementara ia hanya punya waktu untuk tidur sampai pukul enam, karena pukul delapan Wan Abud akan pergi ke kantornya di Jakarta. Entah apa pastinya pekerjaan si setan itu. Di awal perekenalannya, tatkala mereka makan malam bersama Ningsih dan Darman usai ijab kabul, Wan Abud yang masih mengenakan topeng muslihat, mengaku dirinya adalah seorang konsultan bisnis, bekerja di sebuah perusahaan elit di kawasan Sudirman. Sembari tetap memertahankan usaha dagan kainnya di Tanah Abang, seperti orang-orang Timur Tengah yang ia kenal.
Namun, Nadiah yang terus bertemu sosok-sosok berotak Sengkuni ini, tentu melepeh semua kata-kata Wan Abud. Hanya bisa senyum kecut saja ia, seraya berusaha memalingkan pandang dari tatapan menjijikkan lelaki ini; seolah ia ingin menanggalkan seluruh pakaiannya, bahkan lebih dari itu, pria ini mengulitinya. Dan benar saja, inferno pun dimulai ketika Wan Abud sudah menunjukkan siapa dirinya di dalam kamar pengantin palsu.
Pagi itu, usai ia bersantai di sebuah kursi, ia mesti melakukan pekerjaan rumah, seperti mengepel dan memasak. Sebagaimana pekerjaan yang begitu akrab baginya. Tentu tuntutan ini membuat ia mengingat masa-masa di selatan Cianjur, di saat ia harus bertingkah seperti pengganti ibunya. Segala pekerjaan domestik ia kerjakan. Dan ia tak percaya ia lakukan itu semua untuk bapaknya yang lebih peduli pada ceki dan sabung ayam, atau memberi makan si Wawan bajingan yang menggelayuti penyanyi-penyanyi dangdut hajatan, juga penghibur-penghibur beraroma menyesakkan—yang telah menyeret adiknya ikut dengannya—memanfaatkan perangai urakan adik kesayangan ibunya itu untuk keuntungannya sendiri. Sungguh pengalaman yang muram. Kalau ia diberi kesempatan kembali ke masa itu, mana mau ia. Nadiah pasti lebih memilih membunuh semua kenangan itu. Tak peduli ia hidup tanpa kenangan. Agaknya itu masih lebih baik daripada menanggung kenangan yang terus menggerogoti jiwanya.
Hidup sudah tak ada nilainya lagi kini. Kenangan seperti sampah plastik yang sulit terurai di tanah.
Dan hari-hari ini, neraka jilid dua tak henti-henti menghampirinya, seolah sekujur tubuhnya mengandung magnet yang menarik segala nasib sial mendarat di tubuhnya yang kini begitu ringkih.
“Sepatutnya Teh Nadiah tak perlu melakukan pekerjaan-pekerjaan pembantu. Aku tak enak. Seolah pekerjaanku tak berarti di sini,” ujar seorang pembantu yang selalu mengikuti Darman, pengurus villa tersebut. Roslina namanya. Ia mengaku masih kerabat Darman, yang Nadiah anggap sebagai Batara Kala. Roslina selalu datang setiap pukul tiga, di saat seluruh pekerjaan yang seharusnya ia lakukan sudah selesai dikerjakan Nadiah.
“Apa boleh buat. Aku sudah terlalu biasa mengerjakan hal seperti ini,” kata Nadiah terus menyapu ruang tengah, sementara Roslina lantas meletakkan tasnya di sebuah sofa ruang menonton. Lalu mengulurkan tangannya, meminta sapu itu padanya. Mulutnya mengunyah permen karet. Nadiah pikir, apakah semua bocah kota sudah melupakan sopan santun? Tapi itu malah memberikannya ide menggelitik; entah apa yang terjadi bila perangai itu ia gunakan di hadapan Wan Abud yang selalu menggunakan topeng ketahiran. Ia akan meracaukan segala kutuk dan neraka pada jiwa Nadiah.
“Biar aku saja Teh… kau sebaiknya istirahat… aku tahu kau kurang tidur. Sebaiknya manfaatkan waktu luang ini untuk istiarahat. “
Nadiah mengernyitkan keningnya. Ia menyerahkan sapu itu pada Roslina, lalu duduk bersila di sebuah sofa depan televisi. Mengamati pembantu yang mungkin seusia adiknya.
“Mungkin kalau adikku masih bersamaku, dia seusiamu.”
“Ke mana dia? Sudah tidak ada?” ia mengatakannya tanpa terbebani rasa bersalah. Nadiah pun makin yakin perempuan muda ini memang sudah menanggalkan kesopansantunan dalam hidupnya. Kalau dipikir-pikir olehnya itu memang serba merepotkan dan sama saja kita menggunakan topeng-topeng lain.
“Aku percaya dia masih hidup. Terakhir beritanya kudengar kakak tiriku yang brengsek itu mengirimnya ke Bandung…”