Nadin Membunuh Nostalgia

Ardi Rai Gunawan
Chapter #16

Bab 16

Perempuan itu sudah berulang kali membayangkan dirinya tenggelam dalam bak mandi di jamban mewah villa itu. Dengan ricik air yang masih menyala. Air panas yang menguap. Dan orang-orang mulai cemas di luar toilet, menggedor-gedor pintu kaca yang buram, seburam segala kenang yang ingin ia singkirkan. Sayangnya ia tak punya kehendak untuk melakukan itu.

           Biasanya bila Nadiah sudah terlalu lama berada di dalam toilet kamar, Roslina yang cemas itu akan menggedor pintu. “Jika kau ingin mengakhiri semuanya di dalam air sabun yang meluber itu, Teteh hanya akan nampak seperti orang yang kalah saja. Lelaki bajingan itu sama sekali tidak akan peduli.”

           Di telan kucur air, Nadiah pun berkata, “aku tahu… dia melihatku seperti kelinci eksperimennya. Objek untuk pemenuhan syahwat setannya. Tak ada cinta sama sekali.”

           “Apa Teteh sempat terpikir untuk memperlakukannya lebih lembut agar lelaki itu lebih tersentuh hatinya… Teteh tahu, biasanya lelaki yang keras hati, picik, dan hanya mengandalkan emosi sepertinya akan bisa luluh bila kau mau me…” belum selesai Roslina melanjutkan kalimatnya Nadiah sudah menolak.

           “Sungguh melelahkan sekali. Kami bukanlah menikah secara betulan. Hanya kontrak saja, tapi aku mesti selalu mengalah seperti itu hanya untuk bisa meluluhkan kekerasan hatinya? Apakah hanya aku yang harus berkorban sebesar itu? Bagaimana dengannya? Lelaki tolol seperti itu memang sangat egois… aku bersumpah istrinya, baik yang ada di Timur Tengah sana, ataupun yang ada di Jakarta Timur itu, tak peduli bila lelaki itu memutuskan pergi dari kehidupan mereka. Kau bisa menyadarinya bagaimana ia berupaya mengubah pandanganmu tentangnya.”

           “Orang bilang itu sebagai tanda-tanda narsistik.”

           Nadiah perlahan-lahan menenggelamkan kepalanya ke air. Riuh air dan kesunyian yang menggeruduk gendang telinga mulai menerpa dirinya.

           “Teh… buka! Buka pintunya!”

           Tubuh Nadiah sepenuhnya berada di bawah air. Matanya berbayang dan kabur. Langit-langit toilet seperti mengapung-ngapung dan bergerak menjauhinya. Dua tangan perempuan itu menggapai langit-langit yang terus menjauh. Ia berupaya menggapainya, namun tak ada yang bisa digapainya. Sekelabatan suara aneh kemudian muncul di dalam telinganya. “Bagunlah… bangunlah… ini bukan duniamu… kau harus menyelesaikan apa yang menurutmu sangat menghambatmu untuk melanjutkan hidup… ini sungguh mengganggu, bukan? Maka biarkanlah alam bawah sadarmu menuntun pada kesadaran yang utuh. Pada realita yang bisa kau sentuh secara konkrit. Bukan gapai-gapai ilusi yang memabukkan kepalamu… kau sedang mabuk, Nadin… Nadiah… Nadin… Nadiah… Nadin…”

Lihat selengkapnya