Sebelum Nadin naik angkot, Lembu yang membuntutinya dari lapak Ceu Ratih berkata padanya, kalau Presiden Amerika Serikat akan berkunjung ke pasar ini untuk belanja bulanan. Ia mesti percaya padanya, kalau segala hal yang ada di dunia, yang ditempati Nadin saat ini, tak ada yang mustahil. Ia setengah berteriak sembari menghindari sendang air di jalan yang berceruk itu, “kau akan percaya sampai Donald Trump muncul belanja di sini.”
“Kalau memang itu yang terjadi, seharusnya itu menjadi sesuatu yang normal. Mungkin dia sedang kunjungan kerja. Pastilah itu. Entah menteri luar negeri, menteri ekonomi, bahkan presiden kita sendiri akan mendampinginya.”
Lembu tertawa.
“Kau memang perempuan yang sangat teguh.”
Nadin menyeringai.
Angkot yang ia tumpangi kemudian melaju pelan karena si sopir masih ingin menarik beberapa penumpang. Ngetem lagi tak jauh dari pasar. Dari sini pula, ia bisa melihat Lembu membuat orang-orang di sekitarnya kembali mengelilingnya lagi, terutama ketika ia mengubah payung di kios pedagang buah menjadi balon udara. Entah iblis mana yang kini ia sembah, sehingga ia bisa menciptakan keajaiban demi keajaiban seperti ini. Nadin bisa melihat betapa wajah penumpang angkot itu seperti magnet yang tertarik ke kutubnya. Matanya terpana. Mereka terhipnotis! Mereka sudah di bawah kendali Lembu.
“Bisa-bisanya kalian begitu kagum dengan kehebatan seperti itu…bukankah kalian percaya—seperti orang-orang di pasar pada umumnya—kalau Lembu bersekutu dengan iblis?” gumam Nadin yang duduk di dekat kaca jendela paling belakang.
“Mbak Nadin. Lembu tidak bersekutu dengan iblis. Dia adalah dunia ini sendiri,” kata seorang pria tua yang duduk di hadapannya. Perempuan itu mengernyitkan keningnya. Dari mana dia bisa mengetahui namanya?
“Tahu dari mana, Bapak… tentang?” ujar Nadin seraya menunjuk dirinya sendiri.
Namun, lelaki itu hanya terkekeh. Hingga mobil berhenti di depan rumah kosan, lelaki itu tetap tersenyum lebar.
Malam itu, ketika ia melarikan diri dari segala keruwetan duniawi, ia menjelajahi kanal-kanal televisinya. Dan sial. Kenapa pula Nadin harus bertemu lagi dengan pemuda ini. Kenapa dia muncul di mana-mana? Apakah ini takdir? Sungguh takdir macam apa yang membuat aku mesti direcoki oleh pria ganjil ini? Batin Nadin. Ia berniat mematikan televisinya, namun atraksi Lembu yang berlarian di taman Monumen Nasional, kemudian melayang di hadapan ratusan orang—tak berhenti mencipta pukau tatkala ia berjalan secara vertikal di menara itu—sungguh itu berhasil menyita perhatiannya.
“Sungguh…” kata Nadin sembari terkekeh dan menyiapkan mie instan. Matanya masih tersita pada aksi Lembu. “Dia sudah menjual jiwanya pada tujuh iblis neraka sehingga ia bisa membuat orang-orang terhipnotis… tapi aku masih bingung… seharusnya dia bisa kaya raya dengan penghasilannya ini? Dengan kesaktiannya… tapi dia masih hidup sebagai pengamen di pasar?”
Sejenak ia mengingat lagi perkataan lelaki paruh baya di angkot, “Dia adalah dunia ini sendiri?” Tanda tanya besar sebenarnya bertumbuh subur di dalam otaknya, namun Nadin memilih membiarkannya seperti pemilik rumah malas yang membiarkan gulma dan ilalang tumbuh di halaman rumahnya.
Nadin mulai menyeruput mie instannya, duduk di hadapan televisi. Kini, Lembu nampak sudah mencapai puncak emas menara tersebut. Dua helikopter nampak mengitarinya. Lembu tersenyum lebar, melambaikan tangannnya ke arah burung baja berbaling itu. Dia pikir dia adalah artis papan atas, seperti David Copperfield? Gerutu Nadin dengan perangai sinis dan sehelai mie yang menggantung di sudut bibirnya.