Nadin terbangun pagi itu setelah mimpi melihat dirinya bercermin: bukan sosoknya sebagaimana biasa yang ia lihat, melainkan sosok perempuan dengan kepala bercabang. Dua wajah kembar itu saling menoleh dan menyeringai, namun tangan kanan yang ia pikir dikendalikan oleh kepala sebelah kanan, membunuh kepala yang lain sehingga kini tersisa satu kepala saja. Bekas kepala yang tewas itu lambat laun menghilang, seperti menguap dan terhisap oleh sesuatu begitu saja, sementara kepala yang masih hidup mulai bergeser ke tengah, dan jadilah sosok Nadin yang selama ini ia kenal.
Ia mulai mengarahkan ujung pisau itu ke lehernya. Berniat menggorok daging rentan itu hingga sembur merah menyeruak ke permukaan cermin yang telah menguning.
Di pasar, ia melihat kembali aksi Lembu yang makin ditonton banyak orang. Kali ini karena ia sudah mulai muncul di televisi, para pengunjung pasar yang semula tidak terlalu peduli dengan penampilan pesulap eksentrik ini, kini agaknya bisa memaklumi Lembu. Mereka semua berbondong-bondong melewati setiap lorong pasar, ketika mendengar lamat-lamat keriuhan di lantai bawah pasar—tepatnya saat Lembu datang menggelar atraksinya. Nadin pun nampak terdorong-dorong oleh ombak manusia di lorong-lorong sempit itu. Tungang langgang ia, bahkan pekerja di kios Ceu Ratih, Marni, tak segan menginjak kakinya hingga Nadin mengaduh. Sama sekali gadis muda itu meminta maaf. Ia lantas menghambur ke barisan depan, terutama ke arah sekumpulan orang pasar yang sudah mulai meneriaki Lembu sebagai artis pendatang baru.
Keadaan ini sesungguhnya mengingatkan Nadin pada keadaan di pasar malam. Untung saja, ia cepat berlari ke arah sebaliknya, dan menunggu semua orang sudah berada di lantai dasar pasar agar ia bisa pergi ke tempat itu tanpa perlu berdesakan. Tak peduli ia akan melewati atraksinya, yang kabarnya kini datang bersama awak media.
Memang ketika Nadin baru datang ke pasar, ia sudah melihat dua truk media, dengan beberapa orang dari televisi yang nampaknya akan meliput keadaan pasar. Ini bukan hal yang aneh bagi Nadin karena biasanya para jurnalis akan membuntuti seorang pejabat yang caper ke pasar, tanya-tanya soal harga sembako: sedang naik atau turun. Atau turun naik. Itu sebabnya ia tak menduga kalau orang-orang dari TV itu akan merekam atraksi Lembu. Ia bahkan sempat berpikir, mereka akan meliput Donald Trump yang akan datang ke Pasar Jatinegara ini bersama pejabat tinggi seperti presiden negeri ini. Di saat ini pula, ia jadi melupa. Kalau memang presiden Amerika Serikat adalah Trump… siapa presiden Indonesia? Benar-benar nama dan wajah presiden di negaranya sendiri malah tak ada di ingatannya. Seolah terhapus begitu saja.
“Bagaimana bisa aku melupakannya. Aneh sekali. Siapa pemimpin negara ini? Bukankah aku ikut Pemilu? Ini gila? Presiden? Aku bisa lupa? Eh?” Nadin nyaris tersandung karena memikirkan hal itu. Sawi busuk di lantai pasar yang penuh najis itu sungguh sayuran sial bagi Nadin. Ia merutuk pelan, lalu berjalan sedikit terburu. Tak lama, ia telah berada di tangga menuju lantai dasar utama, tempat biasanya kios-kios pakaian dan toko emas dibuka. Tapi demi pertunjukan ini, semuanya disingkirkan. Mungkin pihak pasar sudah dibayar oleh orang-orang televisi ini, pikir Nadin. Kini ia dapat menyaksikkan lautan manusia sengaja berkumpul untuk menyaksikkan Lembu melakukan pertunjukan profesional resminya. Tim dari TV sudah mulai bersiap. Lampu. Kamera. Semua sudah hidup. Mata produser lapangan menjelema mata elang yang akan membidik krunya yang kemungkinan akan melakukan kesalahan. Beberapa orang dari tim rias sudah mendandani Lembu lebih tampan daripada yang biasa orang-orang pasar lihat. Ini lagi-lagi mengingatkan Nadin pada pasar malam jahanam itu. Lembu tampil dengan setelan persis, dengan tuksedo mengilap. Rambut nampak lebih klimis. Kumis yang biasanya seperti patil lele itu dipangkasnya; dibiarkannya mulus seperti lantai bowling. Entah apakah Nadin salah lihat, tapi ia jelas mengetahuinya, bulu mata pria konyol ini nampak lebih lentik. Mungkin tim rias pula yang melakukannya, juga pada kedua alisnya yang terlihat lebih tebal. Untung saja keduanya tidak dihitamkan, karena itu akan nampak lebih konyol.
Mengingatkannya pada seorang pesulap lawas yang selalu membuatnya terbahak-bahak ketika pesulap itu berlagak serius di depan kamera, lalu membengkok-bengkokkan sendok dengan kekuatan batin. Berbeda dari pesulap lawas itu, Lembu jauh lebih jujur dan natural. Nadin bisa melihat betapa Lembu tidak terlalu nyaman dengan pantalon licin yang nampak menunjukkan garis rapi di bagian tengah lipatan. Juga tuksedonya. Nadin hanya bisa menyeringai, karena ia tahu udara di Jatinegara memang tidak bisa membuat seseorang betah berlama-lama di balik pakaian sok Barat itu. Ini tropis. Kenapa harus menggunakan patokan kerapian barat? Batinnya. Tapi, Lembu pun tak mungkin akan mengenakan pakaian adat Sunda. Itu sungguh bukan momen yang tepat. Nadin pikir, si monyet ingin berjingkrakan bebas, leluasa lari ke sana-ke mari seperti sebelumnya. Mengenakan celana dalam di luar pantalon panjangnya, atau kaos oblong di luar kaos partai kumalnya. Namun, dunia televisi nampaknya memang punya nilai moral sendiri.
“Dia akan jadi orang kaya tak lama lagi… semua orang membicarakanya ketika ia berencana akan menghilangkan emas di Monas… bahkan saat ia melayang sepanjang dua kilo dari puncak Monas, semua orang sudah ingin melihat apa yang terjadi…mungkin ia akan menembus stupa Candi Borbobudur… bertapa di dalamnya setelah bertukar tempat dengan patung Budha di dalamnya. Tapi, itu pasti akan sangat kontroversial, bukan?” cerocos seorang pengunjung di dekat Nadin. Seorang pria bernama Ramlan. Nadin tahu. Pria yang selalu mengenakan topi angkatan darat ini adalah seorang penjual bawang-bawangan dan kelapa parut. Kadang Nadin juga melihat dia berada di kios tembakau tingwe, memberikan pasokan bagi toko-toko tingwe kecil di luar pasar.
“Seperti David Copperfield,” celetuk Nadin.