Pembantu villa itu, Roslina, kini duduk setara dengan Nadiah, yang dianggap sebagai istri tuan rumah di villa tersebut kini. Mereka makan bersama, usai Roslina memasak semua hidangan yang cukup mewah untuk Nadiah itu. Rebusan kepiting, beberapa tumpuk ayam goreng. Sop kambing dengan asap yang mengepul. Dan beberapa jenis sambal; terasi, mangga, matah. Mereka kemudian mengunyah dalam sepi. Tak ada sepatah katapun terdengar, selain suara kunyahan mereka. Canggung mendera. Ini tentang perkara siapa yang akan memulai percakapan lebih dulu.
Sesekali pandangan Nadiah melambung ke arah pintu kaca geser, dan sebuah halaman samping rumah yang serba hijau lembab dan sudah dirapikan Darman itu tampak begitu menyejukkan seusai hujan mengguyur bumi Cisarua. Ia sering berharap ini berlanjut sampai malam, karena dengan begitu Wan Abud yang baginya agak sedikit sinting itu tak akan lagi membuka pintu neraka untuknya.
“Di meja ini… dia melakukannya…” mendadak Roslina membuat Nadiah tersedak.
“Kau… membicarakan hal seperti itu di atas meja ini…”
“Memang inilah faktanya. Darman membawaku untuk berkenalan dengannya: kami bersepakat, dan pada suatu hari yang salah, aku datang ke rumah ini, menyiapkan makanan seperti yang kulakukan padamu sekarang. Di saat itulah… lagipula kau sudah mengerti apa yang aku maksud, Teh… kau pun melakukannya setiap malam dengan lelaki itu…”
“Melakukannya?” Nadiah terkekeh sinis sembari mencabut capit kepiting di atas sebuah piring besar. “Apa kau mengerti keadaannya, Ros? Yang baru saja kau katakan adalah kata kerja yang aktif, seolah-olah semua kemursalan itu terjadi atas kehendakku…” Nadiah kemudian menggeleng. “Kenyataannya tidak demikian, Ros. Kau tentu tahu… yang terjadi pada diriku adalah, penjajahan tubuh, dan aku tidak bisa menjalankan pemberontakan atau perlawanan!”
“Minumlah, sebelum tersedak lagi,” kata Roslina sedingin udara Cisarua.
Nadiah meneguk segelas air, kemudian dengan lahapnya ia menggeroti capit berbumbu asam pedas tersebut. Bahkan helai-helai bombaynya yang manis itu ia makan hingga bersih. Begitu juga kuah rebusan yang ada di mangkuknya, habis ia teguk, namun ia belum puas. Ia mencabut beberapa bagian dari tubuh kepiting itu. Mencomot cah kangkung dan ikan tongkol yang digoreng dengan tingkat kematangan yang pas sehingga tak ada yang gosong; semuanya empuk. Matang menyeluruh. Ketika surai-surai tongkol itu disapunya pada sambal matah dan terasi, kenikmatan yang bahkan lebih nikmat dari persenggamaan itu membuatnya mendongak dan merapalkan puji syukur. Nadiah pun sampai menarik ingusnya akibat rasa pedas yang bersumber dari kuah rebusan kepiting dan cabai-cabai rawit di cah kangkung yang rakus ia kunyah.
Melihat hal itu Roslina hanya bisa tersenyum-senyum sendiri.
“Kau mesti melihat wajahmu di cermin.”
“Aku tahu… dan aku tak peduli…”
“Kau cantik, Teh… dan aku yakin Ceu Ningsih mengatakan padamu bahwa perkawinan ini merupakan sebuah keberuntungan untukmu… dia memanfaatkan kecantikan yang terpendam di tubuhmu. “
“Aku tahu itu hanya bujuk rayu… bujuk rayu seekor ular betina.”
Roslina mengangguk sembari pelan-pelan memakan cah kangkung dan nasi. Namun, ia hanya mengaduk-aduk nasi dan kangkung itu alih-alih memakannya langsung dengan lahap, sebagaimana yang dilakukan tuannya.
“Tapi kalau dipikir-pikir, Wan Abud memberimu uang yang lumayan banyak, sehingga kau bisa belanja untuk masak semua makanan ini. Kalau aku jadi teman-temanku, seperti yang kuceritakan padamu… sudah pasti aku minta dia mengawiniku betulan. Bukan sekadar kontrak…”