Lembu kembali membual lagi. Kali ini tentang sebuah rumah hantu di belakang pasar. Rumah kosong yang selalu terdengar jerit perempuan minta tolong tersebut dulunya merupakan rumah keluarga Lembu, dan pedagang-pedagang pasar pun tak ada yang berani menyentuhnya. Selain karena cerita soal pedagang yang pulang telat lalu diusili hantu perempuan—berpura-pura minta dibelikan bakso atau nasi goreng—nyatanya pedagang tersebut melihat sosok perempuan berbaju cheongsam melayang dengan wajah rusak tanpa bola mata. Lehernya pun terkoyak. Lukanya tak tertutup, dan darahnya terus menyemprot selama-lamanya. Kisah semacam ini rupanya tak hanya terjadi bagi pedagang-pedagang yang telat pulang, tapi juga bagi orang-orang yang sudah sejak lama menjaga pasar bagian belakang, entah satpam ataupun preman di pasar itu—mereka pun memiliki pengalaman kolektif yang menggambarkan suatu hal yang tak jauh berbeda perihal rumah hantu tersebut.
“Preman-preman saja tak ada yang berani menginjakkan kakinya di rumahku ini. Otot-otot mereka boleh kekar. Tato naga atau tengkorak mengerikan mereka boleh banyak. Rambut gondrong dan jeans belel… tak peduli mereka pamer golok ataupun senapan angin…” Lembu terlihat terkekeh sinis ketika menceritakan rumah tersebut. Kini, lelaki sinting ini dan Nadin sudah berada di pekarang depan rumahnya, setelah mereka membuka pintu gerbang, lalu memasuki area yang mana Nadin sempat mengira itu sudah rumah, nyatanya sekadar ruangan aula kecil biasa. “Mereka semua takut dengan penunggu rumah ini.”
Nadin sedikit termakan mitos yang ia tahu memang sudah tersebar di mulut para pedagang di Meester Jatinegara ini. Namun, melihat perangai skeptis Lembu, yang menceramahi bangunan khas Tiongkok yang sudah ditinggalkan penghuninya itu—dan Nadin pikir dulunya ini adalah bangunan orang kaya—rasa takut Nadin hilang sama sekali, apalagi setelah ia menemukan sebuah guci cantik bercorak sebuah pegunungan, kebun teh dengan para pemetiknya, lalu di sisi lainnya, ia melihat sebuah jalanan meliuk-liuk yang cukup familiar. Nadin pikir guci ini bernilai ratusan juta. Ia bisa kaya mendadak bila menjual benda bersejarah ini. Hanya perlu dibersihkan debu-debunya, ia bisa meminta izin Lembu, bahkan memengaruhinya agar ia mau menjualnya.
“Jangan disentuh atau hantu perempuan itu akan keluar dari dalam guci.”
“Jangan bercanda. Kau saja tak memercayainya,” jawab Nadin skeptis.
Namun, sesaat Lembu terkekeh, seraya mengembuskan napas, lalu duduk di bibir selasar, bersender di salah satu tiang, seperti seorang pria senja yang mengenang masa mudanya.
“Kau ini… memang bebal atau apa… entah harus berapa kali aku bilang padamu, kalau dunia ini bukanlah hal yang nyata… ini semua hanyalah ilusi. Dan kau terjebak dalam realitas ilusi di dunia ini, Nadin. Sadarlah… kalau kau mengerti realitanya, kau akan terlepas dari dunia ini… bahkan kau bisa melakukan apa yang kulakukan. Hanya sedikit imajinasi. Bukankah hidup kalau terlalu berada di dalam realita sangatlah murung. Seperti yang kau yakini, terlalu menyikapi segalanya secara realisti—tentu dengan perspektifmu sendiri—hanya akan membawamu pada rutinitas menjengkelkan.
Kau benar, saat memberitahuku bahwa penderitaan, keruwetan hidup, selalu lebih banyak daripada kebahagiaan yang kerap berakhir dengan kehambaran dan dibuat pingsan oleh rutinitas-rutinitas… sekalipun kau menyukai rutinitas itu… kau hanya terkurung dalam kebahagiaan semu, dan aku yakin siapapun tak akan puas dengan kebahagiaan berwujud rutinitas itu… orang-orang pasti akan mencari yang sesuatu yang lebih membahagiakannya… bukankah kita semua adalah orang-orang egois dan serakah… kita menyangkal itu dengan berbagai bentuk kebijaksanaan, tapi paradoksnya, kita tak berhenti di satu kebijaksanaan saja, bukan?”
“Bacotmu seperti kakek-kakek yang mau mati. Lagipula, seingatku aku tak pernah memberitahumu,” sindir Nadin pedas seraya menunjukkan seringainya.
Lembu terkekeh sinis.
“Yang penting aku sudah bilang padamu… lihatlah… ketika kau menyentuh guci itu, hantu perempuan itu muncul.”
Nadin yang sudah membelakangi guci tersebut lantas menoleh ke arah guci. Mulanya ia tak memercayai bualan si pesulap yang tak lama lagi akan jadi bintang itu, namun tak lama usai Lembu bicara, guci itu bergetar. Bergempa, hingga Nadin pun refleks memegangi guci tersebut. Lembu nampak terkekeh melihat tingkah Nadin, terlebih perangai perempuan itu kini mulai menunjukkan raut ketakutan. Setelah guci itu terdiam, mata Nadin lantas membelalak ketika sebuah kepala berambut panjang keluar dari dalam guci. Lehernya serupa tubuh ular yang nyaris membelit tubuh Nadin. Untunglah Lembu segera menarik perempuan itu.
“S-Sial… apa kau menyembah iblis ini?! Dengan inikah kau mendapatkan kekuatan? Seperti banyak pedagang pasar bilang! Apalagi rumah ini kau bilang adalah rumah peninggalan leluhurmu!”
“Ayolah, Nadin. Kau termakan mitos. Memang benar juga kata Barthes. Mitos itu akan menjadi fakta jika dibicarakan. Hidup di realita zaman ini,” kata Lembu masih memengang kerah baju belakang Nadin. Perempuan itu sampai memegangi lehernya karena sedikit tercekik. “Lihatlah baik-baik… aku bisa bersulap dan dianggap sakti oleh orang-orang pasar bukan karena aku sakti, tapi karena ini memang bukanlah dunia yang nyata. Aku berimajinasi. Ketika aku bilang dengan penuh kesungguhan hantu perempuan itu akan hilang, maka hantu itu akan hilang. Kau tinggal minta, bagaimana caranya menghilang.”
Nadin terdiam, seraya menatap ular berkepala perempuan yang entah kenapa jika diperhatikan baik-baik wajah pasi dengan mulut seringai seperti Joker itu sedikit mirip dengannya.
“Buat dia memakan tubuhnya sendiri,” gumam Nadin.
Lembu melihat Nadin serius.
“Kau yakin?”
“Kenapa? Kau sendiri yang minta.”
“Baiklah… ini cukup menyedihkan…”
Tak lama, kepala hantu perempuan itu mulai menggigit tubuh ular itu secara brutal. Mencabik-cabiknya hingga kulit dan daging mengelupas. Area-area terkoyak dan tulangnya yang putih sampai nampak. Mereka bisa mendengar betapa erang kesakitan mahluk itu menggetarkan jantung mereka. Lembu yang cukup tak nyaman dengan pemandangan itu lantas menyuruh mahluk itu untuk menguap saja menjadi kabut. Dalam sekejapan mata, semua pemandangan serupa komik Siksa Neraka itu melenyap: hantu perempuan itu benar-benar menguap menjadi kabut yang dingin. Hilang tanpa bekas.
“Hentikanlah…”
“Apa maksudmu?”
“Aku tahu yang kau pikirkan. Aku selalu tahu, Nadin.”
“Kenapa kau menyebalkan sekali… jangan-jangan matamu bisa menerawangku tanpa pakaian,” gerutu Nadin seraya menunjukkan gestur menutup tubuhnya. Lembu menyeringai.
“Itu tak akan membuatku bernafsu.”
“Yang benar saja… jangan tolol.”
“Aku tahu kau membutuhkanku. Katakanlah.”
“Kalau kau sudah mengerti apa yang kumau, tak perlu kukatakan juga pasti kau sudah tahu.”