Kau tahu Sisipus? Begitulah aku menjalankan kehidupan dikejar hantu masa lalu, yang terus melahap secara perlahan tubuh dan jiwaku. Seperti dikutuk Zeus, mendorong batu ke puncak gunung, lalu batu itu menggelinding, dan aku harus melakukannya lagi. Hingga aku begitu kosong. Tak ada apapun yang kupercayai lagi. Apakah aku membenci kenanganku? Apakah aku membenci tempat aku lahir? Semua itu hanya permulaan. Ketika sesuatu yang kau dan sebagian orang sebut itu sebuah penderitaan, bagiku kini—entah rasanya seperti sudah berabad-abad—dan karena itu pula, kini aku hanya berjalan di tengah malam yang suwung.
Kubayangkan diriku berjalan di setapak jalan kecil, kiri kanan hutan bambu. Setiap langkahku menciptakan desis dan cibir bambu. Setiap langkahku menciptakan kerapuhan, terutama dari setiap daun bambu yang kuinjak. Di tengah gelap dan keremangan tuju itu, kutenteng stileto yang patah, gaun terusan yang koyak, dan tali yang menjeratku dari leher hingga masuk ke palung jati diriku. Seseorang merusak jiwa itu, memberikanku sebuah klaim yang begitu sangat mereka harapkan.
Tak ada lagi yang tersisa dari diriku selain kehampaan. Satu-satunya yang membuatku tetap bertahan adalah hidup dengan kenangan dan kehampaannya: bertanya-tanya, apakah aku masih layak ada di dunia ini. Masih pantas diperjuangkan? Apa yang mesti diperjuangkan? Hidup? Apa itu hidup? Dan kau berkata, kita tidak pernah memilih hidup. Kita lahir dan tiba-tiba kita diberitahu bahwa kita hidup. Kita tak pernah memilih awalnya, hingga seseorang memberi contoh bahwa kita harus memilih. Tapi seringkali, orang-orang yang merasa paling hidup dan mengusai hidup kerap mengontrol pilihan hidup, dan pilihan-pilihan itu saling bertubrukan satu sama lain, sehingga tak bisa lagi dipastikan nilai mana yang mesti dipilih. Kini… semuanya memilih. Menciptakan pilihan. Tak lain untuk memberi arti dan nilai pada hidup mereka. Yang merasa sudah menjalankan pilihan—mau tak mau mesti mereka yakini—pun membentuk pilihan mereka sendiri—demi mengultuskan keinginan mereka sendiri. Dan kita pun berpusar dalam ego.
Aku berkata padamu. Aku tak ingin seolah-olah paling menderita karena nasib sial ini. Mungkin ini bagian dari hukum sebab-akibat yang sudah tercipta sejak kedua orangtuaku melahirkanku. Ya, aku sering mendengar takdir yang buruk dari seorang anak selalu dimulai dari orangtuanya. Namun, mereka yang terlalu jumawa tak akan merasa diri mereka buruk karena sudah merasa paling berjasa menghidupi anak-anak mereka. Orang-orang ini kerap lupa bahwa anak berhak memutuskan hidupnya sendiri—dengan pilihan-pilihan yang bertaburan seperti bintang di semesta gelap tak berujung. Memilih akan menjadi orangtua atau menjadi bebas dari keinginan-keinginan itu. Kau ingin bilang apakah aku menyalahkan kedua orangtuaku? Atau kau ingin bilang aku sudah menjelema jadi anak yang durhaka? Entahlah. Apakah aku menyalahkan? Mungkin. Apakah nasib ini memang akan menemukan jalan yang membahagiakan? Entahlah. Tak ada yang bisa menebak. Sekali lagi semua selalu tergantung pada pilihan yang kita putuskan. Sisanya menyerahkan pada semesta.
Kau berkata ini hanyalah ilusi. Semua yang kurasakan dengan seluruh inderaku di pasar itu, sebelumnya di bordil bau kemenyan itu, kemudian di tempak kosku yang dipenuhi burung berkicau. Semuanya hanyalah fana. Lalu, bila memang benar ini semua fana, apa pentingnya semua pengetahuan soal mana yang fana dan realita? Apa petingnya untukku, jika yang kulihat saban hari adalah wajah yang sedang kerasukan Sisipus. Selanjutnya aku akan terus mendorong batu ke puncak Mahameru, lalu menggelindingkannya lagi hingga titik terdasarnya, mendorongnya lagi ke atas. Tak ada yang penting. Setidaknya aku tidak membuatmu merasakan derita yang kurasakan.
Dan itu tak perlu. Bukankah setiap jiwa punya deritanya sendiri?
Derita selalu tercipta lebih banyak daripada kebahagiaan, itulah kenyataanya.
Begitulah gerutu Nadin setiap matanya mengerjap, kemudian terbangun di kamar kosnya yang beraroma jeruk. Kipas angin yang belum berhenti berputar. Nadin membunuh kipas tersebut. Bercermin, kembali mengarahkan ujung guntung atau pisau lipat ke lehernya yang pucat itu. Menggoreskan segaris luka hingga leleh merah menodai kulit bangun tidurnya. Ia melapnya dengan tisu, kemudian menarik handuk dan kembali dihujan cibir tetangga perihal kepergiannya semalam. Mungkin, semuanya terlihat sama. Pemilik indekos sudah bertengger seperti gagak-gagak yang siap mengintai sisa tubuh tikus koyak akibat kekalahan telak mereka dari gangster para kucing.
Ia sudah dibidik oleh remaja-remaja bengal yang mengenakan seragam tapi tak berangkat ke sekolah. Juga pria-pria pekerja kantor yang menyusuri tubuhnya dengan bola mata lincah dan licin. Menggelinding ke lekuk tubuhnya, menjadi mata-mata, lalu merusak otak mereka dengan apa yang mereka tatap. Nadin kemudian mengantre di jamban kos. Membersihkan lantai kos yang baru saja dikencingi pengguna jamban sebelumnya. Buang tai sembari merokok. Lalu, ketika waktu sudah melambung dekati petang, Nadin sudah bersama Ceu Ratih melayani para pembeli pakaian di pasar.
“Ayo, Bu, Mas, Dek, Pak… sedang diskon! Tiga puluh persen!” atau “Beli tiga gratis satu… celana jeans-nya, Bu, Mas.. mumpung sedang banyak stok celana jeans belel… juga celana chinos pendeknya, Mas. Pasminanya, Bu, Mbak! Kami juga ada jual jilbab, mukena, kain sarung.”