Dua tangannya terbuka seolah berdoa. Ditampungnya embun yang berjatuhan dari ujung genting gazebo tersebut. Mata Nadiah terpejam merasakan embus angin yang terasa menepuk-nepuk pipinya. Ketika sendang mata itu terbuka perlahan, seekor burung gereja bertengger di pagar gazebo. Nadiah terdiam, memerhatikan cara burung gereja itu melompat-lompat, seolah menari. Nadiah menyuratkan senyum simpul ketika menatap bola mata burung cokelat kecil ini. Ya, tatkala mereka berpapasan, saling berpandang. Nadiah merasa iri, karena matanya yang bahkan tak lebih besar dari ukuran kuku ibu jarinya itu terasa lebih hidup dan memancarkan banyak harapan.
Nadiah terkagum dengan cara burung ini melompat-lompat kecil di pagar gazebo tersebut. Tanpa beban. Atau mungkin saja Nadiah tak tahu beban apa yang dirasakannya. Ia cuek pada gadis malang yang sedang terbakar di tanjung batuan neraka. Ketika Nadiah ingin menangkapnya, seolah berharap kepak sayap kecil itu bisa membawanya ikut bebas ke langit, ia sama sekali tidak bisa menjangkaunya. Senyumnya kecut, karena hal ini seperti menyiratkan ia tak akan pernah mendapatkan kebebasan yang ia mau.
Roslina yang menatap majikannya itu hanya bisa tersenyum kecut setelah ia menggelar karpet dan mengeluarkan dua toples kue bulan sabit dari tasnya. Juga dua kaleng soda.
“Bagi burung-burung itu, semua manusia sama saja… selalu membelenggu untuk kepuasan hidup mereka sendiri… aku padahal tidak memiliki niat seperti itu… tapi tangan ini…” kata Nadiah seraya menatap dua telapak tangannya. “Tangan ini adalah ancaman bagi mereka… mereka mungkin sudah menyebarkan berita ke kawananya, bahwa kita sedang berusaha menangkap mereka untuk dijadikan makanan atau sekadar hiasan rumah. Apakah burung-burung bebas ini sering berbincang-bincang dengan burung-burung yang ada di dalam sangkar?”
Roslina terkekeh kecil.
“Teteh ini lucu. Kau pikir semua burung bicara dalam satu bahasa? Beda burung sudah pasti beda bahasa. Mereka tak akan mengerti, tapi aku percaya insting mereka bisa saling memahami bahwa manusia memanglah ancaman paling besar mereka… aku bisa mengerti ketika Teteh gagal meraih burung itu, Teteh langsung terlihat sendu begini… itu seperti kebebasan yang gagal diraih…” kata pembantu itu.
Nadiah terduduk lalu mulai menyambar soda kaleng.
“Maaf, akan sangat merepotkan bawa termos dan menyeduh kopi atau teh di sini,” ujar Roslina.
Nadiah menggeleng dan mulai merebahkan tubuhnya usai meneguk soda kalengan tersebut.
“Tak masalah… bukan itu inti perjalanan kita…”
“Tapi apa?”
“Tapi ketenangan ini…”
“Malam nanti kau harus bertempur. Apakah kau akan menjalankan ini hingga akhir?”
“Entahlah…”
“Bagaimana kalau dia memperpanjang kontrak?”
“Terdengar seperti berita transfer pesepakbola.”
Roslina terkekeh.
“Aku tak mengerti,” kata Ros.
“Kau harus mulai menonton berita olahraga. Kau akan mengerti sedikit. Lagipula, sepakbola bukan lagi dunia lelaki… perempuan bisa kalau mau jadi atlet sepakbola saat ini… orang-orang yang menganggap sepakbola adalah dunia lelaki sungguh konyol sekali… dia pikir masih hidup di zaman feodal…”
“Tapi, orang-orang seperti itu masih banyak.”
“Berarti kita masihlah feodal.”