Nadin Membunuh Nostalgia

Ardi Rai Gunawan
Chapter #12

Bab 12

Pernikahan kontrak itu sama sekali tidak dihadiri oleh saksi dari keluarganya. Tentu saja, kini Nadiah sebatang kara. Meski ia tahu masih ada keluarganya di pelosok-pelosok Cianjur sampai ke Garut, dengan sejarah bapaknya yang sering berbuat onar karena masalah judi dan perempuan, mana mau keluarganya melirik Nadiah. Apalagi berita Wawan jadi mucikari, dan melempar Mirna ke dunia inferno itu pastilah telah didengar oleh mereka. Dengan semua itu, mutlak Nadiah sendirian.

           Sosok Ningsih, yang diharapkan bisa mengganti figur ibunya, nyatanya bahkan lebih busuk daripada Wawan. Sama saja. Setelah kenal kemaluan pria kota, dan merasakan kekayaan pria kota, ia pun menyerahkan Nadiah pada orang asing, lalu Ningsih mendapatkan uang yang cukup untuk dirinya bisa menyewa sebuah kondominium di kota. Entah Menteng atau Kelapa Gading. Terserah Ningsih. Hanya saja, sosok yang ia anggap sebagai Batari Durga itu menunjukkan wajah penuh seri di hadapan seorang penghulu yang dibayar untuk mengawinkan dirinya dan Wan Abud. Tentu itu semua atas keinginan orang asing yang cukup lihai berbahasa ini.

           “Saya nikahkan Abdullatif bin Kusai dengan saudari Nadiah Nuraeni bin Jaenudin…” penghulu lalu menyebutkan mahar yang dibawa Abud untuk menikahi Nadiah secara kontrak. Saksi hanya dari kubu Abud, yang ia tahu selanjutnya, orang-orang ini juga komplotan Abud. Teman nongkrongnya di KFC Puncak atau di beberapa rumah makan terkenal Cisarua. Dari Nadiah hanya disaksikan oleh Ningsih dan Darman. Sepasang batara-batari yang dikutuk oleh Batara Guru. Dan kutukan itu menciprat ke hidup Nadiah. Dari kampung setempat pun hanya dihadiri oleh ketua RT dan dua ajudannya, yang merupakan hansip di kawasan perumahan terdekat. Abud-lah yang membayar mereka, dan Darman yang didelegasikan untuk menyampaikan niat itu—yang mana bukan lagi hal yang aneh di kawasan itu. Seolah itu sudah menjadi budaya terselubung yang dibiarkan berkembang biak.

Orang-orang setempat tentu lebih sering tak memedulikan perihal asal-usul semua perempuan yang diinginkan oleh orang-orang asing ini. Kabarnya tidak hanya orang-orang dari negeri padang pasir saja, tapi juga orang-orang dari dunia biru—terutama Eropa Timur—mereka yang sudah mengenal budaya itu, lantas menghubungi beberapa calo yang bisa mengantar mereka ke tempat-tempat orang yang tepercaya. Dalam hal ini Darman jadi yang paling berpengalaman. Ketika Ningsih pergi hampir seminggu dari rumah itulah, sebenarnya selain ia bertemu pria kota yang jadi incarannya untuk memuluskan hidup di kota besar, ia pun menyimpang dari Jabodetabek ke arah Cisarua… menghubungi adiknya, yang sebenarnya beda ibu. Tapi ia cukup dekat dengan Darman. Di saat silaturahmi dalam rangka memberi kabar perihal rencananya itu, sang Batari Durga bicara pada Darman. Entah pada suatu waktu, mereka seolah berada di sebuah momentum yang tepat, seolah semesta mendengar dan akan mengabulkan mimpi mereka.

“Aku tahu Teteh memang sudah memiliki mimpi seperti itu. Aku masih ingat, ketika baba ingin menyatukan istri-istrinya menjadi keluarga besar. Mengumpulkan kita di sebuah tempat di timur Bandung, dekat Nagrek sana…ah, aku lupa namanya… tapi ketika kita main di pematang sawah, menangkap belut, dan kuingat kau tersuruk ke lumpur hingga wajahmu kotor semua—setelah kita mandi di sungai dekat sawah—kau bilang ingin pergi ke Jakarta. Kawin dengan orang kaya. Tapi saat itu kau tidak menyebut akan kawin dengan suami orang,” kata Darman sembari cengengesan tapi sinis.

“Fokus saja siram tanaman villa ini…”

Darman terkekeh licik.

“Kau tak berubah. Tetap ketus. Tapi apa kau benar-benar ingin kawin dengan lelaki ini, Teh? Bagaimana bila istri sahnya melabrakmu. Seperti kisah-kisah picisan. Opera sabun banal di kehidupan sehari-hari.”

“Aku tak peduli. Setidaknya aku sudah menghisap seluruh raga dan jiwanya. Tentu termasuk mencatut harta bendanya. Meminta jatah warisan. Setelah itu aku akan hidup dengan bebas. Kau sendiri bukankah sudah muak hidup seperti ini, Darman?” ujar Ningsih saat itu duduk di selasar depan villa tersebut. Menopang dagunya sembari menatap malas pekerjaan Darman. “Memangnya aku tak tahu bagaimana istrimu menggerutu bila kau hanya mendatangkan sedikit uang ke kas keluarga?”

“Kas keluarga,” sinis Darman, lalu melempar selang air, kemudian mengambil gunting rumput dan ranting. Ia segera memangkas ranting-ranting rewel dan berontak dari bugenvil dan tanaman pagar.

“Kau bertingkah begitu karena memang begitulah kenyataannya. Seperti biasa. Kau selalu mengelak, padahal apa yang kukatakan selalu benar… “ Ningsih menghela napas. “Sebaiknya kau mulai memikirkan masa depan keluargamu, Man. Tak mungkin kau cuma jadi kacung pemilik villa ini, yang entah tinggal di mana. Siapa namanya?”

“Koh Andrew. Katanya sih di Bali… dia menyerahkan villa ini, agar kuurus. Boleh kusewakan, hasilnya dibagi dua… lumayan… aku juga bisa mengantongi sedikit dari pembagian itu. Koh Andrew pun nampaknya tidak peduli. Bahkan saat kubiarkan orang-orang dari Timur Tengah itu mengintai cewek-cewek pribumi, agar bisa dikawini secara kontrak di sini. Dia tahu. Dan tak ada masalah berarti. Hanya manggut-manggut saja. Entah, apakah dia pun tertarik mencoba kawin kontrak seperti itu. Kabur beberapa bulan sementara dari istrinya di Surabaya: seperti biasa, lelaki selalu butuh pelampiasan ketika ia suntuk dengan istri... kupikir, dia mulai tertarik juga...” katanya seraya terkekeh-kekeh di akhir kalimat.

“Tapi kau tetap kacung.”

“Tapi aku tetap diberi kebebasan. Aku merasa ini sudah menjadi bagian dari kehidupanku.”

“Tapi kau tetap kacung. Dan apa yang kau anggap menjadi bagian dari hidupmu, hanyalah khayalan semata. Kebiasaan lelaki memang selalu jatuh dalam lembah khayal pikiran. Orang bilang lelaki adalah mahluk paling rasional, dan menuduh perempuan sebagai manusia yang hanya mengandalkan perasaan. Tapi nyatanya, perempuan adalah mahluk yang lebih konkrit dan realistis daripada lelaki, yang sering sok paling berprinsip dan jatuh pada dunia khayalinya… ” kata Ningsih lantas beringsut dari duduknya dan mulai menodong Darman untuk mengantarknnya ke warung bakso di Pasar Cisarua. “Antar aku ngebakso di warung yang ada di pasar itu. Aku masih ingat bakso buatan orang Sukoharjo itu yang paling enak di sana... setelah itu, aku yakin kau ingin mendengar soal bisnis kawin kontrak yang akan kutawarkan. Aku sedang kepikiran seseorang.”

Di warung itulah, sembari memakan lahap bakso, Darman memperkenalkan Wan Abud. Seorang dari selatan Timur Tengah. Katanya,“ dia adalah mantan tentara di area konflik, dan kabarnya sudah menetap di Condet hampir tujuh tahun. Katanya sih memutuskan pergi ke sini, karena ia masih kerabat keluarga Basyarewan yang tinggal di Condet. Ia ingin menghubungi seperti salah satu tetua-lah. Aku tak paham soal urusan-urusan keluarga begitu. Berdagang di Tanah Abang. Membuka toko kebab di Depok…”

“Sudah punya bini?”

“Sudah,” kata Darman dengan mulut penuh bakso. “Tapi tahulah. Tenaga kuda. Nafsunya gede. Bahkan kudengar ketika ia ke mari pun ia sebenarnya meninggalkan satu istri dan anak di negara asalnya. Tapi memang dasarnya pelde.”

“Apa itu?”

“Peler gede!” Darman terbahak-bahak.

“Boleh juga.”

“Kau akan kelabakan bila ingin mencobanya. Menurut pengalamanku, salah seorang cewek pernah kabur ketika kuminta kawin kontrak. Padahal dia mau awalnya, tapi malah melarikan diri. Berhati-hatilah, bisa-bisa sampai usus.”

“Brengsek… bukan aku yang menginginkannya… aku tak mau sekadar senang-senang belaka… aku hanya ingin bisnis… dia sedang cari perempuan, kan?”

“Ya… Pak RT, meneleponku kemarin… ada orang asing, nyariin… seperti biasa… begitu katanya… aku tentu sudah tahu apa maksud seperti biasa itu. Tapi, aku masih belum bisa mencarikan perempuan.”

Lihat selengkapnya